Kamis, 21 November 2013

Rasanya Memang Kosong


Hmm, saya mengambil secangkir kopi di dekat laptop saya. Saya seruput perlahan kopi hitam saya itu. Habis itu, saya menyalakan rokok. Sejenak berpikir, mengapa saya merasa sungguh bosan dengan aktifitas saya.

Saya kembali menghadap laptop. Memulai browsing, paling-paling yang saya buka berita sepakbola, kalau tidak tulisan-tulisan sejarah, atau pun apa pun itu yang ingin saya baca. Lagu Bohemian Rhapsody meraung-raung. Saya berusaha menghidupkan kembali diri saya.

Rasa-rasanya, saya sudah lama sekali tak beraktfitas sebagaimana mestinya sebagai seorang Adit. Adit adalah seorang anak muda yang sangat senang membaca dan menulis. Sastra adalah tempat biasanya ia bertapa. Begitu senangnya ia pada Sastra, beberapa kawan-kawan SMAnya menganggapnya dia ‘gila’. Adit adalah seorang anak muda yang menggemari musik Reggae dan Rock. Reggae adalah sarana ia menikmati eksotisnya dunia musik. Dan Rock adalah tempat ia biasanya bermain gitar. Adit adalah seorang anak muda yang senang belajar dan membaca cerita pewayangan. Ia sangat senang dengan budaya jawa yang mulai tinggalkan oleh orangnya sendiri itu. Ia senang sekali bila ada kawan yang memintanya menceritakan sebuah lakon wayang.

Tembok Ini Memang Tak Tinggi


Tak ada angin di sini
Aku duduk bersila sendiri
Udara seperti enggan kemari
Lantaran tempat ini memang begitu keji
Begitulah pandangan semua orang terhadap jeruji
Mereka pikir aku ini tak akan terampuni
Aku memang pantas begini
Diperlakukan bagai babi
Begitu dihindari

Tak ada suatupun yang kubisa
Tapi aku tak bisa beranjak dari sini
Pun jua aku tak bisa meluruskan kaki
Pun jua aku tak bisa tegak berdiri

Lain Manchester, Lain Milan, Lain Menulis


Saya lelah berkali-kali menjelaskan arti off-side pada gadis saya ketika ia bertanya. Pun juga bagaimana Liga, Cup dan Liga Champion bergulir. Entah mengapa, perempuan—tanpa merendahkannya—susah mengerti arti apa yang saya sebutkan diatas. Terutama off-side. Perempuan sering kali sulit memahami arti off-side. Ya memang sepakbola lebih banyak digemari kaum adam, sehingga memang cukup menjadi hal yang tabu bagi perempuan ketika ikut menyukainya.

Kala itu saya sedang menonton pertandingan antara Italia vs Spanyol dalam Piala Konfederasi ditemani gadis saya. Ia bertanya, “Manchester City ga ikut ya?” Saya bingung menjawabnya. Lantas saya jawab pertanyaannya itu. Selesai menjelaskannya, saya mengingat kegagalan Manchester City—klub favorit saya—meraih gelas pada akhir musim 2012/2013. Ya, klub favorit saya yang menjadi juara English Premier League 2011/2012 itu gagal menjadi juara, pada The Citizens—sebutan Manchester City—terdapat banyak pemain bintang, mengingat pemilik City adalah seorang taipan Arab.

Dusta


Aku berjalan perlahan ke arah utara
Peluh membasahi dahi ini membuatku mengusapnya
Kulihat jalan ini cukup ramai dengan hiruk pikuknya
Namun, kupandangi beberapa orang melihatku jua

Kulihat abang cendol melayani pembeli
Ia kewalahan melayani mereka sendiri
Tiada seorang pun membantunya mengorek panci
Pembeli semakin bringas meminta dilayani sambil memaki
Abang cendol tetap sabar melayani, mengelap peluh di dahi
Caci maki minta dilayani semakin kencang, hawa begitu keji
Terik matari cukup membuat manusia tak dapat mengontrol diri

Aku tergoda membeli cendol jua tapi kuurungkan
Aku ingin terus berjalan

Kulihat abang soto tak jauh berbeda
Dikeroyok masa minta makan demi tiada kelaparan
Abang soto sedikit jengkel manusia itu tanpa etika
Menggebrak gerobak soto dengan keras suasana kacau nian
Panas matari begitu kejam menyiksa kami semua
Tak terkendali beberapa orang membanting mangkok hinggan berceceran

Aku tergoda membeli soto jua tapi

Hanya Takut Pada Tuhan


“Abang nyolongin barang orang terus seperti ini tiada bosan apa?” tanya saya.

“Yang penting, kita nyuri barang orang kaya. Orang kaya memang harus dicuri barangnya, kan mereka tidak bersedekah. Kita bantu sedekahin harta mereka ke orang miskin,” jawab Bang Samsul.

“Tapi ngapain pula abang ngerampok, nggebukin, nodong senjata, merkosa mereka, Bang?”

“Ya biar mereka kapok. Supaya kembali ke jalan yang benar. Aku nggak takut sama manusia, Nang. Aku cuma takut sama Tuhan. Kalau kita membantu orang miskin kan Tuhan senang.”

“Lah, memang kalau abang ngerampok, nggebukin, nodong senjata, merkosa, nyuri uang sesama manusia Tuhan senang? Memangnya kalau kita berani sama sesama manusia itu artinya abang masih takut sama Tuhan?”

“Ya, mudah-mudahan aja Tuhan bisa maklum kalau makhluk ciptaannya saling sikut, Nang. Namanya juga hidup. Perut lapar harus diisi. Jadi manusia kan harus profesional.”

“Kalau abang nurutin profesionalisme sebagai manusia macam itu berarti abang nggak takut sama Tuhan dong?”

Ia diam.

Surabaya, 6 Juni 2013

Aditya Prahara

Rabu, 20 November 2013

Hmm, Satu Bulan Ini


Saya baru saja selesai mandi. Segar rasanya. Ya, tapi namanya juga air Surabaya, ya begitulah. Saya langsung membuka laptop saya—tentu saja setelah selesai pakai baju, jancuk—ini, dan saya buka blog saya. Ternyata sudah sebulan saya tak menulis. Lumayan lama juga ya. Inspirasi banyak, tapi entah kenapa hasrat untuk menulis rasanya telah sirna. Jadi, mau tak mau saya ya tidak menulis.

Satu bulan terakhir ini saya memang cukup sibuk. Awal masuk kuliah semester dua dan tugas-tugas kuliah menghantui saya. Saya jalani 24 sks semester ini dengan 9 mata kuliah. Saya cukup menyesal, cuk. Saya jadi harus benar-benar focus untuk kuliah kalau begini. Bandingkan saja, di semester 1, saya cuma menjalani 19 sks dengan 8 mata kuliah. Sebenarnya tidak beda jauh sih, tapi yang membuat saya cukup menyesal adalah isi materi. Semester 1 kan masih awal jadi paling-paling ya mata kuliah pengantar, dasar, dan isinya teori. Mendengarkan dosen, baca buku, diskusi, cari referensi di internet, selesai. Tapi semester 2 ada mata kuliah Tipologi Sosial dengan 3 sks; 2 sks kuliah dan 1 sks praktikum. Untuk praktikum harus survey terjun lapangan. Repot juga. Tapi beginilah sebagai mahasiswa Sosiologi ya harus punya kredibilitas. Semacam profesi saja.


Pekerjaan (Cerita 150 Kata)


Kantor jadi sangat ramai semenjak artis itu terseret kasus narkoba. Saya tak terarik untuk mengikuti perkembangannya karena itu bukan bagian saya. Di tengah menunggu ada sesuatu kejadian—mungkin, saya membaca novel detektif untuk tambahan pengetahuan.

Tapi ketika sedang asyik-asyiknya, anak buah saya datang sambil membawa seorang yang kumal dengan tangan terborgol. Dugaan saya dia pencopet atau penjambret, karena sekarang mereka lagi booming akhir-akhir ini di kantor saya.

Saya memandanginya dari atas sampai bawah. Mata dan pipinya lebam, sepertinya baru dihakimi masa.

“Duduk! Nama?” tanya saya.

“Ahmad.”

“Umur?”

“25 tahun.”

Saya menanyai segalanya padanya.

Ngapain kamu nyopet?” tanya saya.

“Saya tak punya uang, Pak, untuk beli makan,” jawabnya sambil memasang wajah memelas.

Lah, ngapain juga kamu makan?! Puasa aja sekalian!” bentak saya berusaha membuatnya tertekan.

Lah, kalo saya ndak makan saya jadi ndak punya tenaga dong, Pak, buat nyopet,” jawabnya.

“Makanya kerja!”

“Saya kan pencopet, Pak, pekerjaan saya ya pencopet.”

Ambulu, 17 Februari 2013

Aditya Prahara

Pemadaman Kebohongan (Cerita 250 Kata)


Di tengah malam yang sunyi ini, saya mendengar suara kakek sedang batuk berat. Saya langsung pergi ke kamar kakek. Ayah dan Ibu sudah ada di sana.

“Kita bawa ke puskesmas saja,” kata ayah.

“Sepertinya batuknya kakek berat, Yah. Kita bawa ke rumah sakit saja,” balas saya.

“Di desa begini mana ada rumah sakit, le,” kata ayah.

Ayah langsung ke luar dan menyalakan mobil. Saya dan ibu menuntun kakek berjalan. Kami akan membawa kakek menuju puskesmas. Kakek yang seorang perokok berat membuat saya khawatir. Jangan-jangan propaganda rokok menyebabkan penyakit dan tetek-bengeknya itu betul adanya.

Sampai puskesmas, begitu sepi, saya melihat seorang perawat pria. Ayah menjelaskan perihal apa yang terjadi pada kakek.

“Waduh, ini jantungnya berbahaya, Pak. Apalagi bapak bilang kakek perokok berat. Dibawa ke rumah sakit kota saja. Prosedurnya bapak harus pakai ambulan dari sini,” kata perawat itu.

“Dokternya tidak ada?” Tanya Ayah.

“Dokternya sudah tidur, Pak,” balas perawat itu.

“Dokter dan perawat punya kode etik kan, Mas?” tanyaku pada perawat.

“Biaya ambulannya 200 ribu. Dan ini juga perlu oksigen. Totalnya 290 ribu,” kata perawat tak menjawab pertanyaanku.

“Mas, saya ini mahasiswa kedokteran. Sampeyan cuma perawat minta ditampar uang berapa juta?” tantangku.

Perawat itu diam.

Tidak Sepakat

“Jadi begitu ya. Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya,” kata Bu Titik.

“Ya, bu,” jawab siswa sekelas.

“Ibaratnya begini. Kalian perhatikan tiap kali ada tamu, pasti orang tua kalian menyuguhkan sesuatu, bahkan menyuguhkan yang terbaik dari yang ada. Sama seperti kapitalisme. Kita menjual yang terbaik untuk diekspor dan negara kita bisa untung besar.”

“Bu, saya tidak setuju dengan pernyataan Ibu. Asing bukan tamu. Mereka pembeli. Tabiat tamu dan pembeli berbeda. Tamu bersifat untuk keramah-tamahan. Tapi bagaimana dengan asing? Krisis akibat kapitalisme bisa menghancurkan bangsa,” kelakar saya.

“Ya, tapi tetap yang terbaik kan yang dijual. Dan dengan kapitalisme kita bersaing,” balas Bu Titik.

“Tapi kapitalisme berbeda dengan bertamu. Bagi saya

Ini Surabaya


Sudah sekira 5 bulan saya tinggal di Surabaya. Ya, cukup lama tapi juga bisa dibilang sebentar. Dan saya rasa pun saya belum begitu menyatu dengan Ibukota Jawa Timur ini. Tapi saya bisa beradaptasi dengan baik. Bisa dilihat dengan kebetahan saya di sini.

Selama di Surabaya, saya banyak menemui hal baru. Mulai dari sifat orang Surabaya yang bisa dibilang kasar—itu bagi orang pendalungan seperti saya—atau pun yang terkenal blak-blakan. Orang yang tak terbiasa hidup seperti ini pasti mengalami culture shock. Kaget dengan budaya Surabaya yang amat egaliter ini. Ya, ini Surabaya. Jancuk sudah bertebaran di mana-mana. Mulai dari anak kecil yang bermain petak umpet, sampai orang-orang tua yang nongkrong di warung kopi mengucapkannya.

Berbeda sekali dengan daerah asal saya, Jember. Jember yang tergolong dalam sub-suku pendalungan tak terbiasa dengan hal ini. Campuran budaya Jawa dan Madura cukup unik bagi saya. Karena memang Jawanya Jember dan Maduranya Jember biasanya berada di masyarakat pedesaan. Orang yang berada di pusat Jember pun biasanya berasal dari salah satu dua suku itu. Dan mau tidak mau, dialek orang Jember akan berbeda dengan orang Surabaya. Saya yang berada di lingkungan Jawa pun sudah terkontaminasi oleh dialek Madura. Setidaknya itu kata teman-teman saya di Surabaya.

Sampai di Surabaya, saya merasa dialek saya malah kembali Jawa. Maksud saya, ada sedikit pengaruh dialek Surabaya. Tapi entah mengapa tetap saya medok. Saya tak ingin menghilangkan dialek saya ini, karena memang ini saya. Tapi tetap, saya masih bisa berkomunikasi dengan baik di sini.

Ah, Jadi Rindu


Sampai Matahari Terbit


Pukul 5 pagi, saya masih terjaga. Semalaman saya tak bisa tidur. Dengungan jingklong membuat saya tak bisa memejamkan mata. Kipas angin tak bisa menjadi solusi. Lotion anti nyamuk tak membuat resah berhenti. Saya butuh istirahat, dan entah mengapa mata memang sulit terpejam. Maka yang saya bisa hanya membaca, menulis dan menonton tivi.
Tengah malam tadi saya menulis sebuah cerita 100 kata. Sebuah genre prosa yang saya cumbui ketika produktif membuat tulisan. Sudah lama saya tak menulis, dan hari ini, di hari terakhir tahun 2012, seolah ada bujuk rayu dari sekelabat pikiran untuk mau menggerakan tangan kembali menari di atas keyboard laptop seperti kebiasaan saya ketika kelas 2 SMA.
Sesungguhnya saya agak jenuh juga dengan hal ini. Saya menulis tentang diri saya sendiri dan pasti akan membuat muak orang lain. Pasal apa saya bercerita? Siapa yang bertanya kok tiba-tiba congor—eh hati, pikiran, tangan atau terserah Sampeyan nyebutnya bagaimana—saya ini asal cerita saja. Dan orang juga tak ingin tahu kan siapa saya. Dan lantas mengapa pula saya masih asik. Terasa konyol sebenarnya. Tak ada hujan tak ada angin terus saja sekenanya saya bersuara—mungkin ini tepatnya ya.
Saya membaca buku Seno Gumira Ajidharma. Bagi penggemar Sastra, nama itu sudah tak asing lagi. Saya setuju bila ada orang yang bilang kalau ‘tidak belajar Sastra namanya kalau tak kenal Seno’. Namanya sering muncul di Kompas dan tertera di bawah judul cerpen yang biasanya terbit hari minggu. Dan sekali lagi, sangat kebacut, penggemar Sastra tak tahu namanya.
Ia penulis yang sangat produktif. Cerpen, novel, kumpulan esai semua dia tulis. Ia dulunya wartawan, maka mungkin sebaiknya saya tak kagum kalau dia banyak menulis. Tak perlu heran pula dia amat produktif menulis.
Tulisan ini bukanlah analisis saya terhadap karya Seno, siapa Seno, kehidupan Seno ataupun biografi Seno—komplitnya. Tulisan ini saya buat mengalir saja, maka jangan harap saya akan bercerita tentangnya. Saya tak banyak tahu tentang dia—bisa jadi Sampeyan lebih banyak tahu. Saya hanya ingin menulis.
Tak kurang dan tak lebih, mungkin ini hanya berisi cocot saya untuk mengisi hari terakhir di tahun 2012. Dan sekali lagi ngomong soal waktu kan itu hanya akal-akalan sains. Hari terakhir atau tidak itu bukan titik sumber saya ingin menulis. Kalau bisa, saya menulis di akhirat pun akan saya lakukan. Mau apa Sampeyan?
Saya mulai menyadari, saya ini pemalas yang sebenar-benarnya. Bayangkan saja, saya terakhir menulis 7 November, dan kembali menulis hari ini. Anggap saja 2 bulan saya tak menulis—kecuali tugas kuliah. Bukankah ini sebuah masalah? Bukannya saya mau sombong, tapi kan memang harus ada ya dibenahi. Dan saya…
Eee lah dalah, kenapa saya jadi malah curhat begini. Ini sudah menyalahi apa yang sudah saya katakan tadi lho. Mungkin sebaiknya saya tidur saja sekarang. Matahari sudah terbit. Ada baiknya kalau olahraga, sarapan, lantas tidur—yang terakhir saya ragu. Istirahat sangat perlu kan? Kalau saya tak bisa tidur, saya ragu akan onani—seperti saran teman saya.
Ambulu, 31 Desember 2012

Aditya Prahara

Sesuatu yang Baru


“Ini apa, Yah?” tanya Tio, adikku yang masih kelas 6 SD, pada ayah sambil menunjuk kumpulan serbuk di atas semangkuk nasi soto yang asapnya masih mengepul.
“Itu namanya koya,” jawab Ayah.
“Aku tak mau memakannya.”
“Dicoba dulu,” bujuk Ayah.”
“Tidak,” katanya tegas.
“Ciri anak pintar itu, mau mencoba sesuatu yang baru. Mbok ya dirasain dulu,” kata Ayah.
Tio akhirnya memakan nasi soto itu. Selesai makan, ayah menyalakan rokok. Tio mengambil sebatang rokok milik ayah dan menyalakannya.
Ngapain kamu, Tio?”
“Aku ingin mencoba rokok. Rokok adalah sesuatu yang baru bagiku, Yah. Aku kan anak pintar,” ujar Tio sambil tersenyum.
Ayah kebingungan.
Ambulu, 31 Desember 2012

Aditya Prahara

Panas Matahari


Aku melangkahkan kaki dengan lunglai. Rasanya ingin aku memutar balik badanku dan kembali ke tempat di mana aku berada seharusnya. Bukan di tengah lapangan sekolah dan bertarung dengan teriknya matahari macam ini. Bukan sedang hikmad menyanyikan Indonesia Raya seperti sekarang ini. Bukan tengah mendengar sepotong pidato dari seorang koruptor yang penuh dengan bualan-bualan gratisan. Bukan sedang berbaur dengan teman-teman sekolahku yang menjalani hidup dengan lurus-lurus saja.

Pidato dari kepala sekolah membuatku muak. Kata-kata munafik mengucur deras keluar dari congornya.

“Sebulan lagi, siswa kelas 3 akan menghadapi ujian nasional. Banyak-banyaklah belajar agar dapat menghadapi ujian dengan baik,” katanya.

Logisnya ketika kami diminta untuk membayar sejumlah uang untuk mengurus ujian dan tetek bengeknya, kami mendapat pelayanan yang baik untuk persiapan belajar. Pada kenyataannya, kepala sekolah itu baru saja membeli mobil baru. Aku tak tahu uang itu dari mana. Entah dari dia memiliki usaha, menabung bertahun-tahun, atau memang uang dari kamu. Kalau yang terakhir itu benar, berarti kamu patungan untuk membeli mobil ketujuh kepala sekolah berkacamata tebal ini.

Pun, aku tak tertarik untuk giat belajar. Emosiku bisa memuncak ketika panas matahari menguasaiku begini. Dan memang emosiku hanya memuncak ketika ada panas matahari.

Plak! Ada yang memukul kepala aku dari belakang.

“Waktu upacara malah garuk-garuk kemaluan. Ayo yang bener tangannya,” kata Supardi, guru Olahraga, mengawasi peserta upacara.

Aku diam. Aku ingin upacara cepat selesai.

Terik matahari membuatku sangat jengah. Posisi istirahat di tempat tak cukup membuatku nyaman. Aku pun mengelap peluh yang ada di kepala aku.

Plak! Lagi.

Aku membalikkan badan. Supardi melotot.

“Jancuk! Aku tahu kamu guru. Tapi kamu nggak berhak memukul kepalaku!”

Indri Lagi Nih yang Nggambar

Hmm, seneng banget rasanya punya pacar yang bisa nggambar. Waktu lagi asyik ngobrol tiba-tiba dia mamerin gambarannya.



Aku Masih Ingat Betul, Kawan


Aku masih ingat betul, kawan
Saat pagi betul dating ke sekolah
Bukan lantaran semangat belajar tanpa jengah
Tapi untuk sekadar menyalin tugas sejarah
Tanpa malu berseragam sekolah menengah

Aku masih ingat betul, kawan
Saat jeda istirahat telah tiba
Kita bersama menuju toilet tua
Untuk sekadar masturbasi bersama
Untuk sekadar sebatang udud berlima

Aku masih ingat betul, kawan
Saat kita mengumpulkan uang
Saat Jack-D adalah tujuan
Saat kita pusing baru satu putaran
Saat kita kencing di batu nisan

Aku masih ingat betul, kawan
Di bulan suci Ramadhan itu
Saat senja siap bercumbu
Saat ngabuburut kita bertujuh
Saat adzan maghrib terdengar merdu

Aku masih ingat betul, kawan
Di jumat, menikmati terik matahari
Kita pergi bersama ke masjid jami
Bersembahyang dengan khusyuk kepada ilahi
Kita berdoa dengan setulus hati

Aku masih ingat betul, kawan
Saat ujian telah tiba
Saat bertobat kepadaNya
Kita belajar demi orang tua
Kita belajar meraih cita-cita

Aku masih ingat betul, kawan
Saat aku sedang gundah
Saat aku tengah jengah
Saat kalian menghiburku tanpa lelah
Saat kalian mengajakku berkemah

Aku masih ingat betul, kawan
Kita pergi ke taman kota
Kita nongkrong di sana
Kita bergurau dan dan bercanda
Kita tersenyum bahagia di sana
Aku masih ingat betul, kawan
Surabaya, 6 Oktober 2012

Aditya Prahara

Coretan Indri

Saya suka menulis. Kekasih saya suka menggambar. Nah, beberapa waktu yang lalu dia sempat menggambar dan dipamerkannya lewat twitter. Saya suka pada gambarnya karena lucu.



Hihihi, kira-kira wajah siapa gerangan yang ia gambar. Terima kasih, sayangku.

Kunci


“Aku butuh kunci, bang,” ujarnya.
“Buat apa?” tanyaku.
“Untuk membuka pintu itu.”
“Kau tak punya kunci?”
“Makanya kubilang pada abang.”
“Kenapa tak kau dobrak saja?”
“Ah, abang. Itu bukan caranya seorang terpelajar?”
“Maksudmu?” Aku mengeryitkan dahi.
“Aku tak boleh memaksa.”
“Kau butuh betul?”
“Iya, bang.”
“Ya dobrak saja,” paksaku.
“Kan sudah kubilang.”
“Tak mau mendobraknya?”
“Tidak.”
“Padahal kau butuh masuk lewat pintu itu?”
“Iya.”
“Sekarang?”
“Sekarang juga, bang! Ini mendesak!” teriaknya.
“Dengar. Kita sedang tak bicara Matematika. Kita sedang tak bicara mengenai bahasa yang konsisten. Seorang terpelajar bukan terpacu atau silau akan kalimat yang penuh bualan. Mengerti?” jelasku.
Ia diam.
Surabaya, 5 September 2012

Aditya Prahara

Kertas Kosong


Rembulan belum menampakkan cantiknya. Sampai pukul 3 pagi lebih ini saya masih belum jua dapat memejamkan mata. Tadi saya sempat menguap, saya kira saya sudah hendak tidur. Nanging, ketika sudah siap untuk bertemu mimpi, saya tak bisa tidur. Lantas saya jalankan malam ini dengan membaca buku, membaca berita dan bermain game.

Baru saja saya bermain game di ponsel saya sambil mendengarkan lagu. Saya menyalakan lagu secara random. Tiba-tiba ponsel saya menyalakan lagu dari soundtrack film Gie dengan judul lagu yang sama. Saya jadi teringat akan sesuatu. Ya, teman-teman nongkrong saya memanggil saya ‘Gie’. Julukan yang cukup membuat saya senang, karena saya merasa akrba dipanggil begitu. ‘Gie’ meraung, maka dengan sigap saya menuju meja saya dan saya langsung menyatu dengan laptop saya dalam buaian kata-kata.

Hmm, semua sudah tidur ya? Sepi nyenyet. Tak ada suara apa-apa selain jangkrik dan ayam yang berkokok kepagian. Dua hari yang lalu saya masih sahur bersama keluarga. Sehari yang lalu, jam segini pula, saya asyik di depan laptop pula sambil membaca berita. Sehari yang lalu suara gema takbir ora leren-leren berkumandang. Dan sekarang keadaan sangat berubah. Setidaknya yang namanya sahur, ngabuburit, buka, terawih, tadarus akan hadir lagi setahun lagi. Itu waktu yang lama tapi saya merindukannya.

Wah, rasanya akan asyik banget lho ya kalau menjalaninya bersama keluarga. Maksud saya, sensasi yang saya dapat akan sangat uenak bila menjalani aktifitas yang saya sebutkan tadi bersama keluarga. Tak terkecuali berpuasa dan juga shalat berjamaah 5 waktu. Rasanya aktifitas itu sangat jarang saya rasakan bersama keluarga. Saya jelas tak dapat menjelaskannya di sini mengapa saya tak merasakan sensasi itu, tapi saya cukup menikmati puasa tahun ini.

Kemana Oh Kemana Iwak Peyek?


Dalam sebulan terakhir ini saya sering pergi ke Surabaya. Ya, semenjak saya dinyatakan diterima di Universitas Airlangga, saya jadi sering mengunjungi Ibu Kota Jawa Timur ini. Nah, dari sekian banyak perjalanan itu, tak ada satu pun perjalanan yang saya tiwikramakan ke dalam sebuah tulisan. Kalau soal berperjalanan, sejak usai UN 2012, saya sering pergi ke sana ke mari. Ketika dalam perjalanan ide-ide bermunculan dan saya berniat untuk menuliskannya. Tapi ketika berada di depan laptop, saya blank.

Dari sekian banyak perjalanan yang saya lakukan, ada satu yang membuat saya masih merasa berkesan. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dari Surabaya menuju Bangil. Di Bangil saya nantinya hendak menginap di rumah budhe.

Saya cabut dari kampus ba’dha maghrib. Angkot membawa saya menuju terminal Joyoboyo. Sampai di Joyoboyo, bus kota yang biasanya membawa penumpang menuju Bungur Asih, sudah tidak ada. Terpaksa saya menumpang di angkot dengan tujuan Gempol. Ini baru pertama kalinya saya naik kendaraan umum di kotanya Bonekmania. Jadi saya belum begitu paham. Saya yang awam Surabaya ini pun tersesat. Seharusnya saya berhenti di Bungur Asih, eh malah ikut terus ke Gempol. Ya akhirnya saya ikut ke Gempol, baru saya naik bus dari situ menuju Bangil. Saya berhenti di Gempol ketika jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Dari Gempol saya naik bus dengan tujuan akhir Banyuwangi. Penumpang cukup ramai. Karena jarak perjalanan saya pendek, saya memilih duduk di dekat pintu, berada di sebelah kiri Pak Sopir. Ketika baru saja duduk, saya terkejut di dalam bus ada seorang kakek berusia sekira 70 tahun sedang memegang sebuah gitar.

“Ke mana… ke mana….” Nyanyi Si Kakek melantunkan lagu Ayu Ting-Ting. Suaranya sangat parah. Usia yang tak lagi muda jelas menjadi faktornya. Saya amat tak menikmati lagu ini.

“Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya…” kali ini lagu  dari Bang Haji Rhoma Irama yang beliau nyanyikan. Lagi-lagi dengan suaranya parah.

“Iwak peyek…. Iwak peyek… Iwak peyek sego jagung….”

Rindu pada Gebu

Saya amat terkejut membaca blog saya akhir-akhir ini. Saya sering menaikkan alis kanan saya ketika membaca tulisan saya sekira 6 bulan terakhir. Ya, dalam 6 bulan terakhir saya tak banyak menulis. Produktifitas saya menulis jadi berkurang. Terlebih lagi yang membuat saya merasa malu, saya amat sering sekali bicara bahwa saya jadi jarang atau pun malas menulis di blog.

Saya jadi heran, sekarang apa sih yang sedang saya cari. Padahal ketika saya mulai suka menulis, saya merasa amat menikmati hidup. Tapi jangan dikira ketika saya tidak menulis adalah tanda saya kehabisan ide. Wah, justru akhir-akhir ini ide-ide banyak menyisir di seluruh sudut otak saya.

Awal bulan Juli lalu, saya bolak-balik ke Surabaya untuk mengurus keperluan lanjutin studi saya. Ya, saya diterima di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga. Selama perjalanan, banyak sekali kejadian yang seharusnya membuat saya kaya akan ide, sehingga saya dapat menuangkannya dalam tulisan. Namun, lagi-lagi saya heran, mengapa saya jadi bingung untuk meniwikramakan ide-ide itu.

Saya rasa bila saya hanya berharap akan lahir semanngat menggebu-gebu saya muncul, semangat itu tak akan lahir. Maka sekarang yang harus saya buktikan adalah bukti.

Jember, 1 Agustus 2012

Jancuk yang Setia


Ya ampun, lagi-lagi jancuk menghiasi tulisan saya lho. Why? Why? Why? Hmm, saya sedang mengalami sesuatu hal membuat saya mengelus-elus dada. Gerangan apakah hal tersebut.

Berawal dari laptop saya yang sedang error. Nah, ini salah satu bentuk kekesalan saya pada windows. Gegara anti-virus, data-data saya banyak yang hilang. Anti-virus yang luar biasa kurang ajar itu mendeteksi beberapa data-data saya sebagai virus. Jadi, beberapa data saya hilang. Raib. Entah kemana.

Nah, lantaran saya betul sebal, saya ingin mengganti OS laptop saya dari windows menjadi ubuntu. Hmm, ubuntu itu cukup asing sesungguhnya bagi saya. Tapi saya tak ingin windows mengacak-acak segalanya. Pokoknya dalam pandangan saya windows telah merenggut sesuatu yang berharga dalam hidup saya.

Saya meminjam cd OS ubuntu pada salah sorang teman kos saya yang pandai IT. Saya bilang padanya bahwa saya hendak meng-install-nya sendiri. Dia sempat meragukan kapasitas saya dengan menawarkan diri untuk meng-install-kan ubuntu pada laptop saya. Namun pada akhirnya dia rela saya meng-install sendiri.

Hujan Deras


Udara dingin langsung menampar saya, ketika saya membuka pintu depan rumah. Hujan turun dengan amat deras. Saya khawatir pada Doni, kekasih saya, yang dalam perjalanan ke mari. Kali ini hujan turun dengan disertai angin yang luar biasa.
Ketika Doni main ke sini, hujan selalu turun. Saya sendiri heran mengapa demikian. Maka mau tidak mau, ketika hujan saya selalu ingat pada Doni.
“Tahukah kau, siapa orang yang paling tak berperasaan sedunia? Ia adalah orang jauh dengan kekasihnya saat hujan, tapi tak menghasilkan satu pun puisi,” ujar Doni suatu ketika.*
Hujan membuat saya amat rindu pada Doni. Di telinga saya terngiang lagu Hujan Deras yang merupakan lagu kesukaan Doni.
Udan deres wor tinretes waspa
Pangrantese tangis ngeleb pipiku
Guntur gumbludug muntabke kilat
Mangkilat-kilat kinclong pipiku**
Amat jelas di telinga saya. Bahkan nyanyian itu juga diiringi dengan suara saksofon, gamelan dan violin. Hujan semakin deras dan Doni belum juga datang.

Pertemanan Tanpa Pamrih


Akhir-akhir ini saya banyak memikirkan suatu hal. Tak jarang ketika saya memikirkan hal itu saya duduk sendiri terbengong dengan mata kosong dan dianggap oleh orang sekitar saya bahwa saya sedang melamun.

Biasanya teriakan mereka  berupa, ”Ngapain kamu, Dit? Ngelamun aja.”

Paling-paling saya hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.

Tak jarang pula saya memikirkan suatu hal itu ketika sedang istirahat. Tanpa terasa saya sudah brebes mili. Saya sendiri tak tahu kenapa. Jelas hal yang saya pikirkan adalah suatu yang haru atau menyedihkan atau pun mengecewakan.

Salah satu hal yang selalu terlintas di pikiran saya adalah, apakah ketika kita melakukan suatu hal itu memang mengharap pamrih. Maksud saya, apakah kita selalu meminta timbal balik ketika melakukan suatu hal.

Serius atau Main-main


Lemari itu sudah lebih dari 50 tahun ada di kamar kos ini. Bisa dilihat dari bentuk dan terlihat kuno. Ada sedikit pahatan di ujungnya. Debu menempel deras di sana. Menandakan sang pemilik kamar jarang membersihkannya. Entah tak peduli atau tak sempat, yang jelas dengan debu yang menemaninya di sana, itu akan membuat Lemari itu semakin kuno.
Di sebelah Lemari terdapat sebuah Cermin besar yang dipasang di dinding. Cermin itu selalu menemani pemiliknya ketika bersolek. Si Cermin terlihat jauh lebih bersih dibanding si Lemari. Menandakan pemiliknya amat peduli dengan si Cermin. Bahkan terdapat beberapa hiasan berwarna merah jambu agar terlihat lebih feminim.
Di ujung kamar, di sebelah pojok terdapat sebuah Meja. Di atasnya terbaring beberapa buku yang sedikit kumal. Buku-buku nampak seperti buku bekas, dari tampangnya. Bila dibuka pasti ada halaman yang robek atau kucel.
Di sebelah Meja, terdapat sebuah ranjang empuk yang nyaman. Sprei bergambar Teddy, amat cantik dan pas. Di atas ranjang empuk ini, si pemilik bebas berbuat apa saja. Terlihat dari beberapa barang yang ada di atasnya terletak tak keruan. Di pojok ranjang, terdapat sebuah sejadah dan sebuah mukena. Di ujung lain terdapat baju-baju yang tak dilipat.

Betul-betul Berharap Ada Semangat


Malam ini, saya masih terjaga. Sambil menunggu pertandingan sepakbola antara Bayern Munchen vs Chelsea, saya menulis sedikit lah.
Saya sedang di depan TV di rumah kos saya. Saya tidak sendiri di sini, saya sedang bersama, anak ibu kos saya. Tapi ia sudah tidur sedari tadi.
Wah, sungguh seharusnya ini jadi hari yang spesial kan. Hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional. Oke, Met Hari Kebangkitan Nasional. Semoga saja ada suatu semangat dari saya yang bangkit mulai hari ini. Tak lagi malas-malasan seperti biasanya.
Tapi, apakah saya betul-betul bisa, mengingat saya terlalu sering nongkrong akhir-akhir ini. Cangkir kopi saya yang ada di sebelah saya ini sedang kosong lho, jadi saya mau bikin kopi lagi. Nah, saya kan bisa-bisa bakal melek sampai pagi. Pola tidur jadi berantakan. Ya, gini ini aktifitas saya. Saya merasa tidak ada yang wah gitu. Makanya saya berharap ada rasa semangat yang bangkit.
Lha wong saya ini kurang begitu mood juga lho untuk nulis, gimana mau semangat. Rasanya saya tidak punya fundamental untuk memulai semangat. Jancuk kan? Ya saya sendiri juga berusaha membangkitkan semangat saya ini. Entah itu menulis, membaca, belajar, diskusi, ibadah, olah raga atau pun yang lainnya.

Dalam Malam


Sudah sebulan terakhir ini saya tidak ngeblog. Entah kenapa, jiwa saya untuk menulis jadi berkurang, bahkan mungkin tidak ada. Saya sendiri tidak tahu mengapa. Tapi saya terus berusaha untuk membangkitkan jiwa menulis saya.
Tengah mala mini, tiba-tiba saya ingin menulis, namun saya tidak tahu apa yang hendak saya tulis. Maka saya buatlah tulisan ini. Ini bukan cerpen. Bukan cerita 100 kata. Bukan puisi. Bukan esai, apalagi features.
Dalam sebulan terakhir saya tetap menghasilkan tulisan kok. Tapi saya memang belum sempat menaruhnya dalam blog, jadi mungkin bila tulisan saya itu terinspirai dari sebuah kejadian atau berita, maka akan sangat terlihat expired.
Akhir-akhir ini, saya terlalu sering nongkrong. Ngopi bersama teman-teman, mungkin ini pula yang menyebabkan saya jadi tidak produktif menulis lagi. Tapi bukankah saya pernah bilang, apapun halangan saya menulis, saya tidak akan berhenti menulis. Ternyata saya menghianati kata-kata saya sendiri. Memalukan.
Dalam malam yang gelap dan sunyi ini, saya menulis. Ketika semua teman kos saya sudah tidur, saya menulis. Saya sendiri tak tahu, apa tujuan saya menulis kali ini. Mengapa saya menulis dan merasa amat rapuhnya saya. Dengan ditemani secangkir kopi yang saya buat, saya mencoba untuk membangkitkan semangat menulis.

Ayah


Ayah…
Aku menganggap dirimu adalah guruku
Mengajariku menulis dan membaca buku
Mengajariku mengaji dan membaca kitab suci
Tapi, guru tidak akan marah tanpa alasan secara tiba-tiba

Ayah…
Aku mendekatkan diriku padamu
Tapi, kau asingkan dirimu
Aku mengasingkan diriku padamu
Tapi, kau dekatkan dirimu
Dan kita memang tak pernah kenal

Derby Hastinapura (Wayang Durangpo)


Ee lah dalah, Yudhistira terlihat bete di pagi yang cerah ini. Gerangan apakah yang telah membikin sulung Pandawa itu sedih? Ia duduk di pinggir kolam kerajaan sambil melamun sedari tadi.
Ketika lagi asyik sedih, tiba-tiba datanglah Bagong menghampiri Yudhistira.
“Lho, ada apa, Prabu? Kok kayaknya kelihatan sedih?” tanya Bagong.
“Aku kalah taruhan, Gong. Sial betul,” jawab Yudhitira sambil sesekali melempat kerikil ke kolam.
“Lho kan memang sudah ceritanya begitu. Prabu Yudhistira kalah taruhan sama Kurawa. Semua yang dimiliki oleh Prabu mulai kerajaan, adik-adik Pandawa, Dewi Kunti—ibu Yudhistira, dan Drupadi—istri Yudhistira, Prabu  pertaruhkan kan? Sudahlah terima saja. Memang begitu isi kitab Mahabarata.”
“Iya, Gong. Aku terima nasib. Seharusnya aku marah sama yang bikin cerita saja ya. Atau mungkin aku nggak usah jadi Yudhistira saja supaya aku nggak sedih gini,” ujar Yudhistira sambil menitikkan air mata.
“Iya, sing sabar ya. Makanya jadi panakawan aja. Enak. Saya saja bahagia lho jadi panakawan.”
“Iya ya. Tumben kamu mikir cerdas, Gong.”

Derby Manchester


Menjelang Derby Manchester, saya selalu memakai jersey tim kebanggaan saya, Manchester City. Kapan saja saya pergi saya memakainya. Ke mana saja saya pergi saya memakainya. Pergi ke mal untuk sekadar melihat SPG yang cantik. Pergi ke tempat perek untuk sekadar ngelonte. Pergi ke masjid untuk memanjatkan doa. Bahkan juga pergi ke kakus untuk sekadar berak pun.
Saya amat menyenangi tim ini. Tak peduli sudah berapa lama saya memakainya tanpa mencucinya. Toh badan saya juga tidak gatal kok. Saya senang-senang saja. Ke mana pun saya pergi saya selalu bangga untuk mengucap Superbia in Praelia. Bisa dibayangkan kan bagaimana cintanya saya.
Derby Manchester sudah semakin mendekat. Tujuh hari lagi. Saya semakin bangga memakainya. Saya tak peduli dengan keluhan istri saya soal bau busuk yang keluar dari baju ini. Mungkin dia memang tak tahu apa arti cinta.