Ee lah dalah,
Yudhistira terlihat bete di pagi yang cerah ini. Gerangan apakah yang telah
membikin sulung Pandawa itu sedih? Ia duduk di pinggir kolam kerajaan sambil
melamun sedari tadi.
Ketika
lagi asyik sedih, tiba-tiba datanglah Bagong menghampiri Yudhistira.
“Lho,
ada apa, Prabu? Kok kayaknya kelihatan sedih?” tanya Bagong.
“Aku
kalah taruhan, Gong. Sial betul,” jawab Yudhitira sambil sesekali melempat
kerikil ke kolam.
“Lho
kan memang sudah ceritanya begitu. Prabu Yudhistira kalah taruhan sama Kurawa.
Semua yang dimiliki oleh Prabu mulai kerajaan, adik-adik Pandawa, Dewi
Kunti—ibu Yudhistira, dan Drupadi—istri Yudhistira, Prabu pertaruhkan kan? Sudahlah terima saja. Memang
begitu isi kitab Mahabarata.”
“Iya,
Gong. Aku terima nasib. Seharusnya aku marah sama yang bikin cerita saja ya.
Atau mungkin aku nggak usah jadi Yudhistira saja supaya aku nggak sedih gini,”
ujar Yudhistira sambil menitikkan air mata.
“Iya,
sing sabar ya. Makanya jadi panakawan
aja. Enak. Saya saja bahagia lho jadi panakawan.”
“Prabu
juga sih, ngapain judi sama Kurawa. Makanya jangan suka judi, Prabu. Masak
seorang ksatria judi. Kan malu,” kata Bagong yang kini jadi bijak.
“Sek ta lah, Gong. Yang kalah judi itu
siapa?” tanya Yudhistira.
“Lha
kan Prabu yang kalah judi sama Kurawa kan? Piye
to?”
“Salah
kamu, Gong. Aku bilang, aku kalah taruhan. Aku kalah taruhan sama Kurawa. El
Classico, Gong. El Classico. Aku dukung Barca, Gong. Kurawa dukung Madrid. Eh,
Barca malah kalah, Gong.”
Eee lah dalah. Trok tok tok tok
tok. Yudhistira sedih gara-gara kalah taruhan El Classico.
Kini ia tak kuasa menahan air mata. Semuanya telah ia pertaruhakan saking
yakinnya Barcelona akan menang menghadapi Madrid. Bagong jadi malah bingung.
Hendak berbuat apa bila seorang panakawan mengetahui rajanya menangis gara-gara
kalah taruhan.
Di
tengah tangisan Yudhistira yang tak begitu keras, datanglah Bima yang berbadan
besar.
“Oi, ana apa iki? Kenapa Kakang
Yudhistira menangis? Jancuk! Kamu
apakan kakangku, Gong?!” bentak Bima pada Bagong.
“Lho?
Saya sendiri saja bingung ini mesti berbuat apa, kok malah dibentak. Gini lho,
Prabu Yudhistira kalah taruhan, Den,” kata Bagong. Lantas Bagong menjelaskan
semuanya. Prabu Yudhistira sesenggukan.
“Kangmas iki ana-ana wae. Kalo gini mau
jadi apa? Nasi udah jadi bubur. Kamu yang taruhan, kita yang nanggung. Asu!” Yudhistira kini marah.
Karena
Bima berteriak sambil mengumpat maka datanglah Arjuna, Nakula, Sadewa beserta
Drupadi dan Dewi Kunti.
“Ada
apa anakku? Kenapa kau bentak kakakmu?” tanya Dewi Kunti.
“Kakang
kalah taruhan, Bunda. Dan kita semua dipertaruhkan,” kata Bima.
“Lho
kan memang ceritanya begitu. Ya kita terima nasib saja,” kata Dewi Kunti.
“Masalahnya
Kakang Yudhistira ini kalah taruhan sepakbola.”
“Ya
ampun.”
Trok tok tok tok dok.
Datanglah para Kurawa untuk menagih janji.
“Sekarang
tepati janjimu, Yudhistira. Kerjaan Hastinapura ini akan menjadi milikku.
Pandawa lima, Dewi Kunti dan Drupadi juga kau pertaruhkan, jadi kalian sekarang
bukan lagi orang merdeka. Kalian adalah budakku,” katanya Suyudana lantas
tertawa dan diikuti oleh para Kurawa lain.
“Ah, gak iso. Hastinapura masih milik
kami. Aku juga masih punya ajian. Kalau aku mau aku bisa membunuhmu sekarang,
Suyudana!” teriak Bima.
Bagong
cuma bengong aja. Karena ia bingung harus berbuat apa, maka ia langsung
mengambil BBnya dan langsung mention
Gareng dan Petruk lewat twitter. Nakula dan Sadewa yang paling kecil malah
asyik dengan handphone-nya
masing-masing dan lantas update status twitter
dan facebook: “Bentar lagi akan ada
derby Hastinapura nih.”
Petruk
dan Gareng datang. Petruk berlari kencang, Gareng yang pincang berteriak pada
Petruk, “Truk, enteni lah!”
“Waduh,
Prabu dan Raden, mbok ya jangan
tukaran. Kan kalian ini saudara. Lagi pula, kalau kalian mau berantem nanti aja
di kancah Baratayudha. Tempat kalian berantem itu di tegal Kurusetra, bukan di
Hastinapura. Nanti dulu. Kalau Pandawa sudah dibuang baru berantem minta
Hastinapura,” seloroh Petruk.
“Nggak
bisa! Pokoknya Hari Gondrong Nasional harus sekarang!” kata Bima sambil melepas
mahkota dan memamerkan rambut gondrongnya.
“Lho,
Raden? Kita lagi mbahas kalah taruhan El Classico ini, bukan mbahas gondrong.
Nyindir nih,” kata Bagong yang berambut pendek.
“Oh,
ya. Maaf. Lagian, ngapain kamu rambutnya pendek gitu, Gong? Kayak koruptor
aja,” kata Bima.
Bagong
malah mrengut. Betul-betul
tersinggung dibilang mirip koruptor.
Trok tok tok tok tok. Tiba-tiba
datanglah Dewabrata alias Bisma.
“Ada
apa ini cucuku? Maaf eyang datang terlambat menyelesaikan masalah kalian. Eyang
tadi ditilang sama Polisi,” ujar Bisma.
“Lho,
sekarang mana mobilnya, Eyang?” tanya Arjuna.
“Dibawa
sama polisi. Mobil eyang Esemka sih, kata polisinya, anaknya lagi pengen Mobil
Esemka. Udah udah, ayo kenapa ini kalian berantem?”
“Pokoknya
saya menyatakan perang dengan Kurawa, Eyang!” teriak Bisma.
“Masalahnya
apa? Kalo salah satu dari Pandawa atau Kurawa pengen Kerajaan ya mbok bikin
lagi aja. Apa susahnya sih bikin kerajaan?”
“Masalahnya
saya pengen permaisuri saya Angelina Sondakh, Eyang. Tapi saya ditolak sama
dia,” ujar Suyudana, sulung Kurawa.
“Wis, Angie itu udah jadi tersangka. Cari
yang lain saja.”
“Suyudana
jancuk! Pokoknya aku tunggu Kurawa di
tegal Kurusetra. Kita perang di sana,” kata Bima. Empat Pandawa lain manut
saja.
“Wait!” teriak Gareng yang baru nyampe.
Ia berjalan dengan terpincang-pincang.
“Lho,
kang? Kok baru nyampe? Kan tadi berangkatnya bareng aku,” kata Petruk.
“Lha wong kamu ninggal aku, Truk. Aku
tadi kecemplung joglangan. Jeru maneh joglangane,” kata Gareng
sambil masih mengatur nafas. “Saya punya usul Pandawa dan Kurawa. Daripada
kalian perang, mending masalahnya diselesaiin baik-baik. Ndak usah perang.”
“Kamu
baru datang tiba-tiba usul aja. Emang kamu tahu masalahnya apa?” tanya
Suyudana.
“Ya,
saya memang ndak tahu. Tapi kan semua masalah ndak harus diselesaikan dengan
perang. Maka usul saya, gimana kalo Pandawa dan Kurawa dolan catur ae. Daripada perang. Eman lho tenaganya.”
Semua
saling tengok. Bima tersenyum, “Usulan yang bagus, Reng! Oke kita dolan catur aja!”
“Ayo!”
teriak Suyudana. Kurawa yang lain terlihat senang tak jadi perang. Begitu juga
Pandawa yang lain. Dewi Kunti dan Drupadi pun langsung bungah.
Ee lah dalah.
Pada akhirnya Derby Hastinapura diselesaikan dengan cara dolan catur.
Jember,
7 Mei 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar