Rabu, 20 November 2013

Derby Hastinapura (Wayang Durangpo)


Ee lah dalah, Yudhistira terlihat bete di pagi yang cerah ini. Gerangan apakah yang telah membikin sulung Pandawa itu sedih? Ia duduk di pinggir kolam kerajaan sambil melamun sedari tadi.
Ketika lagi asyik sedih, tiba-tiba datanglah Bagong menghampiri Yudhistira.
“Lho, ada apa, Prabu? Kok kayaknya kelihatan sedih?” tanya Bagong.
“Aku kalah taruhan, Gong. Sial betul,” jawab Yudhitira sambil sesekali melempat kerikil ke kolam.
“Lho kan memang sudah ceritanya begitu. Prabu Yudhistira kalah taruhan sama Kurawa. Semua yang dimiliki oleh Prabu mulai kerajaan, adik-adik Pandawa, Dewi Kunti—ibu Yudhistira, dan Drupadi—istri Yudhistira, Prabu  pertaruhkan kan? Sudahlah terima saja. Memang begitu isi kitab Mahabarata.”
“Iya, Gong. Aku terima nasib. Seharusnya aku marah sama yang bikin cerita saja ya. Atau mungkin aku nggak usah jadi Yudhistira saja supaya aku nggak sedih gini,” ujar Yudhistira sambil menitikkan air mata.
“Iya, sing sabar ya. Makanya jadi panakawan aja. Enak. Saya saja bahagia lho jadi panakawan.”
“Iya ya. Tumben kamu mikir cerdas, Gong.”
“Prabu juga sih, ngapain judi sama Kurawa. Makanya jangan suka judi, Prabu. Masak seorang ksatria judi. Kan malu,” kata Bagong yang kini jadi bijak.
Sek ta lah, Gong. Yang kalah judi itu siapa?” tanya Yudhistira.
“Lha kan Prabu yang kalah judi sama Kurawa kan? Piye to?
“Salah kamu, Gong. Aku bilang, aku kalah taruhan. Aku kalah taruhan sama Kurawa. El Classico, Gong. El Classico. Aku dukung Barca, Gong. Kurawa dukung Madrid. Eh, Barca malah kalah, Gong.”
Eee lah dalah. Trok tok tok tok tok. Yudhistira sedih gara-gara kalah taruhan El Classico. Kini ia tak kuasa menahan air mata. Semuanya telah ia pertaruhakan saking yakinnya Barcelona akan menang menghadapi Madrid. Bagong jadi malah bingung. Hendak berbuat apa bila seorang panakawan mengetahui rajanya menangis gara-gara kalah taruhan.
Di tengah tangisan Yudhistira yang tak begitu keras, datanglah Bima yang berbadan besar.
Oi, ana apa iki? Kenapa Kakang Yudhistira menangis? Jancuk! Kamu apakan kakangku, Gong?!” bentak Bima pada Bagong.
“Lho? Saya sendiri saja bingung ini mesti berbuat apa, kok malah dibentak. Gini lho, Prabu Yudhistira kalah taruhan, Den,” kata Bagong. Lantas Bagong menjelaskan semuanya. Prabu Yudhistira sesenggukan.
Kangmas iki ana-ana wae. Kalo gini mau jadi apa? Nasi udah jadi bubur. Kamu yang taruhan, kita yang nanggung. Asu!” Yudhistira kini marah.
Karena Bima berteriak sambil mengumpat maka datanglah Arjuna, Nakula, Sadewa beserta Drupadi dan Dewi Kunti.
“Ada apa anakku? Kenapa kau bentak kakakmu?” tanya Dewi Kunti.
“Kakang kalah taruhan, Bunda. Dan kita semua dipertaruhkan,” kata Bima.
“Lho kan memang ceritanya begitu. Ya kita terima nasib saja,” kata Dewi Kunti.
“Masalahnya Kakang Yudhistira ini kalah taruhan sepakbola.”
“Ya ampun.”
Trok tok tok tok dok. Datanglah para Kurawa untuk menagih janji.
“Sekarang tepati janjimu, Yudhistira. Kerjaan Hastinapura ini akan menjadi milikku. Pandawa lima, Dewi Kunti dan Drupadi juga kau pertaruhkan, jadi kalian sekarang bukan lagi orang merdeka. Kalian adalah budakku,” katanya Suyudana lantas tertawa dan diikuti oleh para Kurawa lain.
Ah, gak iso. Hastinapura masih milik kami. Aku juga masih punya ajian. Kalau aku mau aku bisa membunuhmu sekarang, Suyudana!” teriak Bima.
Bagong cuma bengong aja. Karena ia bingung harus berbuat apa, maka ia langsung mengambil BBnya dan langsung mention Gareng dan Petruk lewat twitter. Nakula dan Sadewa yang paling kecil malah asyik dengan handphone-nya masing-masing dan lantas update status twitter dan facebook: “Bentar lagi akan ada derby Hastinapura nih.”
Petruk dan Gareng datang. Petruk berlari kencang, Gareng yang pincang berteriak pada Petruk, “Truk, enteni lah!
“Waduh, Prabu dan Raden, mbok ya jangan tukaran. Kan kalian ini saudara. Lagi pula, kalau kalian mau berantem nanti aja di kancah Baratayudha. Tempat kalian berantem itu di tegal Kurusetra, bukan di Hastinapura. Nanti dulu. Kalau Pandawa sudah dibuang baru berantem minta Hastinapura,” seloroh Petruk.
“Nggak bisa! Pokoknya Hari Gondrong Nasional harus sekarang!” kata Bima sambil melepas mahkota dan memamerkan rambut gondrongnya.
“Lho, Raden? Kita lagi mbahas kalah taruhan El Classico ini, bukan mbahas gondrong. Nyindir nih,” kata Bagong yang berambut pendek.
“Oh, ya. Maaf. Lagian, ngapain kamu rambutnya pendek gitu, Gong? Kayak koruptor aja,” kata Bima.
Bagong malah mrengut. Betul-betul tersinggung dibilang mirip koruptor.
Trok tok tok tok tok. Tiba-tiba datanglah Dewabrata alias Bisma.
“Ada apa ini cucuku? Maaf eyang datang terlambat menyelesaikan masalah kalian. Eyang tadi ditilang sama Polisi,” ujar Bisma.
“Lho, sekarang mana mobilnya, Eyang?” tanya Arjuna.
“Dibawa sama polisi. Mobil eyang Esemka sih, kata polisinya, anaknya lagi pengen Mobil Esemka. Udah udah, ayo kenapa ini kalian berantem?”
“Pokoknya saya menyatakan perang dengan Kurawa, Eyang!” teriak Bisma.
“Masalahnya apa? Kalo salah satu dari Pandawa atau Kurawa pengen Kerajaan ya mbok bikin lagi aja. Apa susahnya sih bikin kerajaan?”
“Masalahnya saya pengen permaisuri saya Angelina Sondakh, Eyang. Tapi saya ditolak sama dia,” ujar Suyudana, sulung Kurawa.
Wis, Angie itu udah jadi tersangka. Cari yang lain saja.”
“Suyudana jancuk! Pokoknya aku tunggu Kurawa di tegal Kurusetra. Kita perang di sana,” kata Bima. Empat Pandawa lain manut saja.
Wait!” teriak Gareng yang baru nyampe. Ia berjalan dengan terpincang-pincang.
“Lho, kang? Kok baru nyampe? Kan tadi berangkatnya bareng aku,” kata Petruk.
Lha wong kamu ninggal aku, Truk. Aku tadi kecemplung joglangan. Jeru maneh joglangane,” kata Gareng sambil masih mengatur nafas. “Saya punya usul Pandawa dan Kurawa. Daripada kalian perang, mending masalahnya diselesaiin baik-baik. Ndak usah perang.”
“Kamu baru datang tiba-tiba usul aja. Emang kamu tahu masalahnya apa?” tanya Suyudana.
“Ya, saya memang ndak tahu. Tapi kan semua masalah ndak harus diselesaikan dengan perang. Maka usul saya, gimana kalo Pandawa dan Kurawa dolan catur ae. Daripada perang. Eman lho tenaganya.”
Semua saling tengok. Bima tersenyum, “Usulan yang bagus, Reng! Oke kita dolan catur aja!”
“Ayo!” teriak Suyudana. Kurawa yang lain terlihat senang tak jadi perang. Begitu juga Pandawa yang lain. Dewi Kunti dan Drupadi pun langsung bungah.
Ee lah dalah. Pada akhirnya Derby Hastinapura diselesaikan dengan cara dolan catur.
Jember, 7 Mei 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar