Aku
melangkahkan kaki dengan lunglai. Rasanya ingin aku memutar balik badanku dan
kembali ke tempat di mana aku berada seharusnya. Bukan di tengah lapangan
sekolah dan bertarung dengan teriknya matahari macam ini. Bukan sedang hikmad menyanyikan
Indonesia Raya seperti sekarang ini. Bukan tengah mendengar sepotong pidato
dari seorang koruptor yang penuh dengan bualan-bualan gratisan. Bukan sedang
berbaur dengan teman-teman sekolahku yang menjalani hidup dengan lurus-lurus
saja.
Pidato
dari kepala sekolah membuatku muak. Kata-kata munafik mengucur deras keluar
dari congornya.
“Sebulan
lagi, siswa kelas 3 akan menghadapi ujian nasional. Banyak-banyaklah belajar
agar dapat menghadapi ujian dengan baik,” katanya.
Logisnya
ketika kami diminta untuk membayar sejumlah uang untuk mengurus ujian dan tetek
bengeknya, kami mendapat pelayanan yang baik untuk persiapan belajar. Pada
kenyataannya, kepala sekolah itu baru saja membeli mobil baru. Aku tak tahu
uang itu dari mana. Entah dari dia memiliki usaha, menabung bertahun-tahun,
atau memang uang dari kamu. Kalau yang terakhir itu benar, berarti kamu
patungan untuk membeli mobil ketujuh kepala sekolah berkacamata tebal ini.
Pun,
aku tak tertarik untuk giat belajar. Emosiku bisa memuncak ketika panas matahari
menguasaiku begini. Dan memang emosiku hanya memuncak ketika ada panas
matahari.
Plak!
Ada yang memukul kepala aku dari belakang.
“Waktu
upacara malah garuk-garuk kemaluan. Ayo yang bener tangannya,” kata Supardi,
guru Olahraga, mengawasi peserta upacara.
Aku
diam. Aku ingin upacara cepat selesai.
Terik
matahari membuatku sangat jengah. Posisi istirahat di tempat tak cukup membuatku
nyaman. Aku pun mengelap peluh yang ada di kepala aku.
Plak!
Lagi.
Aku
membalikkan badan. Supardi melotot.
Semua
mata menoleh padaku. Termasuk guru-guru yang ada di barisan depan. Kepala
sekolah berhenti bicara. Teman-teman di sekitarku bengong. Burung yang lewat di
udara pun ikut berhenti mengepakkan sayap. Tainya terjun dengan bebas mengenai
mulut Supardi yang menganga. Tak luput juga pohon yang ada di sekeliling
lapangan berhenti berfotosintesis.
“Asu!”
Aku
keluar dari barisan. Tak ada yang mencegah. Tak ada yang peduli. Aku ingin
cepat pergi. Ke tempat di mana aku seharusnya berada. Matahari masih terik
dengan panasnya.
***
“Sebatang
Surya ini memang sangat enak.” Aku menyulut rokok. Duduk bersama tiga kawanku.
“Wah,
berani sekali kau membentak Supardi. Kuakui. Sampeyan pancen ngeten!” kata Galuh sambil mengacungkan jempol. Aku
tersenyum.
Abdi
dan Darma sedang asyik bermain catur diatas karpet yang sebenarnya adalah
sepanduk ini. Aku menikmati rokokku. Galuh asyik dengan smartphonenya.
“Sur,
jangan kau gunakan namamu sebagai alasanmu untuk merokok,” kata Galuh
tiba-tiba.
“Tidak.
Aku tak pernah menggunakannya. Aku tak peduli dengan namaku. Aku hanya
menikmatinya.”
“Jangan
bilang kau tak tahu artinya, bodoh!”
“Aku
tahu. Tapi apa peduliku?”
“Seharusnya
kau tetap berada di barisan sekarang. Tak perlulah kau mengeluhkan panas atau
apa.”
“Memangnya
aku pergi karena udara panas?”
“Oh
iya bukan.”
Aku
menikmati rokokku kembali. Galuh kembali pada smartphone. Abdi dan Darma masih bermain catur. Sepagi ini kami
sudah nongkrong.
“Hey,
tak merokok kalian?” tanya Galuh pada Abdi dan Darma.
Mereka
tak menjawab. Abdi mengambil sebungkus Sampoerna Mild, menunjukkannya pada
Galuh dengan pandangan yang tak sedikitpun beranjak dari papan catur. Galuh
tersenyum.
“Mlete. Mak, sekaleng Surya!” teriak
Galuh. Emak melemparnya.
“Gila
kau? Mau menghabiskannya?” tanyaku.
“Sisanya
buat nanti malam.”
“Sampoerna
Mild, kau harus kembali ke dalam tas!” bentak Abdi pada bungkus rokoknya dan
memasukkannya ke dalam tas.
Galuh
melempar kaleng Surya. Kami tertawa, meski kurasai matahari makin panas saja.
***
“Surya,
kemari, nak.”
Aku
yang baru pulang dari main dipanggil ibu.
“Ada
apa, bu?”
“Dari
mana, nak?”
“Aku
baru saja main petak umpet bersama teman-teman, bu. Aku tak pernah kalah lho.
Aku hebat kan, bu?” ujarku tertawa.
“Iya,
hebat.” Ibu tersenyum. “Lantas, kenapa kamu berhenti, Nak?”
“Aku
mau belajar, bu. Tapi agak bosan. Dari kelas 1 sampai kelas 3 SD selalu
peringkat 1. Aku bosan, bu. Teman-temanku bodoh semua,” kataku.
“Tak
boleh begitu. Mereka bukan bodoh, hanya saja kamu lebih rajin belajar,” kata
ibu sambil tersenyum. “Ya sudah belajar saja sana.”
“Aku
bosan, bu.”
“Daripada
kamu bermain, ajak saja teman-temanmu belajar bersama.”
“Mereka
tak mau. Belajar itu membosankan katanya.”
“Ya
sudah, main lagi saja sama teman-temanmu.”
“Panas,
bu. Hari ini mataharinya panas sekali.”
Ibu
tersenyum. “Kamu seharusnya tak perlu kepanasan, nak.”
“Lho,
kenapa?”
“Kamu
tahu arti nama Surya?”
“Tidak,
bu.”
“Ayah
yang memberimu nama. Surya itu Bahasa Jawa, artinya matahari.”
“Berarti
aku jahat dong. Kan anak-anak kecil jadi tidak bisa bermain gara-gara panas
yang aku pancarkan, bu,” ujarku sambil drengesan.
“Setidaknya
pancaran sinar matahari mencerahkan bumi. Panas matahari juga banyak
manfaatnya. Lihat bajumu. Bagaimana bajumu bisa kering setelah selesai ibu cuci
tanpa panas matahari?”
Aku
tersenyum. “Aku ingin seperi matahari ya, bu. Berguna buat orang banyak.”
“Kamu
kan memang matahari.” Ibu tertawa.
“Ah,
ibu.” Aku memeluk ibu. Berlindung dari panasnya matahari.
***
Aku
bersiap menikmati makan malam. Ayah dan Ibu sudah duduk di ruang makan.
Hidangan makan cukup menggoda dengan hadirnya sup buatan ibu. Aku langsung
duduk di kursi dan mengambil nasi.
“Hari
ini sekolahmu menelpon kemari. Kudengar kau telah mengumpati seorang guru.
Kenapa kau?” ujar ayah dengan nada datar.
“Dia
memukul kepalaku. Aku tak terima,” balasku. Aku mulai makan hidangan.
“Dia
bilang lima kali kau umpat dia,” kata ayah.
“Dan
ayah percaya? Memangnya shalat, lima kali sehari,” ujarku tertawa. Aku kembali
makan. “Guru seperti dia harusnya malah bersyukur tak kuhajar. Berani-beraninya
dia memukul kepalaku.”
“Kau
ini. Jangan bikin malu ayah. Sekolah tak benar. Selalu peringkat terakhir. Apa
kau sudah tak niat sekolah? Ke sekolah hanya untuk pacaran saja.”
Aku
memandang ibu yang diam sedari tadi dan hanya menyuapi makanan ke dalam mulut.
Aku kembali makan. Semuanya diam. Ayah seperti menunggu balasan dariku. “Aku
tak tertarik pada perempuan.”
Ayah
dan ibu berhenti makan dan memandangiku. Aku melihat ibu melotot. Ayah yang
raut wajahnya datar-datar saja dari tadi, kini mengangkat tangan seperti hendak
memukulku.
“Aku
juga tak tertarik pada laki-laki.”
Mata
ibu kembali. Tangan ayah turun. Mereka kembali makan.
Kuhabiskan
makananku. Kubikin piringku bersih kembali. Aku mengambil segelas air dan
selesainya segera bersendawa. Aku mengeluarkan rokok dan segera menyulutnya.
Ayah
menaruh sendoknya. Makanan masih ada di piring.
“Tak
bisa kau matikan racunmu itu?” Tanya ayah. Ibu diam. Aku juga diam. “Aku
berbicara padamu, Surya!”
“Iya.”
“Anak
sialan!” ayah beranjak dan meraih kerahku. “Sekolah tak benar malah berani
merokok di rumah ini. Mau jadi apa kau?”
Aku
diam.
“Apa
kau tahu perasaan ibu ketika melihat kau merokok?” Ayah masih mencengkram kerah
bajuku. Ayah melotot.
“Oke!
Apa ayah tahu perasaan ibu ketika melihat ayah menolak diajak sembahyang?”
Ayah
terdiam. “Dasar anak setan!”
Bogem
mentah menginap di mukaku. Untung saja matahari sedang tak panas.
Ibu
menangis. Apa benar aku anak setan?
Surabaya,
7 November 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar