Rabu, 20 November 2013

Panas Matahari


Aku melangkahkan kaki dengan lunglai. Rasanya ingin aku memutar balik badanku dan kembali ke tempat di mana aku berada seharusnya. Bukan di tengah lapangan sekolah dan bertarung dengan teriknya matahari macam ini. Bukan sedang hikmad menyanyikan Indonesia Raya seperti sekarang ini. Bukan tengah mendengar sepotong pidato dari seorang koruptor yang penuh dengan bualan-bualan gratisan. Bukan sedang berbaur dengan teman-teman sekolahku yang menjalani hidup dengan lurus-lurus saja.

Pidato dari kepala sekolah membuatku muak. Kata-kata munafik mengucur deras keluar dari congornya.

“Sebulan lagi, siswa kelas 3 akan menghadapi ujian nasional. Banyak-banyaklah belajar agar dapat menghadapi ujian dengan baik,” katanya.

Logisnya ketika kami diminta untuk membayar sejumlah uang untuk mengurus ujian dan tetek bengeknya, kami mendapat pelayanan yang baik untuk persiapan belajar. Pada kenyataannya, kepala sekolah itu baru saja membeli mobil baru. Aku tak tahu uang itu dari mana. Entah dari dia memiliki usaha, menabung bertahun-tahun, atau memang uang dari kamu. Kalau yang terakhir itu benar, berarti kamu patungan untuk membeli mobil ketujuh kepala sekolah berkacamata tebal ini.

Pun, aku tak tertarik untuk giat belajar. Emosiku bisa memuncak ketika panas matahari menguasaiku begini. Dan memang emosiku hanya memuncak ketika ada panas matahari.

Plak! Ada yang memukul kepala aku dari belakang.

“Waktu upacara malah garuk-garuk kemaluan. Ayo yang bener tangannya,” kata Supardi, guru Olahraga, mengawasi peserta upacara.

Aku diam. Aku ingin upacara cepat selesai.

Terik matahari membuatku sangat jengah. Posisi istirahat di tempat tak cukup membuatku nyaman. Aku pun mengelap peluh yang ada di kepala aku.

Plak! Lagi.

Aku membalikkan badan. Supardi melotot.

“Jancuk! Aku tahu kamu guru. Tapi kamu nggak berhak memukul kepalaku!”

Semua mata menoleh padaku. Termasuk guru-guru yang ada di barisan depan. Kepala sekolah berhenti bicara. Teman-teman di sekitarku bengong. Burung yang lewat di udara pun ikut berhenti mengepakkan sayap. Tainya terjun dengan bebas mengenai mulut Supardi yang menganga. Tak luput juga pohon yang ada di sekeliling lapangan berhenti berfotosintesis.

“Asu!”
Aku keluar dari barisan. Tak ada yang mencegah. Tak ada yang peduli. Aku ingin cepat pergi. Ke tempat di mana aku seharusnya berada. Matahari masih terik dengan panasnya.

***

“Sebatang Surya ini memang sangat enak.” Aku menyulut rokok. Duduk bersama tiga kawanku.

“Wah, berani sekali kau membentak Supardi. Kuakui. Sampeyan pancen ngeten!” kata Galuh sambil mengacungkan jempol. Aku tersenyum.

Abdi dan Darma sedang asyik bermain catur diatas karpet yang sebenarnya adalah sepanduk ini. Aku menikmati rokokku. Galuh asyik dengan smartphonenya.

“Sur, jangan kau gunakan namamu sebagai alasanmu untuk merokok,” kata Galuh tiba-tiba.

“Tidak. Aku tak pernah menggunakannya. Aku tak peduli dengan namaku. Aku hanya menikmatinya.”

“Jangan bilang kau tak tahu artinya, bodoh!”

“Aku tahu. Tapi apa peduliku?”

“Seharusnya kau tetap berada di barisan sekarang. Tak perlulah kau mengeluhkan panas atau apa.”

“Memangnya aku pergi karena udara panas?”

“Oh iya bukan.”

Aku menikmati rokokku kembali. Galuh kembali pada smartphone. Abdi dan Darma masih bermain catur. Sepagi ini kami sudah nongkrong.

“Hey, tak merokok kalian?” tanya Galuh pada Abdi dan Darma.

Mereka tak menjawab. Abdi mengambil sebungkus Sampoerna Mild, menunjukkannya pada Galuh dengan pandangan yang tak sedikitpun beranjak dari papan catur. Galuh tersenyum.

Mlete. Mak, sekaleng Surya!” teriak Galuh. Emak melemparnya.

“Gila kau? Mau menghabiskannya?” tanyaku.

“Sisanya buat nanti malam.”

“Sampoerna Mild, kau harus kembali ke dalam tas!” bentak Abdi pada bungkus rokoknya dan memasukkannya ke dalam tas.

Galuh melempar kaleng Surya. Kami tertawa, meski kurasai matahari makin panas saja.

***

“Surya, kemari, nak.”

Aku yang baru pulang dari main dipanggil ibu.

“Ada apa, bu?”

“Dari mana, nak?”

“Aku baru saja main petak umpet bersama teman-teman, bu. Aku tak pernah kalah lho. Aku hebat kan, bu?” ujarku tertawa.

“Iya, hebat.” Ibu tersenyum. “Lantas, kenapa kamu berhenti, Nak?”

“Aku mau belajar, bu. Tapi agak bosan. Dari kelas 1 sampai kelas 3 SD selalu peringkat 1. Aku bosan, bu. Teman-temanku bodoh semua,” kataku.

“Tak boleh begitu. Mereka bukan bodoh, hanya saja kamu lebih rajin belajar,” kata ibu sambil tersenyum. “Ya sudah belajar saja sana.”

“Aku bosan, bu.”

“Daripada kamu bermain, ajak saja teman-temanmu belajar bersama.”

“Mereka tak mau. Belajar itu membosankan katanya.”

“Ya sudah, main lagi saja sama teman-temanmu.”

“Panas, bu. Hari ini mataharinya panas sekali.”

Ibu tersenyum. “Kamu seharusnya tak perlu kepanasan, nak.”

“Lho, kenapa?”

“Kamu tahu arti nama Surya?”

“Tidak, bu.”

“Ayah yang memberimu nama. Surya itu Bahasa Jawa, artinya matahari.”

“Berarti aku jahat dong. Kan anak-anak kecil jadi tidak bisa bermain gara-gara panas yang aku pancarkan, bu,” ujarku sambil drengesan.

“Setidaknya pancaran sinar matahari mencerahkan bumi. Panas matahari juga banyak manfaatnya. Lihat bajumu. Bagaimana bajumu bisa kering setelah selesai ibu cuci tanpa panas matahari?”

Aku tersenyum. “Aku ingin seperi matahari ya, bu. Berguna buat orang banyak.”

“Kamu kan memang matahari.” Ibu tertawa.

“Ah, ibu.” Aku memeluk ibu. Berlindung dari panasnya matahari.

***

Aku bersiap menikmati makan malam. Ayah dan Ibu sudah duduk di ruang makan. Hidangan makan cukup menggoda dengan hadirnya sup buatan ibu. Aku langsung duduk di kursi dan mengambil nasi.

“Hari ini sekolahmu menelpon kemari. Kudengar kau telah mengumpati seorang guru. Kenapa kau?” ujar ayah dengan nada datar.

“Dia memukul kepalaku. Aku tak terima,” balasku. Aku mulai makan hidangan.

“Dia bilang lima kali kau umpat dia,” kata ayah.

“Dan ayah percaya? Memangnya shalat, lima kali sehari,” ujarku tertawa. Aku kembali makan. “Guru seperti dia harusnya malah bersyukur tak kuhajar. Berani-beraninya dia memukul kepalaku.”

“Kau ini. Jangan bikin malu ayah. Sekolah tak benar. Selalu peringkat terakhir. Apa kau sudah tak niat sekolah? Ke sekolah hanya untuk pacaran saja.”

Aku memandang ibu yang diam sedari tadi dan hanya menyuapi makanan ke dalam mulut. Aku kembali makan. Semuanya diam. Ayah seperti menunggu balasan dariku. “Aku tak tertarik pada perempuan.”

Ayah dan ibu berhenti makan dan memandangiku. Aku melihat ibu melotot. Ayah yang raut wajahnya datar-datar saja dari tadi, kini mengangkat tangan seperti hendak memukulku.

“Aku juga tak tertarik pada laki-laki.”

Mata ibu kembali. Tangan ayah turun. Mereka kembali makan.

Kuhabiskan makananku. Kubikin piringku bersih kembali. Aku mengambil segelas air dan selesainya segera bersendawa. Aku mengeluarkan rokok dan segera menyulutnya.

Ayah menaruh sendoknya. Makanan masih ada di piring.

“Tak bisa kau matikan racunmu itu?” Tanya ayah. Ibu diam. Aku juga diam. “Aku berbicara padamu, Surya!”

“Iya.”

“Anak sialan!” ayah beranjak dan meraih kerahku. “Sekolah tak benar malah berani merokok di rumah ini. Mau jadi apa kau?”

Aku diam.

“Apa kau tahu perasaan ibu ketika melihat kau merokok?” Ayah masih mencengkram kerah bajuku. Ayah melotot.

“Oke! Apa ayah tahu perasaan ibu ketika melihat ayah menolak diajak sembahyang?”

Ayah terdiam. “Dasar anak setan!”

Bogem mentah menginap di mukaku. Untung saja matahari sedang tak panas.

Ibu menangis. Apa benar aku anak setan?
Surabaya, 7 November 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar