Senin, 30 Maret 2015

Diskotik, Tempat Hiburan Mahasiswa Apatis


Selepas kuliah siang tadi, saya nyangkruk di kantin FIB kampus saya seperti biasa. Menyantap makan siang sembari berbincang dengan teman-teman. Obrolan kami sangat standar seperti biasa. Bisa tentang sepak bola, musik, fenomena yang sedang ramai di masyarakat atau mungkin tugas kuliah. Nah, di tengah-tengah obrolan kami itu, datanglah beberapa orang laki-laki dan perempuan menyebarkan selebaran seperti foto di atas. Datanglah seorang pria memberi kami beberapa lembar undangan sembari mengajak kami untuk datang.

Party, Mas. Di S*t** (menyebutkan suatu lokasi di Surabaya). Ini kalau Sampeyan datang 10 orang bisa dapat satu botol tequila gratis,” tawarnya. Ia memberikan kami lembaran berwarna hijau itu.

Saya lihat selebaran untuk. Sudah tertebak; undangan dugem.

“Ini undangannya, Mas.” Ia berikan undangan party.

“Wah, menarik ini!” pekik seorang teman yang ada di sebelah saya.

“Datang saja, Mas. Banyak hiburannya,” lanjut si pria pemberi undangan tadi kepada kami lantas pergi.

Koen kate teko ta?” tanya saya pada teman di sebelah saya.

Yo gak lah, cuk. Gendeng a kate teko nang panggon koyo ngene. Kene biasa cangkruk nang giras yo gak mampu lah,” jawabnya.

Benar sekali dia. Orang seperti kami terbiasa nongkrong di Giras (warung kopi) jelas tidak cocok datang ke tempat dugem atau diskotik macam ini. Jujur saja saya tidak tertarik dengan undangan seperti ini. Dan saya memang tak pernah datang ke diskotik. Buat apa juga?

Ini bukan kali pertama saya mendapati orang membagikan selebaran dugem di kampus kami. Sejak saya masih maba (mahasiswa baru), sudah beberapa kali tawaran untuk dugem dari orang-orang datang ke kampus kami yang ‘tercinta’ ini. Lebih ‘hebatnya’ lagi, undangan dugem kali ini ditujukan langsung kepada BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Wah, mengajak ‘pejabat’ mahasiswa untuk bergoyang ya rupanya. Bayangkan ada berapa banyak mahasiswa yang mendapat undangan ini.


Menurut cerita seorang teman, di tempat ini semuanya serba mahal. Dan hiburannya memang sangat menggoda iman. Musik jedag-jedug dan tarian dari para sexy dancer membuat mahasiswa gampang sekali tergiur. Mabuk, bergoyang, hiburan tarian dari cewek-cewek cantik, dan teler sampai pagi. Teknik persuasi dalam undangan juga menarik minat dengan bertuliskan “Night Class” bisa dikira sebagai kelas malam alias tambahan jam belajar kuliah bagi mahasiswa yang tidak tahu.


Saya jadi kepikiran kondisi mahasiswa saat ini. Mengutip dari tulisan Arif Novianto yang berjudul “Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi” di IndoProgress, kondisi mahasiswa sekarang memang memprihatinkan. Hedon, pragmatis, malas belajar, membaca apalagi mengerjakan tugas.

Pantas saja banyak pihak yang mengkhawatirkan masa depan negara ini. Ada di tangan siapa lagi masa depan negara kalau bukan ada di tangan generasi muda sekarang ini. Kini mahasiswa hanya menjadi juru keplok (tepuk tangan) di acara-acara talkshow yang tidak jelas juga manfaatnya bagi mahasiswa sendiri. Tidak percaya? Tengok saja talkshow atau acara tv berlabel komedi seperti, Bukan Empat Mata, Ini Talkshow, ILK, dan lain sebagainya yang ‘hanya’ menjadikan mahasiswa tukang tepuk tangan sesuai instruksi. Hanya sampai di sinikah kredibilitas kita sebagai mahasiswa?

Label mahasiswa sebagai Agent of Change (agen perubahan) kini sudah mulai memudar. Mahasiswa lebih senang nongkrong di mall, cafe, dan bioskop. Mahasiswa lebih senang mencibir rekan sesama mahasiswa yang melakukan demonstrasi menuntut upah layak bagi buruh atau menurunkan tarif BBM dengan alasan hanya memacetkan jalan. Mahasiswa lebih senang memperbincangkan drama Korea, film terbaru, artis idaman, atau model baju terbaru. Mahasiswa menjadi apatis. Sebenarnya itu hak mereka untuk menentukan apa yang mereka lakukan. Namun, ke mana mereka ketika petani dan buruh ditindas oleh penguasa? Ke mana agen perubahan ini?

Hiburan di era modern ini semakin beragam saja. Dan kini mahasiswa punya banyak pilihan untuk menjadi apatis. Dengan pergi dugem ke diskotik, mahasiswa sukses menyuburkan sikap apatis mereka, melupakan sejenak tugasnya atau bahkan mungkin lupa untuk selamanya.

Kalau sekedar hiburan, tonton saja ludruk, ketoprak, wayang orang, wayang kulit, reog atau kesenian apa pun yang jelas adalah kebudayaan asli daerah. Mahasiswa bisa bertemu banyak orang dari berbagai macam kelas di sini. Bisa bercengkerama bersama.

Lihatlah masyarakat kecil di daerah-daerah yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Sawah petani dibeli untuk dibangun pusat perbelanjaan. Mahasiswa Pertanian lebih senang menjadi pegawai bank dari pada menjadi batur bagi para petani untuk mengelola Indonesia yang katanya negara agraris. Buruh diperlakukan semena-mena oleh kaum pemodal. Mahasiswa Sosiologi lebih senang nonton film dari pada mengamati fenomena dan masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Rakyat kecil sakit dan tak punya biaya. Mahasiswa kedokteran lebih senang memasang tarif kesehatan mahal untuk balik modal karena biaya pendidikannya yang sangat mahal dari pada membantu masyarakat kecil yang butuh pengobatan. Jadi, ke manakah agen perubahan ini?

Bisa jadi ini juga usaha dari pihak kampus untuk merepresif mahasiswa. Mahasiswa sengaja dibikin tidak kritis lagi agar tidak tahu ada praktik penyelewengan dari pihak kampus. Kalau sudah begini, siapa yang akan membantu masyatakat yang membutuhkan bantuan sang agen perubahan untuk menyelesaikan masalah mereka?

Oh, iya. Pilihan untuk menjadi apatis sekarang semakin banyak. Hati-hati provokasi, kawan!


Surabaya, 30 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar