Selepas kuliah siang
tadi, saya nyangkruk di kantin FIB
kampus saya seperti biasa. Menyantap makan siang sembari berbincang dengan
teman-teman. Obrolan kami sangat standar seperti biasa. Bisa tentang sepak
bola, musik, fenomena yang sedang ramai di masyarakat atau mungkin tugas
kuliah. Nah, di tengah-tengah obrolan kami itu, datanglah beberapa orang
laki-laki dan perempuan menyebarkan selebaran seperti foto di atas. Datanglah
seorang pria memberi kami beberapa lembar undangan sembari mengajak kami untuk
datang.
“Party, Mas. Di S*t** (menyebutkan suatu lokasi di Surabaya). Ini
kalau Sampeyan datang 10 orang bisa
dapat satu botol tequila gratis,”
tawarnya. Ia memberikan kami lembaran berwarna hijau itu.
Saya lihat selebaran
untuk. Sudah tertebak; undangan dugem.
“Ini undangannya, Mas.”
Ia berikan undangan party.
“Wah, menarik ini!”
pekik seorang teman yang ada di sebelah saya.
“Datang saja, Mas.
Banyak hiburannya,” lanjut si pria pemberi undangan tadi kepada kami lantas
pergi.
“Koen kate teko ta?” tanya saya pada teman di sebelah saya.
“Yo gak lah, cuk. Gendeng a kate teko nang panggon koyo ngene. Kene
biasa cangkruk nang giras yo gak mampu lah,” jawabnya.
Benar sekali dia. Orang
seperti kami terbiasa nongkrong di Giras (warung kopi) jelas tidak cocok datang
ke tempat dugem atau diskotik macam ini. Jujur saja saya tidak tertarik dengan
undangan seperti ini. Dan saya memang tak pernah datang ke diskotik. Buat apa
juga?
Ini bukan kali pertama
saya mendapati orang membagikan selebaran dugem di kampus kami. Sejak saya
masih maba (mahasiswa baru), sudah beberapa kali tawaran untuk dugem dari
orang-orang datang ke kampus kami yang ‘tercinta’ ini. Lebih ‘hebatnya’ lagi,
undangan dugem kali ini ditujukan langsung kepada BEM (Badan Eksekutif
Mahasiswa). Wah, mengajak ‘pejabat’ mahasiswa untuk bergoyang ya rupanya.
Bayangkan ada berapa banyak mahasiswa yang mendapat undangan ini.
Menurut cerita seorang
teman, di tempat ini semuanya serba mahal. Dan hiburannya memang sangat
menggoda iman. Musik jedag-jedug dan
tarian dari para sexy dancer membuat
mahasiswa gampang sekali tergiur. Mabuk, bergoyang, hiburan tarian dari
cewek-cewek cantik, dan teler sampai pagi. Teknik persuasi dalam undangan juga
menarik minat dengan bertuliskan “Night
Class” bisa dikira sebagai kelas malam alias tambahan jam belajar kuliah
bagi mahasiswa yang tidak tahu.
Saya jadi kepikiran
kondisi mahasiswa saat ini. Mengutip dari tulisan Arif Novianto yang berjudul “Kemana Arah Gerakan Mahasiswa Sekarang?:
Dari Refleksi Menuju Aksi” di IndoProgress,
kondisi mahasiswa sekarang memang memprihatinkan. Hedon, pragmatis, malas
belajar, membaca apalagi mengerjakan tugas.
Pantas saja banyak pihak
yang mengkhawatirkan masa depan negara ini. Ada di tangan siapa lagi masa depan
negara kalau bukan ada di tangan generasi muda sekarang ini. Kini mahasiswa
hanya menjadi juru keplok (tepuk tangan) di acara-acara talkshow yang tidak
jelas juga manfaatnya bagi mahasiswa sendiri. Tidak percaya? Tengok saja
talkshow atau acara tv berlabel komedi seperti, Bukan Empat Mata, Ini Talkshow, ILK, dan lain sebagainya yang
‘hanya’ menjadikan mahasiswa tukang tepuk tangan sesuai instruksi. Hanya sampai
di sinikah kredibilitas kita sebagai mahasiswa?
Label mahasiswa sebagai
Agent of Change (agen perubahan) kini
sudah mulai memudar. Mahasiswa lebih senang nongkrong di mall, cafe, dan
bioskop. Mahasiswa lebih senang mencibir rekan sesama mahasiswa yang melakukan
demonstrasi menuntut upah layak bagi buruh atau menurunkan tarif BBM dengan
alasan hanya memacetkan jalan. Mahasiswa lebih senang memperbincangkan drama
Korea, film terbaru, artis idaman, atau model baju terbaru. Mahasiswa menjadi
apatis. Sebenarnya itu hak mereka untuk menentukan apa yang mereka lakukan. Namun,
ke mana mereka ketika petani dan buruh ditindas oleh penguasa? Ke mana agen
perubahan ini?
Hiburan di era modern
ini semakin beragam saja. Dan kini mahasiswa punya banyak pilihan untuk menjadi
apatis. Dengan pergi dugem ke diskotik, mahasiswa sukses menyuburkan sikap
apatis mereka, melupakan sejenak tugasnya atau bahkan mungkin lupa untuk
selamanya.
Kalau sekedar hiburan,
tonton saja ludruk, ketoprak, wayang orang, wayang kulit, reog atau kesenian
apa pun yang jelas adalah kebudayaan asli daerah. Mahasiswa bisa bertemu banyak
orang dari berbagai macam kelas di sini. Bisa bercengkerama bersama.
Lihatlah masyarakat
kecil di daerah-daerah yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan. Sawah
petani dibeli untuk dibangun pusat perbelanjaan. Mahasiswa Pertanian lebih
senang menjadi pegawai bank dari pada menjadi batur bagi para petani untuk mengelola Indonesia yang katanya
negara agraris. Buruh diperlakukan semena-mena oleh kaum pemodal. Mahasiswa
Sosiologi lebih senang nonton film dari pada mengamati fenomena dan masalah
sosial yang terjadi di masyarakat. Rakyat kecil sakit dan tak punya biaya.
Mahasiswa kedokteran lebih senang memasang tarif kesehatan mahal untuk balik
modal karena biaya pendidikannya yang sangat mahal dari pada membantu
masyarakat kecil yang butuh pengobatan. Jadi, ke manakah agen perubahan ini?
Bisa jadi ini juga
usaha dari pihak kampus untuk merepresif mahasiswa. Mahasiswa sengaja dibikin
tidak kritis lagi agar tidak tahu ada praktik penyelewengan dari pihak kampus.
Kalau sudah begini, siapa yang akan membantu masyatakat yang membutuhkan
bantuan sang agen perubahan untuk menyelesaikan masalah mereka?
Oh, iya. Pilihan untuk
menjadi apatis sekarang semakin banyak. Hati-hati provokasi, kawan!
Surabaya, 30
Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar