Pada
Sabtu Malam (28/3) saya menyempatkan diri untuk menonton ludruk di Kampung Seni
THR (Taman Hiburan Rakyat) Surabaya. Ini untuk pertama kalinya saya menonton
ludruk secara langsung. Selama ini saya memang hanya mendengar ludruk dari
kaset tape atau VCD. Di TV ludruk
juga disiarkan oleh JTV, televisi masyarakat Jawa Timur.
Saya
cukup gemar menonton ludruk. Inilah hiburan komedi bagi masyarakat Jawa Timur. Berbeda
dengan ketoprak yang menceritakan kehidupan istana, ludruk bercerita tentang
problema yang dialami oleh rakyat jelata. Terlebih, selama ini saya menonton
ludruk dengan Bahasa Jawa dialek Arek Suroboyoan. Sebuah dialek bahasa Jawa
yang sangat unik dan membuat saya senang mendengarnya.
Saya
datang ke THR bersama seorang teman. Sekitar pukul 22.30 WIB kami tiba di sana.
Saya sudah mendengar gamelan Jawa berkumandang yang menandakan pertunjukan
sudah dimulai. Kami membeli tiket dengan harga 5000 rupiah saja untuk bisa
menonton hiburan dari Ludruk Irama Budaya ini. Harga yang sangat terjangkau.
Kami pun masuk ke dalam gedung pertunjukan.
Ramai
sekali. Mungkin karena ini akhir pekan. Saya taksir ada sekitar 60-80 penonton
yang hadir di sini. Ada muda-mudi, ada sepasang suami istri bersama anaknya,
ada pula wartawan yang saya lihat potret sana potret sini sambil wawancara
dengan seorang yang saya taksir pengelola kesenian ini.
Di
atas punggung saya melihat banyak perempuan sedang menari Tarian Bedayan
diiringi gamelan yang dimainkan oleh para panjak.
Saya mencoba untuk ngobrol dengan orang yang ada di sebelah saya barangkali
bisa saya tanyai tentang ludruk di sini.
“Mulainya
tadi jam berapa, Mas?” tanya saya.
“Jam
setengah supuluh, Mas. Dari tadi ya menari begini,” jawabnya.
Saya
menikmati pertunjukan ini. Tarian Bedayan yang merupakan tarian untuk menyambut
tamu menampilkan 12 penari berpakaian kebaya. Ada yang unik dari sini, yakni
munculnya tiga penari lintas usia dengan seorang nenek tua renta dan dua orang
anak kecil.
Tarian
Bedayan selesai pada pukul 23.00 WIB. Pertunjukan dilanjutkan dengan kidungan
jula-juli dari seorang pelakon yang saya dengar bernama Sapari. Di sinilah saya
melihat beberapa penonton pergi meninggalkan bangkunya, termasuk orang di
sebelah saya. Mungkin karena sudah larut malam.
Saya
menikmati betul jula-juli dengan Bahasa Jawa dialek Arek khas Suroboyo ini.
Jula jula yang merupakan lantunan kidung seperti pantun yang seringkali membuat
penonton tertawa. Cukup lama Sapari mengidung, lantas masuklah seorang pelakon
yang saya tahu bernama Poeryadi. Mereka pun mengluarkan dagelan-dagelan yang
memancing tawa penonton.
Dagelan
terasa cukup, pertunjukan dilanjutkan dengan masuknya dua orang penyanyi untuk
menembangkan beberapa lagi. Saya melihat beberapa orang memberikan uang (kalau
di konser dangdut kita menyebutnya nyawer,
entah kalau ludruk, sepertinya sama) kepada dua orang penyanyi itu. Muncullah
dua orang penari cilik tadi menari dengan gerakan yang menggemaskan dan membuat
kami sebuah terhibur. Saya melihat beberapa orang lantas nyawer untuk kedua
penari cilik ini. Keberanian dua penari cilik untuk tampil di atas panggung ini
memang pantas untuk diapresiasi.
Tembang
terakhir adalah tembang favorit saya, Caping Gunung. Tembang ini biasanya saya
dengar di pertunjukan wayang kulit dan ternyata juga dikumandangkan di
pertunjukan ludruk. Saya ikut menyanyikannya. Syahdu sekali. Tembang berakhir,
layar ditutup tanda pertunjukan selanjutnya akan segera dimulai. Saya taksir
kini sudah waktunya lakon cerita dimulai di pukul 00.00 WIB ini. Saya melihat
beberapa bangku penonton sudah kosong oleh penghuninnya. Mungkin karena malam sudah
larut. Saya taksir ada sekitar 20 orang yang tersisa di dalam gedung ini.
Pembunuh Bayaran
Lakon
dimulai dengan dikisahkannya sepasang suami istri yang kebingungan karena si
suami sedang menganggur. Si suami (Slamet) lebih bingung lagi karena istrinya
tengah hamil tujuh bulan dan ia tak berpenghasilan. Di tengah kebingungan
mereka ini, datanglah teman Slamet yang bernama Gito untuk menawarkan
pekerjaan.
Gito
sendiri bercerita bahwa ia akan bekerja di kota dan mendapatkan penghasilan
yang cukup. Sedangkan di desa, menggarap sawah memang tidak pasti sehingga
sulit untuk jadi sandaran hidup. Slamet setuju, ia pun pergi ke kota dan
meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan bersama Gito.
Adegan berganti dikisahkan di kota tinggallah
Poeryadi yang menjadi babu bagi majikan yang merupakan keluarga etnis Tionghoa.
Ketika Poeryadi tengah tenguk-tenguk,
datanglah Gito dan Slamet untuk melamar kerja. Poeryadi berlagak seperti
juragan dan menerima mereka berdua. Datanglah majikan Sapari yang merupakan
majikan Poeryadi untuk menanyakan kedatangan Gito dan Slamet. Poeryadi
menceritakan apa yang terjadi. Sapari pun menawarkan pekerjaan untuk Gito dan
Slamet. Gito menanyakan apa yang harus dilakukannya, dan Sapari mengatakan
bahwa kerjanya adalah pembunuh bayaran. Slamet yang membutuhkan uang pun
langsung menerimanya. Sedangkan Gito yang tahu bahwa membunuh itu tindakan keji
menolak mentah-mentah dan pergi dari rumah itu.
Gito pulang ke desa dan bertemu dengan istri Slamet.
Gito menceritakan apa yan terjadi pada Slamet. Di tengah bercerita, lewatlah
seorang polisi dan Gito langsung melaporkan apa yang dilakukan oleh temannya.
Polisi itu langsung pergi ke rumah Sapari bersama Gito untk memproses kasus
ini.
Sampai di rumah Sapari, polisi mengatakan bahwa ia
mendapat laporan bahwa Sapari menyuruh seseorang untuk membunuh. Sapari mengaku
bahwa ia memang membayar Slamet untuk membunuh. Ketika hendak ditangkap,
datanglah anak buah Sapari yang lain bahwa yang dilakukan Slamet hanyalah
membunuh binatang alias tukang jagal.
Mendengar hal ini, polisi pun memarahi Gito atas
laporan palsunya. Sebenarnya Gito tidak salah, karena Slamet memanglah seorang
pembunuh bayaran. Pertunjukan pun berakhir pada pukul 01.00 WIB, Minggu (29/3)
dinihari.
Bahasa yang
Digunakan
Ada dua dialek Bahasa Jawa yang dipakai dalam ludruk
ini, yakni dialek Arek dan Mataraman. Kedua dialek ini memang dituturkan oleh
masyarakat Jawa Timur secara luas. Meskipun sama-sama Bahasa Jawa, namun aksen
dan kosakata antara dua dialek berbeda sehingga terlihat sekali perbedaannya.
Sejauh yang saya ketahui selama ini, bahasa yang
digunakan dalam ludruk adalah Bahasa Jawa dialek Arek khas Suroboyo. Namun
dalam adegan perbincangan Gito dan Slamet, mendengar bahasa yang mereka pakai
adalah Bahasa Jawa dialek Mataraman (dielek Bahasa Jawa atas pengaruh Kerjaan
Mataram Jogja). Di Jawa Timur dialek ini dituturkan oleh masyarakat mulai
Blitar, Kediri, Nganjuk sampai Pacitan, Ponorogo, dan Ngawi. Mungkini ini untuk
menggambarkan bahwa mereka sebagai penduduk desa.
Ini bukanlah masalah yang penting memang, karena
dialek Arek biasa dituturkan di sekitar Surabaya, Malang, Mojokerto, Sidoarjo,
Jombang, sebagian Gresik, dan Pasuruan yang notabene adalah daerah industri,
yang untuk menyimbolkan masyarakat kota.
Kesenian
Tradisional Jawa Timur
Ludruk adalah hiburan kesenian asli dari Jawa Timur.
Meskipun hiburan dan pertunjukkan modern terus berdatangan ke Surabaya, ludruk
masih tetap bisa eksis dengan segala perjuangan yang dilakukan oleh para
pengelolanya. Tengok saja harga tiket yang murah meriah, bandingkan saja dengan
tiket bioskop dengan harga berkali lipat dari tiket ludruk.
Hiburan ini lebih merakyat dan mempertahankan
kearifan lokal. Saya melihat penonton ludruk memang seolah hanya dinikmati oleh
kalangan menengah ke bawah. Inilah hiburan yang sejatinya bisa menembus
berbagai kalangan.
Mungkin diperlukan usaha dari berbagai pihak seperti
budayawan, kepada daerah, dinas kebudayaan, dan para generasi muda untuk
melestarikan kebudayaan Jawa Timur ini. Saya khawatir lama-lama kesenian ini
hanya tinggal cerita.
Surabaya, 29 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar