“Maaf anak muda, aku sudah berjanji kepada Bisma, aku tidak akan menerima murid lain selain Pandawa dan Kurawa,” kata Resi Dorna kepada Palgunadi.
Palgunadi pun dengan kecewa kembali ke kerajaannya.
Itu merupakan cuplikan lakon Palguna Palgunadi, lakon wayang kulit sing paling aku sukai. Palguna kuwi nama lain Arjuna atau di Jawa biasa disebut Janaka atau Permadi. Janaka adalah murid Resi Dorna yang juga merupakan salah satu dari Pandawa Lima. Dia amat jago memanah. Tidak ada yang bisa menandingi kehebatan ilmu memanahnya. Itu semua berkat Resi Dorna, seorang guru yang luar biasa. Dan Palgunadi atau Bambang Ekalaya adalah nama seorang ksatria yang ingin belajar memanah pada Resi Dorna. Ia ingin berguru pada Resi Dorna yang katanya guru yang luar biasa. Maka dia pun meminta Resi Dorna untuk mengangkatnya menjadi murid. Tapi Resi Dorna menolak dengan alasan tersebut. Ini merupakan gambar perangai negatif dari Resi Dorna. Asu!
Palgunadi pun kembali ke hutan dan bertekad untuk menjadi pemanah yang jago. Dia membuat patung Resi Dorna. Setiap hari, sebelum latihan memanah, dia selalu berdoa dan memuja patung Resi Dorna mohon restu untuk latihannya hari itu. Mungkin lebih tepatnya berhala ya, bukan patung. Tak lupa, sekuntum bunga mawar dan voucher pulsa untuk patung Resi Dorna agar ia bisa BBMan sama istrinya yang di rumah. Sampai suatu ketika, ketika Pandawa sedang berguru, mereka terkejut melihat seekor anjing yang mati terpanah. Mereka lebih terkejut lagi melihat anjing itu pegang sebuah BB Bold, BB siapa? Eh, mereka terkejut karena nggak ada orang lain yang bisa memanah dengan begitu akurat kecuali Janaka.
Tiba-tiba muncullah Palgunadi dan dia mengaku sebagai murid Resi Dorna. Pandawa pun pulang ke Hastinapura dan menanyakan hal ini.
“Aku udah punya BB ini lho. Seharusnya kalian tadi BBM aku dulu biar aku nggak kaget gini,” ujar Resi Dorna marah. Pandawa pun cuma diam. Cuma Bima alias Werkudara saja yang nggak diam. Dia lagi asyik BBMan sama Dewi Arimbi, istrinya. Arimbi bilang Gatotkaca sudah tidur.
Akhirnya Resi Dorna pergi menemui Palgunadi bersama Palguna (Janaka). Melihat kedatangan ‘Sang Guru’, Palgunadi pun langsung sembah sujud kepada ‘Sang Guru’. Tapi Resi Dorna malah memaki.
“Jancuk! Kamu ngaku-ngaku jadi muridku. Iki! Kok ada voucher pulsa? Buat aku saja ya,” ujar Resi Dorna pada Palgunadi.
“Inggih. Monggo pun. Pinmu berapa, guru?” tanya Palgunadi.
“Lho? Kok malah mbahas pin. Aku ke sini tadi untuk marah. Kamu ngapain ngaku sebagai muridku?!” bentak Resi Dorna.
Palgunadi tidak menjawab pertanyaan Dorna. Melainkan ia malah memanah bajing loncat yang lagi lewat. Resi Dorna kaget. Ternyata Palgunadi lebih hebat tinimbang Janaka. Janaka cuma bisa melongo.
Palgunadi masih ngotot pengen jadi murid Resi Dorna. Akhirnya Resi Dorna meminta Palgunadi memotong ibu jarinya sebagai tanda balas jasa seorang murid pada guru.
“Lho ya jangan dong, guru. Nanti aku nggak bisa BBMan lagi,” kata Palgunadi memelas.
“Ndasmu iku, cuk! Aku nyuruh kamu motong jempolmu supaya kamu nggak bisa manah lagi. Asu!” kata Resi Dorna. Janaka terkekeh-kekeh.
“Oh, okelah.”
Dengan berat hati, Palgunadi memotong ibu jarinya. Dan terpotonglah Palgunadi sehingga ia tak bisa BBMan dan memanah lagi.
Dari cerita tersebut aku jadi terinspirasi banyak hal. Terutama kegigihan Palgunadi yang tidak putus asa untuk bisa jago memanah. Ia bahkan belajar otodidak dan malah jauh lebih hebat dari Janaka.
Palgunadi memiliki nama lain, yakni Bambanga Ekalaya. Sedangkan dalam Bahasa Sansekerta dieja dengan Ekalawya atau Ekalavya. Dalam Bahasa Sanseskerta, Ekalawya berarti orang yang memusatkan pikirannya pada suatu bidang. Ini sesuai dengan karakter Bambang Ekalaya yang hanya memusatkan pikirannya pada bidang memanah.
Kalau aku jadi Palgunadi sih, aku nggak akan ngotot untuk jadi murid Resi Dorna. Karena guru itu ada di mana-mana. Tapi apa daya. Palgunadi harus profesional dalam mendalami sebuah lakon cerita wayang. Ya itu memang nasibnya sebagai Palgunadi, jadi ya mau nggak mau dia harus ngotot. Dia juga nggak bisa protes ke dalang, karena dia Cuma sebuah wayang.
Guru ada di mana-mana. Semua orang adalah guru. Ya, menurutku begitu. Tapi secara istilah guru adalah orang yang memakai baju dinas dan mengajar murid di sekolah berbagai macam mata pelajaran. Tapi, menurutku, semua orang bisa menjadi guruku. Seorang pengamen bisa menjadi guruku. Siapa tahu dia bisa membuat hatiku terketuk untuk menolongnya dalam kesusahan. Bahkan seorang pencopet bisa saja jadi guruku. Siapa tahu dia ternyata dia hafal salah satu surat di Al-Qur’an lalu mengajariku mengaji. Siapa yang tahu.
Tulisan guru ini terinspirasi dari ketika saya tengah membaca buku Djenar Maesa Ayu yang berjudul “Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)”. Dalam ucapan terima kasih Djenar memasukkan kalimat seperti ini.
“Yang juga tidak akan pernah berubah adalah rasa terima kasih kepada ketiga guru yang sangat saya hormati, Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Seno Gumira Ajidarma.”
Wow, Djenar berguru pada tiga orang sastrawan yang luar biasa. Yang paling saya kenal adalah Seno Gumira Ajidarma karena ia sastrawan yang cukup produktif sehingga saya sering membaca cerpen-cerpennya. Sutardji Calzoum Bachri saya kenal ketika saya tertarik membaca buku kumpulan puisi kontemporernya yang terbilang unik. Lalu Budi Darma, saya tidak tahu banyak soal dia. Yang saya tahu adalah ia pengarang novel Olenka, yang kata seorang kawan novel itu novel yang bagus.
Wow, jadi Djenar langsung berguru pada ketiga sastrawan hebat. Jelas saja cerpennya luar biasa. Sedangkan aku sendiri, aku tidak berguru pada siapa-siapa untuk belajar menulis. Maksudku guruku yang mengajariku secara langsung tidak ada. Tapi semua orang juga mendukungku dalam hal tulis-menulis. Semua orang membuatku terinspirasi.
Jadi aku rasa, aku tidak perlu susah-susah beguru pada seseorang dan ngoyo untuk jadi muridnya. Aku tak akan meneladani sikap Palgunadi yang begini. Tapi, aku akan meneladani sifatnya yang tidak mau putus asa. Itu yang terpenting, cuk! Asu!
Jember, 21 November 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar