Di
tengah malam yang sunyi ini, saya mendengar suara kakek sedang batuk berat.
Saya langsung pergi ke kamar kakek. Ayah dan Ibu sudah ada di sana.
“Kita
bawa ke puskesmas saja,” kata ayah.
“Sepertinya
batuknya kakek berat, Yah. Kita bawa ke rumah sakit saja,” balas saya.
“Di
desa begini mana ada rumah sakit, le,”
kata ayah.
Ayah
langsung ke luar dan menyalakan mobil. Saya dan ibu menuntun kakek berjalan.
Kami akan membawa kakek menuju puskesmas. Kakek yang seorang perokok berat
membuat saya khawatir. Jangan-jangan propaganda rokok menyebabkan penyakit dan
tetek-bengeknya itu betul adanya.
Sampai
puskesmas, begitu sepi, saya melihat seorang perawat pria. Ayah menjelaskan
perihal apa yang terjadi pada kakek.
“Waduh,
ini jantungnya berbahaya, Pak. Apalagi bapak bilang kakek perokok berat. Dibawa
ke rumah sakit kota saja. Prosedurnya bapak harus pakai ambulan dari sini,”
kata perawat itu.
“Dokternya
tidak ada?” Tanya Ayah.
“Dokternya
sudah tidur, Pak,” balas perawat itu.
“Dokter
dan perawat punya kode etik kan, Mas?” tanyaku pada perawat.
“Biaya
ambulannya 200 ribu. Dan ini juga perlu oksigen. Totalnya 290 ribu,” kata
perawat tak menjawab pertanyaanku.
“Mas,
saya ini mahasiswa kedokteran. Sampeyan
cuma perawat minta ditampar uang berapa juta?” tantangku.
Perawat
itu diam.
Saya dan Ibu menuntun kakek kembali ke dalam mobil. Saya memberi kode pada Ayah untuk meninggalkan perawat itu.
Saya dan Ibu menuntun kakek kembali ke dalam mobil. Saya memberi kode pada Ayah untuk meninggalkan perawat itu.
Kami
akan mengantar sendiri kakek ke rumah sakit. Di dalam mobil kakek terus-terusan
batuk.
“Sejak
kapan kamu kuliah di kedokteran, le?”
Tanya Ibu pada saya.
“Di
jaman edan seperti sekarang, kebohongan memang harus dipadamkan dengan
kebohongan, Bu,” balasku.
Ambulu,
4 Februari 2013
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar