“Jadi begitu ya. Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya,” kata Bu Titik.
“Ya, bu,” jawab siswa sekelas.
“Ibaratnya begini. Kalian perhatikan tiap kali ada tamu, pasti orang tua kalian menyuguhkan sesuatu, bahkan menyuguhkan yang terbaik dari yang ada. Sama seperti kapitalisme. Kita menjual yang terbaik untuk diekspor dan negara kita bisa untung besar.”
“Bu, saya tidak setuju dengan pernyataan Ibu. Asing bukan tamu. Mereka pembeli. Tabiat tamu dan pembeli berbeda. Tamu bersifat untuk keramah-tamahan. Tapi bagaimana dengan asing? Krisis akibat kapitalisme bisa menghancurkan bangsa,” kelakar saya.
“Ya, tapi tetap yang terbaik kan yang dijual. Dan dengan kapitalisme kita bersaing,” balas Bu Titik.
“Tapi kapitalisme berbeda dengan bertamu. Bagi saya
itu analogi yang kurang tepat. Mari kita berdiskusi,
itu analogi yang kurang tepat. Mari kita berdiskusi,
Bu, supaya kami bisa paham semua,” jawabku.
“Ah, sudahlah, Nak. Tak perlu.”
“Analogikan saja dengan sekelompok buaya yang lapar. Ketika dilempari ayam, buaya kapitalis akan berebut, tapi buaya sosialis akan saling berbagi dengan adil,” tambahku.
“Sudah. Dalam ujian, tidak akan ada soal menanyakan kapitalisme sedetil itu.”
“Oh, saya paham. Dalam 5 menit kita memang tidak mencapai kesepakatan.”
“Ya, lebih baik kamu keluar kelas, Nak, daripada kamu meracuni pikiran temanmu,” balasnya.
Oh, jadi begini.
Surabaya, 20 Januari 2013
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar