Rabu, 20 November 2013

Ini Surabaya


Sudah sekira 5 bulan saya tinggal di Surabaya. Ya, cukup lama tapi juga bisa dibilang sebentar. Dan saya rasa pun saya belum begitu menyatu dengan Ibukota Jawa Timur ini. Tapi saya bisa beradaptasi dengan baik. Bisa dilihat dengan kebetahan saya di sini.

Selama di Surabaya, saya banyak menemui hal baru. Mulai dari sifat orang Surabaya yang bisa dibilang kasar—itu bagi orang pendalungan seperti saya—atau pun yang terkenal blak-blakan. Orang yang tak terbiasa hidup seperti ini pasti mengalami culture shock. Kaget dengan budaya Surabaya yang amat egaliter ini. Ya, ini Surabaya. Jancuk sudah bertebaran di mana-mana. Mulai dari anak kecil yang bermain petak umpet, sampai orang-orang tua yang nongkrong di warung kopi mengucapkannya.

Berbeda sekali dengan daerah asal saya, Jember. Jember yang tergolong dalam sub-suku pendalungan tak terbiasa dengan hal ini. Campuran budaya Jawa dan Madura cukup unik bagi saya. Karena memang Jawanya Jember dan Maduranya Jember biasanya berada di masyarakat pedesaan. Orang yang berada di pusat Jember pun biasanya berasal dari salah satu dua suku itu. Dan mau tidak mau, dialek orang Jember akan berbeda dengan orang Surabaya. Saya yang berada di lingkungan Jawa pun sudah terkontaminasi oleh dialek Madura. Setidaknya itu kata teman-teman saya di Surabaya.

Sampai di Surabaya, saya merasa dialek saya malah kembali Jawa. Maksud saya, ada sedikit pengaruh dialek Surabaya. Tapi entah mengapa tetap saya medok. Saya tak ingin menghilangkan dialek saya ini, karena memang ini saya. Tapi tetap, saya masih bisa berkomunikasi dengan baik di sini.


Surabaya oh Surabaya. Banyak hal dan tak hanya soal budaya yang saya temui di sini. Saya beberapa kali ikut aksi dengan kawan-kawan mahasiswa. Saya masih ingat betul panasnya Surabaya tak jarang membuat saya pusing ketika ikut aksi dengan kawan-kawan. Tapi entah mengapa, justru semakin sang surya membara, semangat dalam dada semakin membara. Semangat ini hanya saya dapat di Surabaya. Saya jadi sedikit membayangkan, bagaimana ya perjuangan arek-arek Suroboyo dulu berjuang untuk melawan sekutu. Perjuangan meraka pasti sangat dahsyat. Bayangkan saya hawa panas begini, semangat tetap membara. Ini Surabaya, bung!

Sungguh mengasyikkan bisa berada di kota ini. Banyak hal baru yang saya temui. Banyak pelajaran baru bagi saya. Tapi sungguh pun dalam menemui hal baru tak ada yang sempurna. Saya tak selamanya menemui yang mengasyikkan atau menyenangkan. Ah, Surabaya.

Semalam, saya membeli nasi goreng di dekat tempat kos saya. Dalam suasana hujan, penjual nasi goreng kaki lima yang biasa berjumlah kurang lebih 10 dan berjejeran, bukan lagi jadi pemandangan. Hanya ada satu penjual nasi goreng, dan jelas saja pembeli merapat ke sana. Terpaksa saya harus antre, bagaimana tidak, tangan si penjual kan cuma dua. Saya menungguh sambil berteduh di sebuah warung kopi dan menyalakan rokok. Saya harus sabar, batin saya. Ada sekira 7 pembeli yang menunggu dilayani. Berarti saya pembeli kedelapan. Satu per satu pembeli dilayani. Akhirnya giliran saya. Saya melihat pak penjual nasi goreng dengan sabar membuatkan nasi goreng untuk saya, saya mendekatinya dan mencoba untuk ngobrol dengannya.

Jawah mawon nggih, Pak,” buka saya.

Yo ngene iki, mas. Ben bengi mesti udan,” balasnya.

Saya melihat si penjual nasi goreng mulai memasukkan bumbu dan nasi. Aroma bumbu membuat lapar semakin tak tertahan. Di tengah hiruk pikuk jalanan—masih hujan tentu saja, tiba-tiba ada suara motor keras sekali, seperti suara ngebut. Motor Vixion itu memepet sebuah motor matic yang dikendarai oleh seorang wanita yang basah kuyup. Dalam sekejap, pengemudi motor Vixion dan kawannya yang sedang dibonceng berhasil meraih tas si pemilik motor matic dan langsung kabur. Karena hujan, orang-orang di sekitar sini tidak berbuat apa-apa. Pun saya tak dapat mendengar suara teriakan apa-apa. Si matic berusaha mengejar. Saya tak lagi tahu kisahnya.

Jambret nggih, Pak?” tanyaku pada penjual nasi goreng.

Iyo ngeri udan-udan ngene,” jawab si penjual nasi goreng.

Oh, iya, ini Surabaya.
Surabaya, 20 Januari 2013

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar