Sudah
sekira 5 bulan saya tinggal di Surabaya. Ya, cukup lama tapi juga bisa dibilang
sebentar. Dan saya rasa pun saya belum begitu menyatu dengan Ibukota Jawa Timur
ini. Tapi saya bisa beradaptasi dengan baik. Bisa dilihat dengan kebetahan saya
di sini.
Selama
di Surabaya, saya banyak menemui hal baru. Mulai dari sifat orang Surabaya yang
bisa dibilang kasar—itu bagi orang pendalungan seperti saya—atau pun yang
terkenal blak-blakan. Orang yang tak terbiasa hidup seperti ini pasti mengalami
culture shock. Kaget dengan budaya
Surabaya yang amat egaliter ini. Ya, ini Surabaya. Jancuk sudah bertebaran di
mana-mana. Mulai dari anak kecil yang bermain petak umpet, sampai orang-orang
tua yang nongkrong di warung kopi mengucapkannya.
Berbeda
sekali dengan daerah asal saya, Jember. Jember yang tergolong dalam sub-suku
pendalungan tak terbiasa dengan hal ini. Campuran budaya Jawa dan Madura cukup
unik bagi saya. Karena memang Jawanya Jember dan Maduranya Jember biasanya
berada di masyarakat pedesaan. Orang yang berada di pusat Jember pun biasanya
berasal dari salah satu dua suku itu. Dan mau tidak mau, dialek orang Jember
akan berbeda dengan orang Surabaya. Saya yang berada di lingkungan Jawa pun
sudah terkontaminasi oleh dialek Madura. Setidaknya itu kata teman-teman saya
di Surabaya.
Sampai
di Surabaya, saya merasa dialek saya malah kembali Jawa. Maksud saya, ada
sedikit pengaruh dialek Surabaya. Tapi entah mengapa tetap saya medok. Saya tak
ingin menghilangkan dialek saya ini, karena memang ini saya. Tapi tetap, saya
masih bisa berkomunikasi dengan baik di sini.
Surabaya
oh Surabaya. Banyak hal dan tak hanya soal budaya yang saya temui di sini. Saya
beberapa kali ikut aksi dengan kawan-kawan mahasiswa. Saya masih ingat betul
panasnya Surabaya tak jarang membuat saya pusing ketika ikut aksi dengan
kawan-kawan. Tapi entah mengapa, justru semakin sang surya membara, semangat
dalam dada semakin membara. Semangat ini hanya saya dapat di Surabaya. Saya
jadi sedikit membayangkan, bagaimana ya perjuangan arek-arek Suroboyo dulu
berjuang untuk melawan sekutu. Perjuangan meraka pasti sangat dahsyat.
Bayangkan saya hawa panas begini, semangat tetap membara. Ini Surabaya, bung!
Sungguh
mengasyikkan bisa berada di kota ini. Banyak hal baru yang saya temui. Banyak
pelajaran baru bagi saya. Tapi sungguh pun dalam menemui hal baru tak ada yang
sempurna. Saya tak selamanya menemui yang mengasyikkan atau menyenangkan. Ah,
Surabaya.
Semalam,
saya membeli nasi goreng di dekat tempat kos saya. Dalam suasana hujan, penjual
nasi goreng kaki lima yang biasa berjumlah kurang lebih 10 dan berjejeran,
bukan lagi jadi pemandangan. Hanya ada satu penjual nasi goreng, dan jelas saja
pembeli merapat ke sana. Terpaksa saya harus antre, bagaimana tidak, tangan si
penjual kan cuma dua. Saya menungguh sambil berteduh di sebuah warung kopi dan
menyalakan rokok. Saya harus sabar, batin saya. Ada sekira 7 pembeli yang
menunggu dilayani. Berarti saya pembeli kedelapan. Satu per satu pembeli
dilayani. Akhirnya giliran saya. Saya melihat pak penjual nasi goreng dengan
sabar membuatkan nasi goreng untuk saya, saya mendekatinya dan mencoba untuk
ngobrol dengannya.
“Jawah mawon nggih, Pak,” buka saya.
“Yo ngene iki, mas. Ben bengi mesti udan,”
balasnya.
Saya
melihat si penjual nasi goreng mulai memasukkan bumbu dan nasi. Aroma bumbu
membuat lapar semakin tak tertahan. Di tengah hiruk pikuk jalanan—masih hujan
tentu saja, tiba-tiba ada suara motor keras sekali, seperti suara ngebut. Motor
Vixion itu memepet sebuah motor matic
yang dikendarai oleh seorang wanita yang basah kuyup. Dalam sekejap, pengemudi
motor Vixion dan kawannya yang sedang dibonceng berhasil meraih tas si pemilik
motor matic dan langsung kabur.
Karena hujan, orang-orang di sekitar sini tidak berbuat apa-apa. Pun saya tak
dapat mendengar suara teriakan apa-apa. Si matic
berusaha mengejar. Saya tak lagi tahu kisahnya.
“Jambret nggih, Pak?” tanyaku pada
penjual nasi goreng.
“Iyo ngeri udan-udan ngene,” jawab si
penjual nasi goreng.
Oh,
iya, ini Surabaya.
Surabaya,
20 Januari 2013
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar