Ia adalah orang yang sangat luar
biasa. Saya rasa tak ada yang berlebihan bila saya mengatakan begitu, karena
memang begitu adanya. Dan saya rasa, memang setiap orang punya pahlawan dalam
setiap hidupnya. Dan ia adalah pahlawan dalam hidup saya.
Sudah 19 tahun saya hidup di planet
urutan ketiga terdekat dengan Matahari setelah Merkurius dan Venus
ini—bebegitulah kata para ahli. Dan ia memang selalu ada di samping saya.
Ketika saya membaca buku, ia ada di samping saya. Ketika saya sedang berdoa, ia
ada ada di samping saya. Tak terkecuali ketika sekadar buang hajat, ia
terngiang di otak saya.
Mula-mula, ia yang mengajari saya
membaca. Sekadar melafalkan A, B, C dan seterusnya, ia mengajarkan kepada saya
untuk mencintai buku. Ia membelikan saya banyak buku atau majalah atau apapun
agar saya bisa membaca. Ia pula yang mengajari saya agar dapat membaca huruf
hijaiyah sehingga saya bisa membaca kitab suci agama saya. Ia juga mengajari
saya berhitung. Ia mengajari saya beberapa Bahasa Inggris dengan kosakata
benda-benda yang ada di sekitar saya. Semua itu ia ajarkan kepada saya ketika
saya masih belum sekolah sampai saya masuk SD.
Ketika SD, ia begitu sibuk sehingga
jarang berjumpa dengan saya. Tapi saya senang bila berjumpa dengannya, ia
dengan sabar menemani saya belajar. Membuat saya semangat belajar akan
pelajaran sekolah dan saya memintanya untuk mengajari lebih dari apa yang sudah
iajarkan di sekolah. Sesekali ia tertawa mendengar saya celotehan saya. Tapi
sesekali ia marah bila saya melakukan kesalahan yang sayang terlalu.
Ia yang memberi saya sebuah buku
catatan untuk saya menulis. “Tulislah di situ tentang apa yang kau alami
sehari-hari,” ujarnya. Ya, saya senang ia menyuruh saya menulis. Saya senang
menulis tentang apa yang terjadi di sekolah, di rumah, maupun lingkungan
bermain saya. 7 tahun kalau tidak salah usia saya kala itu. Ia memang jarang
bertemu saya, tapi saya senang ia amat mendukung saya ini-itu.
Ia mengajari saya untuk protes
terhadap guru di sekolah bila guru memang melakukan kesalahan. Ia pula yang
membuat saya dibentak oleh guru saya karena protes yang saya lakukan. Ia yang
memarahi saya, bagaimana mungkin saya bisa mendapat nilai 60 pada mata
pelajaran Matematika sedangkan saya dapat mengerjakan semua soal.
Ia yang mengantar saya pergi
mengaji. Saya senang diboncengnya. Ia yang memang membuat saya merasa nyaman.
Ia yang membuat saya merasa tenang. Ia yang membuat saya merasa aman.
Ia yang sering menjawab pertanyaan
saya. Saya bertanya padanya, “Apa benar fitnah lebih kejam daripada
pembunuhan?”
“Tapi lantas bukan berarti
pembunuhan itu dibenarkan karena tidak lebih kejam daripada fitnah,” jawabnya.
“Ya, saya paham. Agama pun melarang
kita untuk membunuh,” balas saya.
“Lebih dari itu. Lebih baik coba pikirkan
tentang akibat pembunuhan. Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan? Tentu
sedih bukan? Saya rasa kamu paham, kita tidak boleh membuat orang lain sedih,
karena kita sendiri pun tidak mau merasa sedih,” jawabnya lagi.
“Iya.”
“Coba jangan kau pikirkan karena
membunuh itu dosa, tapi lihat akibat dari pembunuhan itu. Sama halnya dengan
orang yang senang membeli barang mahal. Agama tidak melarang orang yang membeli
barang mahal, dan tidak ada dosa untuk hal itu. Tapi coba lihat, seseorang yang
membeli barang mahal itu sadar atau tidak bilang di samping kanan-kirinya
banyak yang belum makan,” jawabnya.
Saya semakin mengaguminya.
Ia adalah orang pertama yang
mendukung saya untuk belajar musik. Ia yang memberi referensi kepada saya dalam
bermusik. Ia yang memberi tahu saya berbagai jenis musik. Ia yang membuat saya
menikmati musik.
Ia adalah orang pertama yang
mendukung saya untuk belajar sastra. Ia yang memberi referensi kepada saya
untuk belajar sastra. Ia yang memberi tahu saya sastra klasik. Ia yang membuat
saya menikmati sastra.
Ia yang fasih Bahasa Jawa Kuno itu,
membuat saya senang karena ia memang selalu bersama saya. Ia yang ia sendiri
bilang adalah orang Madura itu menguasai Bahasa Inggris, yang ia bilang ini
adalah cara untuk mempelajari apa yang ada di belahan dunia sana.
Ia adalah tempat saya bertanya
tentang agama. Pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh guru agama saya, saya
lontarkan padanya. Dan ia menjawabnya dengan referensi yang punya berikut buku
bacaan yang perlu saya baca.
Ketika saya kecanduan obat, ia
menempeleng saya agar sadar bahwa obat itu tak ada faedahnya. Ia yang menemani
saya untuk tak kembali candu akan obat. Ia yang pelan-pelan mengingatkan saya
siapa saya, dan bagaimana semua yang diajarkannya itu tidak untuk membuat saya
mengonsumsi obat. Ia menemani saya, selalu bersama saya hingga saya kembali
bisa makan nasi, sayur-mayur dan lauk-pauknya.
Sungguh, ia selalu bersama saya.
Surabaya, 20 Desember 2013
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar