Jumat, 20 Desember 2013

Ia Selalu Bersama Saya


Ia adalah orang yang sangat luar biasa. Saya rasa tak ada yang berlebihan bila saya mengatakan begitu, karena memang begitu adanya. Dan saya rasa, memang setiap orang punya pahlawan dalam setiap hidupnya. Dan ia adalah pahlawan dalam hidup saya.

Sudah 19 tahun saya hidup di planet urutan ketiga terdekat dengan Matahari setelah Merkurius dan Venus ini—bebegitulah kata para ahli. Dan ia memang selalu ada di samping saya. Ketika saya membaca buku, ia ada di samping saya. Ketika saya sedang berdoa, ia ada ada di samping saya. Tak terkecuali ketika sekadar buang hajat, ia terngiang di otak saya.

Mula-mula, ia yang mengajari saya membaca. Sekadar melafalkan A, B, C dan seterusnya, ia mengajarkan kepada saya untuk mencintai buku. Ia membelikan saya banyak buku atau majalah atau apapun agar saya bisa membaca. Ia pula yang mengajari saya agar dapat membaca huruf hijaiyah sehingga saya bisa membaca kitab suci agama saya. Ia juga mengajari saya berhitung. Ia mengajari saya beberapa Bahasa Inggris dengan kosakata benda-benda yang ada di sekitar saya. Semua itu ia ajarkan kepada saya ketika saya masih belum sekolah sampai saya masuk SD.

Ketika SD, ia begitu sibuk sehingga jarang berjumpa dengan saya. Tapi saya senang bila berjumpa dengannya, ia dengan sabar menemani saya belajar. Membuat saya semangat belajar akan pelajaran sekolah dan saya memintanya untuk mengajari lebih dari apa yang sudah iajarkan di sekolah. Sesekali ia tertawa mendengar saya celotehan saya. Tapi sesekali ia marah bila saya melakukan kesalahan yang sayang terlalu.

Ia yang memberi saya sebuah buku catatan untuk saya menulis. “Tulislah di situ tentang apa yang kau alami sehari-hari,” ujarnya. Ya, saya senang ia menyuruh saya menulis. Saya senang menulis tentang apa yang terjadi di sekolah, di rumah, maupun lingkungan bermain saya. 7 tahun kalau tidak salah usia saya kala itu. Ia memang jarang bertemu saya, tapi saya senang ia amat mendukung saya ini-itu.

Ia mengajari saya untuk protes terhadap guru di sekolah bila guru memang melakukan kesalahan. Ia pula yang membuat saya dibentak oleh guru saya karena protes yang saya lakukan. Ia yang memarahi saya, bagaimana mungkin saya bisa mendapat nilai 60 pada mata pelajaran Matematika sedangkan saya dapat mengerjakan semua soal.

Ia yang mengantar saya pergi mengaji. Saya senang diboncengnya. Ia yang memang membuat saya merasa nyaman. Ia yang membuat saya merasa tenang. Ia yang membuat saya merasa aman.

Ia yang sering menjawab pertanyaan saya. Saya bertanya padanya, “Apa benar fitnah lebih kejam daripada pembunuhan?”

“Tapi lantas bukan berarti pembunuhan itu dibenarkan karena tidak lebih kejam daripada fitnah,” jawabnya.

“Ya, saya paham. Agama pun melarang kita untuk membunuh,” balas saya.

“Lebih dari itu. Lebih baik coba pikirkan tentang akibat pembunuhan. Bagaimana dengan keluarga yang ditinggalkan? Tentu sedih bukan? Saya rasa kamu paham, kita tidak boleh membuat orang lain sedih, karena kita sendiri pun tidak mau merasa sedih,” jawabnya lagi.

“Iya.”

“Coba jangan kau pikirkan karena membunuh itu dosa, tapi lihat akibat dari pembunuhan itu. Sama halnya dengan orang yang senang membeli barang mahal. Agama tidak melarang orang yang membeli barang mahal, dan tidak ada dosa untuk hal itu. Tapi coba lihat, seseorang yang membeli barang mahal itu sadar atau tidak bilang di samping kanan-kirinya banyak yang belum makan,” jawabnya.

Saya semakin mengaguminya.

Ia adalah orang pertama yang mendukung saya untuk belajar musik. Ia yang memberi referensi kepada saya dalam bermusik. Ia yang memberi tahu saya berbagai jenis musik. Ia yang membuat saya menikmati musik.

Ia adalah orang pertama yang mendukung saya untuk belajar sastra. Ia yang memberi referensi kepada saya untuk belajar sastra. Ia yang memberi tahu saya sastra klasik. Ia yang membuat saya menikmati sastra.

Ia yang fasih Bahasa Jawa Kuno itu, membuat saya senang karena ia memang selalu bersama saya. Ia yang ia sendiri bilang adalah orang Madura itu menguasai Bahasa Inggris, yang ia bilang ini adalah cara untuk mempelajari apa yang ada di belahan dunia sana.

Ia adalah tempat saya bertanya tentang agama. Pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh guru agama saya, saya lontarkan padanya. Dan ia menjawabnya dengan referensi yang punya berikut buku bacaan yang perlu saya baca.

Ketika saya kecanduan obat, ia menempeleng saya agar sadar bahwa obat itu tak ada faedahnya. Ia yang menemani saya untuk tak kembali candu akan obat. Ia yang pelan-pelan mengingatkan saya siapa saya, dan bagaimana semua yang diajarkannya itu tidak untuk membuat saya mengonsumsi obat. Ia menemani saya, selalu bersama saya hingga saya kembali bisa makan nasi, sayur-mayur dan lauk-pauknya.

Sungguh, ia selalu bersama saya.
Surabaya, 20 Desember 2013

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar