“Aku butuh kunci, bang,” ujarnya.
“Buat apa?” tanyaku.
“Untuk membuka pintu itu.”
“Kau tak punya kunci?”
“Makanya kubilang pada abang.”
“Kenapa tak kau dobrak saja?”
“Ah, abang. Itu bukan caranya seorang terpelajar?”
“Maksudmu?” Aku mengeryitkan dahi.
“Aku tak boleh memaksa.”
“Kau butuh betul?”
“Iya, bang.”
“Ya dobrak saja,” paksaku.
“Kan sudah kubilang.”
“Tak mau mendobraknya?”
“Tidak.”
“Padahal kau butuh masuk lewat pintu itu?”
“Iya.”
“Sekarang?”
“Sekarang juga, bang! Ini mendesak!” teriaknya.
“Dengar. Kita sedang tak bicara Matematika. Kita
sedang tak bicara mengenai bahasa yang konsisten. Seorang terpelajar bukan
terpacu atau silau akan kalimat yang penuh bualan. Mengerti?” jelasku.
Ia diam.
Surabaya, 5
September 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar