Rabu, 20 November 2013

Kertas Kosong


Rembulan belum menampakkan cantiknya. Sampai pukul 3 pagi lebih ini saya masih belum jua dapat memejamkan mata. Tadi saya sempat menguap, saya kira saya sudah hendak tidur. Nanging, ketika sudah siap untuk bertemu mimpi, saya tak bisa tidur. Lantas saya jalankan malam ini dengan membaca buku, membaca berita dan bermain game.

Baru saja saya bermain game di ponsel saya sambil mendengarkan lagu. Saya menyalakan lagu secara random. Tiba-tiba ponsel saya menyalakan lagu dari soundtrack film Gie dengan judul lagu yang sama. Saya jadi teringat akan sesuatu. Ya, teman-teman nongkrong saya memanggil saya ‘Gie’. Julukan yang cukup membuat saya senang, karena saya merasa akrba dipanggil begitu. ‘Gie’ meraung, maka dengan sigap saya menuju meja saya dan saya langsung menyatu dengan laptop saya dalam buaian kata-kata.

Hmm, semua sudah tidur ya? Sepi nyenyet. Tak ada suara apa-apa selain jangkrik dan ayam yang berkokok kepagian. Dua hari yang lalu saya masih sahur bersama keluarga. Sehari yang lalu, jam segini pula, saya asyik di depan laptop pula sambil membaca berita. Sehari yang lalu suara gema takbir ora leren-leren berkumandang. Dan sekarang keadaan sangat berubah. Setidaknya yang namanya sahur, ngabuburit, buka, terawih, tadarus akan hadir lagi setahun lagi. Itu waktu yang lama tapi saya merindukannya.

Wah, rasanya akan asyik banget lho ya kalau menjalaninya bersama keluarga. Maksud saya, sensasi yang saya dapat akan sangat uenak bila menjalani aktifitas yang saya sebutkan tadi bersama keluarga. Tak terkecuali berpuasa dan juga shalat berjamaah 5 waktu. Rasanya aktifitas itu sangat jarang saya rasakan bersama keluarga. Saya jelas tak dapat menjelaskannya di sini mengapa saya tak merasakan sensasi itu, tapi saya cukup menikmati puasa tahun ini.

Keluarga adalah tempat saya. Semua yang ada pada saya berasal dari keluarga. Saya menulis malam ini—eh sekarang sudah pagi ya—pun jelas karena keluarga. Pengaruh keluarga amat besar terhadapa saya. Kalau saja saya tidak lahir dari keluarga terpelajar dan pecinta buku, belum tentu saya sekarang duduk di depan laptop ini. Maka pikiran saya tiba-tiba melayang jauh ke masa lalu bagaimana keluarga amat memengaruhi hidup saya.

Dari segi agama, keluarga saya adalah keluarga Islam. Saya tak berani menyebut kami taat, karena saya tak tahu seberapa pantas keluarga kami disebut taat. Saya teringat masa-masa saya masih mengaji di TPQ. Hampir semua ilmu agama yang saya ketahui berasal dari sana, ya paling tidak dasar pengetahuan agama. Karena sejak TK sampai lulus SMA ini saya tak pernah sekolah di sekolah Islam. Saya sempat belajar di Pondok Pesantren dan saya juga banyak belajar di sana.

Nah, untuk urusan ini kok saya rasa keluarga saya ndak mau terlibat secara langsung ya. Ayah saya menaruh saya di TPQ untuk belajar agama. Tapi saya kok merasa ayah saya menaruh saya di situ tinggal terima jadi. Ibarat penjahit, ayah saya punya kain langsung diberikan pada penjahit dan ayah saya minta kain itu langsung jadi kemeja tanpa bilang ia minta kemeja yang seperti apa. Padahal saya rasa ayah amat banyak tahu soal agama. Mengapa ayah tak juga mengajari saya agama. Ayah hanya memberi tahu kalau saya bertanya. Sampai akhirnya saya masuk jurusan Sosiologi itu pun ayah tak banyak ikut campur. Ayah tak menyuruh saya masuk jurusan itu meski ayah pernah kuliah di jurusan itu. Saya merasa kok saya seperti manut apa yang ayah tekuni, tapi sedikitk pun ayah tak pernah memaksa saya untuk mengikutinya.

SMP, saya amat suka Fisika dan Matematika. Saya belajar dasar Matematika ketika SD, dan saya sering bertanya kepada ayah yang dulu pernah juara Olimpiade Matematika. Dari dasar itu saya SMP suka pada Fisika dan ikut OSN Fisika. Saya suka musik rock. Ee lah dalah, jangan kaget kalau ayah saya suka mengoleksi musik rock barat. Ayah amat suka Deep Purple, yang kata ayah itu juga band favorit Rhoma Irama. Sampai-sampai Rhoma Irama berkiblat pada Deep Purple dalam hal bermusik. Padahal Rhoma Irama beraliran musik dangdut.

SMA, saya tergila-gila pada sastra. Tergila-gila pada karya Pram. Lagi-lagi secara mengejutkan saya menyukai apa yang ayah sukai. Di rumah saya juga banyak terdapat buku-buku sastra, sehingga fasilitas untuk belajar sastra cukup terpenuhi. Saya juga amat suka wayang kulit. Demikian juga dengan ayah. Padahal ayah tak pernah menyuruh saya untuk menyukainya. Pun juga ketika saya masih kecil saya suka mendalang dengan wayang-wayang saya, ayah tak pernah menyuruh saya.

Nah, sekarang saya masuk Sosiologi, siapa yang menyuruh saya? Tak ada. Saya sendiri heran kenapa saya bisa masuk Sosiologi bila memandang napak tilas saya di masa lalu. Tapi entah mengapa saya merasa cocok dengan bidang ini. Karena saya rasa di sini nanti saya akan banyak belajar, diskusi, dan asyiknya akan bertemu dengan banyak orang.

Saya ingin banyak membantu orang. Banyak cara untuk dapat berguna bagi banyak orang. Ya terserah, kalau Sampeyan bilang saya ini cuma banyak omong dan tak pernah menyuguhkan bukti. Tapi saya ini bukan calon pejabat. Ya saya ingin membantu banyak orang.

Kalau Sampeyan bertanya ‘apakah ayah saya suka menulis seperti saya suka menulis’,  pertanyaan Sampeyan ya ndak perlu dijawab. Ayah saya seorang penulis, meski saya jarang melihat ayah saya menulis lagi sekarang. Tapi jangan tanya pada saya alasan kenapa saya menulis. Saya bukan Soe Hok Gie yang akan menjawab, “Saya menulis, karena saya tahu saya anak penulis.”

Saya menulis, karena saya ingin menulis. Saya juga ndak pernah mikir materi kok. Sampai sekarang, saya tak pernah mendapatkan uang dari menulis. Entah mengapa, saya merasa karya saya ini terlalu berharga untuk ditukar jadi rupiah. Padahal tulisan saya kan ndak ada apa-apanya bila dibanding dengan orang-orang sono.
Hmm, kalau Gie berkata bahwa ia menulis karena ayahnya penulis, maka ia berbeda dengan saya. Soe Hok Gie sangat berbeda dengan Aditya. Saya Mahasiswa Sosiologi, dia Mahasiswa Sejarah. Saya Mahasiswa Unair, dia Mahasiswa UI. Soe Hok Gie amat kritis, entah dengan saya—terserah Sampeyan yang menilai bagaimana saya ini.

Nah, kalau demikian, sebenarnya saya ini apakah sedang berkiblat pada ayah saya? Yang jelas, saya tak ada apa-apanya dibanding ayah saya. Saya masih kertas kosong.
Ambulu, 20 Agustus 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar