Rembulan
belum menampakkan cantiknya. Sampai pukul 3 pagi lebih ini saya masih belum jua
dapat memejamkan mata. Tadi saya sempat menguap, saya kira saya sudah hendak
tidur. Nanging, ketika sudah siap
untuk bertemu mimpi, saya tak bisa tidur. Lantas saya jalankan malam ini dengan
membaca buku, membaca berita dan bermain game.
Baru
saja saya bermain game di ponsel saya sambil mendengarkan lagu. Saya menyalakan
lagu secara random. Tiba-tiba ponsel
saya menyalakan lagu dari soundtrack film
Gie dengan judul lagu yang sama. Saya jadi teringat akan sesuatu. Ya,
teman-teman nongkrong saya memanggil saya ‘Gie’. Julukan yang cukup membuat
saya senang, karena saya merasa akrba dipanggil begitu. ‘Gie’ meraung, maka
dengan sigap saya menuju meja saya dan saya langsung menyatu dengan laptop saya
dalam buaian kata-kata.
Hmm,
semua sudah tidur ya? Sepi nyenyet.
Tak ada suara apa-apa selain jangkrik dan ayam yang berkokok kepagian. Dua hari
yang lalu saya masih sahur bersama keluarga. Sehari yang lalu, jam segini pula,
saya asyik di depan laptop pula sambil membaca berita. Sehari yang lalu suara
gema takbir ora leren-leren
berkumandang. Dan sekarang keadaan sangat berubah. Setidaknya yang namanya
sahur, ngabuburit, buka, terawih, tadarus akan hadir lagi setahun lagi. Itu
waktu yang lama tapi saya merindukannya.
Wah,
rasanya akan asyik banget lho ya kalau menjalaninya bersama keluarga. Maksud
saya, sensasi yang saya dapat akan sangat uenak
bila menjalani aktifitas yang saya sebutkan tadi bersama keluarga. Tak terkecuali
berpuasa dan juga shalat berjamaah 5 waktu. Rasanya aktifitas itu sangat jarang
saya rasakan bersama keluarga. Saya jelas tak dapat menjelaskannya di sini
mengapa saya tak merasakan sensasi itu, tapi saya cukup menikmati puasa tahun
ini.
Keluarga
adalah tempat saya. Semua yang ada pada saya berasal dari keluarga. Saya
menulis malam ini—eh sekarang sudah pagi ya—pun jelas karena keluarga. Pengaruh
keluarga amat besar terhadapa saya. Kalau saja saya tidak lahir dari keluarga
terpelajar dan pecinta buku, belum tentu saya sekarang duduk di depan laptop
ini. Maka pikiran saya tiba-tiba melayang jauh ke masa lalu bagaimana keluarga
amat memengaruhi hidup saya.
Dari
segi agama, keluarga saya adalah keluarga Islam. Saya tak berani menyebut kami
taat, karena saya tak tahu seberapa pantas keluarga kami disebut taat. Saya
teringat masa-masa saya masih mengaji di TPQ. Hampir semua ilmu agama yang saya
ketahui berasal dari sana, ya paling tidak dasar pengetahuan agama. Karena
sejak TK sampai lulus SMA ini saya tak pernah sekolah di sekolah Islam. Saya
sempat belajar di Pondok Pesantren dan saya juga banyak belajar di sana.
Nah,
untuk urusan ini kok saya rasa keluarga saya ndak mau terlibat secara langsung
ya. Ayah saya menaruh saya di TPQ untuk belajar agama. Tapi saya kok merasa
ayah saya menaruh saya di situ tinggal terima jadi. Ibarat penjahit, ayah saya
punya kain langsung diberikan pada penjahit dan ayah saya minta kain itu
langsung jadi kemeja tanpa bilang ia minta kemeja yang seperti apa. Padahal
saya rasa ayah amat banyak tahu soal agama. Mengapa ayah tak juga mengajari
saya agama. Ayah hanya memberi tahu kalau saya bertanya. Sampai akhirnya saya
masuk jurusan Sosiologi itu pun ayah tak banyak ikut campur. Ayah tak menyuruh
saya masuk jurusan itu meski ayah pernah kuliah di jurusan itu. Saya merasa kok
saya seperti manut apa yang ayah tekuni, tapi sedikitk pun ayah tak pernah
memaksa saya untuk mengikutinya.
SMP,
saya amat suka Fisika dan Matematika. Saya belajar dasar Matematika ketika SD,
dan saya sering bertanya kepada ayah yang dulu pernah juara Olimpiade
Matematika. Dari dasar itu saya SMP suka pada Fisika dan ikut OSN Fisika. Saya
suka musik rock. Ee lah dalah, jangan
kaget kalau ayah saya suka mengoleksi musik rock barat. Ayah amat suka Deep
Purple, yang kata ayah itu juga band favorit Rhoma Irama. Sampai-sampai Rhoma
Irama berkiblat pada Deep Purple dalam hal bermusik. Padahal Rhoma Irama
beraliran musik dangdut.
SMA,
saya tergila-gila pada sastra. Tergila-gila pada karya Pram. Lagi-lagi secara
mengejutkan saya menyukai apa yang ayah sukai. Di rumah saya juga banyak terdapat
buku-buku sastra, sehingga fasilitas untuk belajar sastra cukup terpenuhi. Saya
juga amat suka wayang kulit. Demikian juga dengan ayah. Padahal ayah tak pernah
menyuruh saya untuk menyukainya. Pun juga ketika saya masih kecil saya suka
mendalang dengan wayang-wayang saya, ayah tak pernah menyuruh saya.
Nah,
sekarang saya masuk Sosiologi, siapa yang menyuruh saya? Tak ada. Saya sendiri
heran kenapa saya bisa masuk Sosiologi bila memandang napak tilas saya di masa
lalu. Tapi entah mengapa saya merasa cocok dengan bidang ini. Karena saya rasa
di sini nanti saya akan banyak belajar, diskusi, dan asyiknya akan bertemu
dengan banyak orang.
Saya
ingin banyak membantu orang. Banyak cara untuk dapat berguna bagi banyak orang.
Ya terserah, kalau Sampeyan bilang
saya ini cuma banyak omong dan tak pernah menyuguhkan bukti. Tapi saya ini
bukan calon pejabat. Ya saya ingin membantu banyak orang.
Kalau
Sampeyan bertanya ‘apakah ayah saya
suka menulis seperti saya suka menulis’, pertanyaan Sampeyan ya ndak perlu dijawab. Ayah saya seorang penulis, meski saya jarang
melihat ayah saya menulis lagi sekarang. Tapi jangan tanya pada saya alasan
kenapa saya menulis. Saya bukan Soe Hok Gie yang akan menjawab, “Saya menulis,
karena saya tahu saya anak penulis.”
Saya
menulis, karena saya ingin menulis. Saya juga ndak pernah mikir materi kok. Sampai sekarang, saya tak pernah
mendapatkan uang dari menulis. Entah mengapa, saya merasa karya saya ini
terlalu berharga untuk ditukar jadi rupiah. Padahal tulisan saya kan ndak ada apa-apanya bila dibanding
dengan orang-orang sono.
Hmm,
kalau Gie berkata bahwa ia menulis karena ayahnya penulis, maka ia berbeda
dengan saya. Soe Hok Gie sangat berbeda dengan Aditya. Saya Mahasiswa
Sosiologi, dia Mahasiswa Sejarah. Saya Mahasiswa Unair, dia Mahasiswa UI. Soe
Hok Gie amat kritis, entah dengan saya—terserah Sampeyan yang menilai bagaimana saya ini.
Nah,
kalau demikian, sebenarnya saya ini apakah sedang berkiblat pada ayah saya? Yang
jelas, saya tak ada apa-apanya dibanding ayah saya. Saya masih kertas kosong.
Ambulu,
20 Agustus 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar