Rabu, 20 November 2013

Kemana Oh Kemana Iwak Peyek?


Dalam sebulan terakhir ini saya sering pergi ke Surabaya. Ya, semenjak saya dinyatakan diterima di Universitas Airlangga, saya jadi sering mengunjungi Ibu Kota Jawa Timur ini. Nah, dari sekian banyak perjalanan itu, tak ada satu pun perjalanan yang saya tiwikramakan ke dalam sebuah tulisan. Kalau soal berperjalanan, sejak usai UN 2012, saya sering pergi ke sana ke mari. Ketika dalam perjalanan ide-ide bermunculan dan saya berniat untuk menuliskannya. Tapi ketika berada di depan laptop, saya blank.

Dari sekian banyak perjalanan yang saya lakukan, ada satu yang membuat saya masih merasa berkesan. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dari Surabaya menuju Bangil. Di Bangil saya nantinya hendak menginap di rumah budhe.

Saya cabut dari kampus ba’dha maghrib. Angkot membawa saya menuju terminal Joyoboyo. Sampai di Joyoboyo, bus kota yang biasanya membawa penumpang menuju Bungur Asih, sudah tidak ada. Terpaksa saya menumpang di angkot dengan tujuan Gempol. Ini baru pertama kalinya saya naik kendaraan umum di kotanya Bonekmania. Jadi saya belum begitu paham. Saya yang awam Surabaya ini pun tersesat. Seharusnya saya berhenti di Bungur Asih, eh malah ikut terus ke Gempol. Ya akhirnya saya ikut ke Gempol, baru saya naik bus dari situ menuju Bangil. Saya berhenti di Gempol ketika jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.

Dari Gempol saya naik bus dengan tujuan akhir Banyuwangi. Penumpang cukup ramai. Karena jarak perjalanan saya pendek, saya memilih duduk di dekat pintu, berada di sebelah kiri Pak Sopir. Ketika baru saja duduk, saya terkejut di dalam bus ada seorang kakek berusia sekira 70 tahun sedang memegang sebuah gitar.

“Ke mana… ke mana….” Nyanyi Si Kakek melantunkan lagu Ayu Ting-Ting. Suaranya sangat parah. Usia yang tak lagi muda jelas menjadi faktornya. Saya amat tak menikmati lagu ini.

“Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya…” kali ini lagu  dari Bang Haji Rhoma Irama yang beliau nyanyikan. Lagi-lagi dengan suaranya parah.

“Iwak peyek…. Iwak peyek… Iwak peyek sego jagung….”
Suaranya makin parah. Semakin terlihat parah ketika beliau menekan pada suku kata ‘yek’ jadi panjang sekali dan menghentikan kata ‘yek’ dengan menganggukkan kepala. Saya sangat tak menikmati. Saya mendengar banyak orang tertawa mendengar kakek ini bernyanyi. Wuih, keren juga ya, menyanyi tapi diapresiasi tertawa. Saya yang tak menikmati lagu, tak bisa berekspresi apa-apa.

Setelah itu Si Kakek, menyanyikan lebih banyak lagu lagi. Ada lagu lawas, ada pula lagu baru. Sebut saja lagu-lagu itu macam lagu Kolam Susu milik Koes Plus. Lantas juga Oemar Bakrie milik Iwan Fals. Tak pula ketinggalan beberapa lagu dangdut.

Si Kakek selesai bernyanyi, dan saya mendengat banyak orang yang berkomentar tentang penampilan kakek barusan. Orang-orang terlihat sangat mengapresiasi. Saya masih tak bisa berekspresi apa-apa karena saya sama sekali tak menikmati lagunya. Saya jadi kata Sujiwo Tejo, “Kalau ada pengamen nyanyi dan kamu menikmati lagunya, maka kamu wajib memberinya uang.”

Ketika si kakek sudah ada di depan saya dengan tangan mengatung, saya langsung reflek memberinya sejumlah uang receh. Kakek terlihat senang.

Jangan heran dengan apa yang saya lakukan. Saya memang tak menikmati lagu dari kakek itu, jadi saya tak bisa mengapresiasi apa-apa. Tapi saya sangat mengapresiasi perjuangan kakek yang sedang bekerja untuk sesuap nasi. Kakek itu lebih memilih mengamen meski suaranya parah tinimbang mengemis. Kakek itu rela memetik gitar meski tak merdu tinimbang mengatungkan tangan.

Oke, ngomong-ngomong, saya belum makan malam. Dalam otak saya, sampai Bangil lantas makan nasi jagung dengan lauk peyek akan sangat enak.

“Oh kemana… kemana… kemana….” Ke manakah kau iwak peyek sego jagung? Saya lapar.

Ambulu, 15 Agustus 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar