Dalam
sebulan terakhir ini saya sering pergi ke Surabaya. Ya, semenjak saya
dinyatakan diterima di Universitas Airlangga, saya jadi sering mengunjungi Ibu
Kota Jawa Timur ini. Nah, dari sekian banyak perjalanan itu, tak ada satu pun
perjalanan yang saya tiwikramakan ke
dalam sebuah tulisan. Kalau soal berperjalanan, sejak usai UN 2012, saya sering
pergi ke sana ke mari. Ketika dalam perjalanan ide-ide bermunculan dan saya
berniat untuk menuliskannya. Tapi ketika berada di depan laptop, saya blank.
Dari
sekian banyak perjalanan yang saya lakukan, ada satu yang membuat saya masih
merasa berkesan. Saat itu saya sedang dalam perjalanan dari Surabaya menuju
Bangil. Di Bangil saya nantinya hendak menginap di rumah budhe.
Saya
cabut dari kampus ba’dha maghrib. Angkot membawa saya menuju terminal Joyoboyo.
Sampai di Joyoboyo, bus kota yang biasanya membawa penumpang menuju Bungur
Asih, sudah tidak ada. Terpaksa saya menumpang di angkot dengan tujuan Gempol.
Ini baru pertama kalinya saya naik kendaraan umum di kotanya Bonekmania. Jadi
saya belum begitu paham. Saya yang awam Surabaya ini pun tersesat. Seharusnya
saya berhenti di Bungur Asih, eh malah ikut terus ke Gempol. Ya akhirnya saya
ikut ke Gempol, baru saya naik bus dari situ menuju Bangil. Saya berhenti di
Gempol ketika jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Dari
Gempol saya naik bus dengan tujuan akhir Banyuwangi. Penumpang cukup ramai.
Karena jarak perjalanan saya pendek, saya memilih duduk di dekat pintu, berada
di sebelah kiri Pak Sopir. Ketika baru saja duduk, saya terkejut di dalam bus
ada seorang kakek berusia sekira 70 tahun sedang memegang sebuah gitar.
“Ke
mana… ke mana….” Nyanyi Si Kakek melantunkan lagu Ayu Ting-Ting. Suaranya
sangat parah. Usia yang tak lagi muda jelas menjadi faktornya. Saya amat tak
menikmati lagu ini.
“Begadang
jangan begadang, kalau tiada artinya…” kali ini lagu dari Bang Haji Rhoma Irama yang beliau
nyanyikan. Lagi-lagi dengan suaranya parah.
“Iwak
peyek…. Iwak peyek… Iwak peyek sego jagung….”
Suaranya makin parah. Semakin terlihat parah ketika beliau menekan pada suku kata ‘yek’ jadi panjang sekali dan menghentikan kata ‘yek’ dengan menganggukkan kepala. Saya sangat tak menikmati. Saya mendengar banyak orang tertawa mendengar kakek ini bernyanyi. Wuih, keren juga ya, menyanyi tapi diapresiasi tertawa. Saya yang tak menikmati lagu, tak bisa berekspresi apa-apa.
Suaranya makin parah. Semakin terlihat parah ketika beliau menekan pada suku kata ‘yek’ jadi panjang sekali dan menghentikan kata ‘yek’ dengan menganggukkan kepala. Saya sangat tak menikmati. Saya mendengar banyak orang tertawa mendengar kakek ini bernyanyi. Wuih, keren juga ya, menyanyi tapi diapresiasi tertawa. Saya yang tak menikmati lagu, tak bisa berekspresi apa-apa.
Setelah
itu Si Kakek, menyanyikan lebih banyak lagu lagi. Ada lagu lawas, ada pula lagu
baru. Sebut saja lagu-lagu itu macam lagu Kolam Susu milik Koes Plus. Lantas
juga Oemar Bakrie milik Iwan Fals. Tak pula ketinggalan beberapa lagu dangdut.
Si
Kakek selesai bernyanyi, dan saya mendengat banyak orang yang berkomentar
tentang penampilan kakek barusan. Orang-orang terlihat sangat mengapresiasi. Saya
masih tak bisa berekspresi apa-apa karena saya sama sekali tak menikmati
lagunya. Saya jadi kata Sujiwo Tejo, “Kalau ada pengamen nyanyi dan kamu
menikmati lagunya, maka kamu wajib memberinya uang.”
Ketika
si kakek sudah ada di depan saya dengan tangan mengatung, saya langsung reflek
memberinya sejumlah uang receh. Kakek terlihat senang.
Jangan
heran dengan apa yang saya lakukan. Saya memang tak menikmati lagu dari kakek
itu, jadi saya tak bisa mengapresiasi apa-apa. Tapi saya sangat mengapresiasi
perjuangan kakek yang sedang bekerja untuk sesuap nasi. Kakek itu lebih memilih
mengamen meski suaranya parah tinimbang
mengemis. Kakek itu rela memetik gitar meski tak merdu tinimbang mengatungkan tangan.
Oke,
ngomong-ngomong, saya belum makan malam. Dalam otak saya, sampai Bangil lantas
makan nasi jagung dengan lauk peyek akan sangat enak.
“Oh
kemana… kemana… kemana….” Ke manakah kau iwak
peyek sego jagung? Saya lapar.
Ambulu,
15 Agustus 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar