Rabu, 20 November 2013

Hujan Deras


Udara dingin langsung menampar saya, ketika saya membuka pintu depan rumah. Hujan turun dengan amat deras. Saya khawatir pada Doni, kekasih saya, yang dalam perjalanan ke mari. Kali ini hujan turun dengan disertai angin yang luar biasa.
Ketika Doni main ke sini, hujan selalu turun. Saya sendiri heran mengapa demikian. Maka mau tidak mau, ketika hujan saya selalu ingat pada Doni.
“Tahukah kau, siapa orang yang paling tak berperasaan sedunia? Ia adalah orang jauh dengan kekasihnya saat hujan, tapi tak menghasilkan satu pun puisi,” ujar Doni suatu ketika.*
Hujan membuat saya amat rindu pada Doni. Di telinga saya terngiang lagu Hujan Deras yang merupakan lagu kesukaan Doni.
Udan deres wor tinretes waspa
Pangrantese tangis ngeleb pipiku
Guntur gumbludug muntabke kilat
Mangkilat-kilat kinclong pipiku**
Amat jelas di telinga saya. Bahkan nyanyian itu juga diiringi dengan suara saksofon, gamelan dan violin. Hujan semakin deras dan Doni belum juga datang.
Saya masuk kembali ke dalam dan menutup pintu. Jam dinding telah menunjukkan pukul delapan. Biasanya pukul tujuh Doni sudah sampai di sini. Saya jadi semakin khawatir. Saya meraih handphone, dan berusaha menelponnya. Nomornya tak aktif. Saya berusaha menenangkan diri. Saya masuk ke dalam kamar agar suasana hati saya sedikit tertata.
Wangi parfum ruangan membuat saya sedikit tenang. Saya melempar badan saya ke atas ranjang. Ya ampun, begitu nyaman. Ranjang ini tempat kesukaan saya. Saya amat senang bermain di atasnya. Seprei berwarna pink membuat saya semakin nyaman di atas.
Tiba-tiba bel berbunyi. Pasti itu Doni. Saya segera berlari ke depan. Hujan masih begitu deras. Saya buka pintu dan muncullah Doni yang basah kuyup dari ujung rambut hingga kaki.
“Tak ada orang di rumah?” tanyanya.
“Semua sedang di luar kota,” jawab saya.
“Oh,” jawabnya singkat. Ia melepas jaketnya.
Ia lantas duduk di sofa ruang tamu. Ia mengambil handuk yang ada di dekatnya dan menyeka air yang ada di sekujur tubuhnya. Saya pergi ke belakang untuk menyiapkan minum. Doni amat suka kopi hitam dengan sedikit gula. Saya mengaduknya 20 kali. Ya, kopi hitam dan adukannya harus 20 kali tak boleh kurang tak boleh lebih. Doni bisa tahu lho rasa kopinya berbeda kalau saya salah mengaduk, makanya saya selalu berusaha mengaduknya dengan pas.
Saya bawa kopi secangkir kopi ini ke depan. Doni tersenyum.
“Aku sedang tak ingin kopi,” ujarnya.
“Lantas kau mau apa?” tanya saya.
“Duduklah dulu di sampingku.”
Saya duduk di sampingnya. Ia membelai rambut panjang saya. Saya senang ia membelainya. Saya merasakan kasih sayang yang luar biasa yang ia berikan pada saya.
“Aku ingin sesuatu yang hangat.” Ia terus membelai rambut saya.
“Kopi ini kan hangat. Panas pula,” balas saya.
“Main aja yuk,” ajaknya.
“Saya lagi dapet, Don,” jawab saya.
“Lama amat sih kamu dapet. Jangan alasan deh.”
“Sudahlah, Don. Istirahatlah dulu. Jangan marah begini.”
Ia menghela napas. “Aku ke sini untuk bermain denganmu, bukan untuk istirahat atau minum kopi. Lagi pula, kebetulan kan di rumah tak ada siapa-siapa.”
“Ah, kau ini. Sudah saya bilang.”
“Hajar saja.”
“Gila kau? Saya tak mau!” bentak saya.
Doni mengambil jaketnya kembali lantas berdiri. “Aku pulang saja.”
“Masih hujan, sayang. Kenapa buru-buru?” tanya saya. Saya ikut berdiri.
“Kau tak mau melayaniku.”
“Kau kira aku ini perek!”
Ia ke luar rumah. Hujan masih begitu derasnya. Angin mulai tertiup kencang. Pohon-pohon bergerak ke sana ke mari mengikuti arah angin. Saya merinding merasakan suasana ini. Namun Doni terus berjalan ke luar mengambil motornya dan langsung pergi tanpa pamit pada saya. Saya sempat melihatnya mengendarai motor dengan kencang. Saya kembali masuk ke dalam. Sesaat kemudian saya dengar suara pohon runtuh. Saya ke luar lagi. Saya melihat, di kejauhan Doni merintih kesakitan tertimpa pohon besar. Motornya hancur.
Saya masuk lagi ke dalam. Saya kunci semua pintu. Saya masuk ke dalam kamar. Lewat jendela saya melihat hujan masih turun dengan begitu deras. Saya menatap wajah-wajah mungil di antara hujan-hujan itu. Joni, Steven, Shella, Maya, Andreas, dan Edward adalah nama-nama janin yang tak sempat lahir ke dunia ini. Mereka tak sempat merasakan segarnya oksigen. Onggokan daging seperti mereka tak sempat merasakan nikmatnya ASI.
Tiba-tiba saya menitikkan air mata.
Hujan deras dengan air mata
Butir-butir tangisan di pipiku
Guntur menyambar dengan kilatnya
Berkilat-kilat kilau di pipiku***
Saya hanyut dalam nyanyi sunyi ini. Terlalu sunyi untuk suara hujan deras yang semakin kurang ajar dan disertai guntur.

*kalimat Sujiwo Tejo
**lirik lagu Hujan Deras karya Sujiwo Tejo versi Bahasa Jawa
***lirik lagu Hujan Deras karya Sujiwo Tejo versi Bahasa Indonesia

Jember, 30 Mei 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar