Udara
dingin langsung menampar saya, ketika saya membuka pintu depan rumah. Hujan
turun dengan amat deras. Saya khawatir pada Doni, kekasih saya, yang dalam
perjalanan ke mari. Kali ini hujan turun dengan disertai angin yang luar biasa.
Ketika
Doni main ke sini, hujan selalu turun. Saya sendiri heran mengapa demikian.
Maka mau tidak mau, ketika hujan saya selalu ingat pada Doni.
“Tahukah
kau, siapa orang yang paling tak berperasaan sedunia? Ia adalah orang jauh
dengan kekasihnya saat hujan, tapi tak menghasilkan satu pun puisi,” ujar Doni
suatu ketika.*
Hujan
membuat saya amat rindu pada Doni. Di telinga saya terngiang lagu Hujan Deras
yang merupakan lagu kesukaan Doni.
Udan deres wor tinretes waspa
Pangrantese tangis ngeleb pipiku
Guntur gumbludug muntabke kilat
Mangkilat-kilat kinclong pipiku**
Amat
jelas di telinga saya. Bahkan nyanyian itu juga diiringi dengan suara saksofon,
gamelan dan violin. Hujan semakin deras dan Doni belum juga datang.
Saya
masuk kembali ke dalam dan menutup pintu. Jam dinding telah menunjukkan pukul
delapan. Biasanya pukul tujuh Doni sudah sampai di sini. Saya jadi semakin
khawatir. Saya meraih handphone, dan berusaha menelponnya. Nomornya tak aktif.
Saya berusaha menenangkan diri. Saya masuk ke dalam kamar agar suasana hati
saya sedikit tertata.
Wangi
parfum ruangan membuat saya sedikit tenang. Saya melempar badan saya ke atas
ranjang. Ya ampun, begitu nyaman. Ranjang ini tempat kesukaan saya. Saya amat
senang bermain di atasnya. Seprei berwarna pink membuat saya semakin nyaman di
atas.
Tiba-tiba
bel berbunyi. Pasti itu Doni. Saya segera berlari ke depan. Hujan masih begitu
deras. Saya buka pintu dan muncullah Doni yang basah kuyup dari ujung rambut
hingga kaki.
“Tak
ada orang di rumah?” tanyanya.
“Semua
sedang di luar kota,” jawab saya.
“Oh,”
jawabnya singkat. Ia melepas jaketnya.
Ia
lantas duduk di sofa ruang tamu. Ia mengambil handuk yang ada di dekatnya dan
menyeka air yang ada di sekujur tubuhnya. Saya pergi ke belakang untuk
menyiapkan minum. Doni amat suka kopi hitam dengan sedikit gula. Saya
mengaduknya 20 kali. Ya, kopi hitam dan adukannya harus 20 kali tak boleh
kurang tak boleh lebih. Doni bisa tahu lho rasa kopinya berbeda kalau saya
salah mengaduk, makanya saya selalu berusaha mengaduknya dengan pas.
Saya
bawa kopi secangkir kopi ini ke depan. Doni tersenyum.
“Aku
sedang tak ingin kopi,” ujarnya.
“Lantas
kau mau apa?” tanya saya.
“Duduklah
dulu di sampingku.”
Saya
duduk di sampingnya. Ia membelai rambut panjang saya. Saya senang ia
membelainya. Saya merasakan kasih sayang yang luar biasa yang ia berikan pada
saya.
“Aku
ingin sesuatu yang hangat.” Ia terus membelai rambut saya.
“Kopi
ini kan hangat. Panas pula,” balas saya.
“Main
aja yuk,” ajaknya.
“Saya
lagi dapet, Don,” jawab saya.
“Lama
amat sih kamu dapet. Jangan alasan deh.”
“Sudahlah,
Don. Istirahatlah dulu. Jangan marah begini.”
Ia
menghela napas. “Aku ke sini untuk bermain denganmu, bukan untuk istirahat atau
minum kopi. Lagi pula, kebetulan kan di rumah tak ada siapa-siapa.”
“Ah,
kau ini. Sudah saya bilang.”
“Hajar
saja.”
“Gila
kau? Saya tak mau!” bentak saya.
Doni
mengambil jaketnya kembali lantas berdiri. “Aku pulang saja.”
“Masih
hujan, sayang. Kenapa buru-buru?” tanya saya. Saya ikut berdiri.
“Kau
tak mau melayaniku.”
“Kau
kira aku ini perek!”
Ia
ke luar rumah. Hujan masih begitu derasnya. Angin mulai tertiup kencang.
Pohon-pohon bergerak ke sana ke mari mengikuti arah angin. Saya merinding
merasakan suasana ini. Namun Doni terus berjalan ke luar mengambil motornya dan
langsung pergi tanpa pamit pada saya. Saya sempat melihatnya mengendarai motor
dengan kencang. Saya kembali masuk ke dalam. Sesaat kemudian saya dengar suara
pohon runtuh. Saya ke luar lagi. Saya melihat, di kejauhan Doni merintih
kesakitan tertimpa pohon besar. Motornya hancur.
Saya
masuk lagi ke dalam. Saya kunci semua pintu. Saya masuk ke dalam kamar. Lewat
jendela saya melihat hujan masih turun dengan begitu deras. Saya menatap
wajah-wajah mungil di antara hujan-hujan itu. Joni, Steven, Shella, Maya,
Andreas, dan Edward adalah nama-nama janin yang tak sempat lahir ke dunia ini.
Mereka tak sempat merasakan segarnya oksigen. Onggokan daging seperti mereka
tak sempat merasakan nikmatnya ASI.
Tiba-tiba
saya menitikkan air mata.
Hujan deras dengan air mata
Butir-butir tangisan di pipiku
Guntur menyambar dengan kilatnya
Berkilat-kilat kilau di pipiku***
Saya
hanyut dalam nyanyi sunyi ini. Terlalu sunyi untuk suara hujan deras yang
semakin kurang ajar dan disertai guntur.
*kalimat
Sujiwo Tejo
**lirik
lagu Hujan Deras karya Sujiwo Tejo versi Bahasa Jawa
***lirik
lagu Hujan Deras karya Sujiwo Tejo versi Bahasa Indonesia
Jember,
30 Mei 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar