Ilustrasi Pancasila |
Pagi ini upacara bendera seharusnya
berjalan seperti biasanya. Ini masih seperti biasanya kendati terik matahari
begitu menyengat kulit kami. Hembusan angin cukup menyegarkan tapi tak
menyelamatkan kami dari kejenuhan. Kejenuhan yang terus terpelihara karena upacara
bendera tak merasuk ke dalam hati.
Guru-guru terlihat tak memiliki
semangat untuk melaksanakan upacara. Beberapa memasang senyum merana atau
bahkan ada pula yang tidak sudi bibirnya dikunjungi oleh senyuman. Seperti
biasa, dengan sangat sempurna, setali tiga uang para siswa bermuka tegang
seolah dahi mereka dicium moncong senapan.
Seperti biasa, Kepala Sekolah
menjadi pembina upacara pagi ini. Seperti biasa pula, sebelum memberi amanat,
pembina upacara akan membacakan Pancasila.
Seorang siswa petugas pembawa
teks Pancasila dengan takzim menyerahkan map berisi teks yang sedari tadi ada
di tangannya. Kepala Sekolah mulai membacakan teks dalam map yang sudah
dipegangnya dan diikuti oleh seluruh peserta upacara. Di sinilah ketidakbiasaan
itu bermula.
“Pancasila,” baca Kepala Sekolah.
“Pancasila,” tiru peserta upacara
secara serentak dan riuh.
“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Seterusnya kami membaca bersama
sampai sila kedua, ketiga, dan keempat.
“Empat. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
“Empat. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
“Lima,” lanjut Kepala Sekolah.
“Lima,” tiru peserta upacara,
hanya beberapa.
Kepala Sekolah terdiam. Semua peserta
upacara pun turut. Kepala Sekolah masih belum menyebutkan sila kelima. Aku sendiri
jadi kikuk hendak berbuat apa. Kepala Sekolah masih terdiam. Siswa mulai heboh
karena yang ditunggu tak kunjung datang. Guru Sejarah berbisik kepadaku.
“Jangan sampai Pak Kepala Sekolah
tiba-tiba pingsan. Dekati dia. Kalau dia diam lantas roboh, kita hendak apa?
Kita sudah lelah.”
Kepala sekolah mengambil kertas
teks dalam map. Ia membolak-balik kertas itu. Kini ia malah mulai menimangnya,
menerawangnya, dan merabanya. Belum puas, ia pun memelototinya sampai bola
matanya hendak mencelat.
“Apa mungkin Kepala Sekolah sudah
tidak waras?” bisik Guru Sejarah lagi.
Aku masih mengamati apa yang
dilakukan oleh Kepala Sekolah. Ia meletakkan kembali teks Pancasila ke dalam
map. Ia menundukkan kepala. Sepertinya ia berharap menemukan sesuatu di dekat
kakinya. Sayang, tak ada yang lain selain sepatunya yang mengkilat tengah
dihinggapi katak.
“Ke mana perginya sila kelima
ini?!” bentak Kepala Sekolah tiba-tiba.
Kami semua terkejut. Guru-guru
berbisik saling bertanya ke mana perginya sila kelima. Siswa-siswi pun demikian.
Katak di sepatu Kepala Sekolah pergi ketakutan.
“Tolong beritahu saya! Ke mana
perginya sila kelima?!” teriak Kepala Sekolah lagi. Ia pandangi seluruh
siswa-siswi yang sedang berbaris di depannya. Beberapa mencibir. Ada yang
menegok langit, siapa tahu sila kelima dibawa terbang oleh garuda. Menengok ke
bawah, tapi mereka tahu, rumput pagi yang biasanya basah itu sepertinya tak
dapat menolong mereka, bahkan katak yang biasanya senang di sana.
Guru Sejarah menyenggolku. “Apa
mungkin teks di dalam map itu kosong?”
“Tidak mungkin. Aku sudah
menyiapkannya dengan baik tadi pagi,” jawabku.
“Sudahlah. Beritahu dia. Mungkin
dia lupa,” ujarnya lagi.
Aku ragu untuk menghampiri Kepala
Sekolah. Aku keberatan jika sepatuku dihinggapi katak juga. Tetapi Kepala Sekolah
sudah memutuskan terlebih dahulu. Ia tutup kembali map itu dan memanggil
petugas pembawa teks. Siswa-siswi pun mulai meneriaki Kepala Sekolah. Pekik
makian menghujani rumput yang kering kerontang.
“Jadi Pancasila hanya ada empat,
Pak?! Seharusnya bacakan Catursila tadi!” teriak seorang siswa.
Tanpa menghiraukan peserta
upacara yang mulai ricuh, Kepala Sekolah memberi kode untuk meneruskan upacara
ke urutan acara selanjutnya, amanat pembina upacara.
Pemimpin upacara pun memberi
perintah untuk istirahat di tempat. Kepala Sekolah mulai membuka mulutnya untuk
berbicara. Siswa-siswi mulai terkendali. Kami siap mendengar kalimat yang
hendak keluar dari ujung bibir Kepala Sekolah yang kini berkilau.
“Amanat upacara pagi hari tidak
usah panjang lebar. Saya minta kepada seluruh peserta upacara untuk membantu
saya mencari sila kelima yang telah raib baru saja. Terima kasih.”
Peserta upacara semakin kacau.
Cemoohan membantu matahari memanaskan semua peserta upacara. Kepala Sekolah
meminta upacara bendera segera dibubarkan. Seluruh peserta upacara membubarkan
barisan dengan diliputi kegelisahan. Pagi ini, sekolah telah digemparkan oleh
raibnya sila kelima. Siswa-siswi menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Kini aku akan
dimintai pertanggungjawaban.
“Sini kau,” panggil Kepala
Sekolah. Aku pun menghampirinya.
“Maaf, Pak,” ucapku.
“Kita selesaikan ini di
ruanganku,” kata Kepala Sekolah lagi.
Kepala Sekolah berjalan menuju
ruangannya dengan begitu cepat. Aku bagai sapi yang hendak dijagal mengekornya
dari belakang dengan dirundung kecemasan. Sebaiknya aku meronta atau minta dijagal
bersama.
“Duduk kau!” perintah Kepala
Sekolah. “Bagaimana kau ini? Bisa-bisanya, sila kelima tak tertuang dalam teks.
Selama 20 tahun aku menjadi Kepala Sekolah, belum pernah terjadi insiden macam
begini.”
“Semua sudah saya siapkan dengan
baik, Pak.”
“Coba kau tengok sendiri teks
Pancasila ini!”
Aku pun memeriksa teks itu.
Benar, hanya ada empat butir sila di sana. Sila kelima tak ada. Aku benar-benar
tak tahu ke mana ia pergi.
“Tadi pagi ada lima, Pak.
Sungguh,” belaku.
“Buktinya, kini ia raib,” ujarnya.
Aku diam lantaran belum menemukan
kalimat macam apa yang harus keluar dari mulutku. Aku mencoba merangkai
kata-kata. “Tapi, Bapak kan bisa saja membaca meski tanpa teks. Tak perlulah
repot jika sila kelima memang raib.”
“Heh! Kau pikir apa gunanya ada
petugas pembawa teks Pancasila jika ternyata isi teksnya tak lengkap?!”
“Saya pikir sebagai formalitas
saja, Pak,” balasku.
“Formalitas katamu? Jangan kau
pikir aku ini dewa. Aku juga manusia biasa yang punya kesalahan,” ujar Kepala
Sekolah. “Coba tolong beritahu aku bagaimana biasanya sila kelima hadir.”
Aku kebingungan hendak menjawab
apa. Kucoba untuk mencari jawaban yang tak memalukan. Aku mencoba mengingat-ingat
bagaimana biasanya aku bertemu dengan sila kelima. Tapi rasanya aku juga
manusia biasa. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
“Ah, kau malah bepikir keras. Jangan
bilang kau tak pernah menjumpainya. Seharusnya kau akrab dengannya,” katanya.
Ia mengelap dahinya yang tak berkeringat. Ia memandangiku dengan seksama. “Sudahlah.
Kau bantu mereka untuk mencari sila kelima. Dia tidak akan pergi jauh. Aku
masih ingin Pancasila ada lima,” perintahnya.
Aku pun keluar dari ruangannya.
Kulihat seluruh warga sekolah sibuk mencari sila kelima. Ini benar-benar
masalah genting. Tak mungkin kami membiarkan Pancasila tidak lima.
Dua orang siswa menghampiriku.
Kuharap mereka berhasil menemukannya.
“Bagaimana sudah ketemu?”
tanyaku.
“Itu dia, Pak. Kami sama sekali
tak tahu ada di mana dia berada.”
“Kita cari sampai ketemu. Kalau
tidak, Pancasila akan berubah jadi Catursila. Ayo!” ajakku.
“Sebentar, Pak,” seorang siswa
mencegahku yang sudah hendak menyisir rumput. “Untuk apa Bapak cari sila kelima
di antara rumput itu? Bapak kan Guru Kewarganegaraan.”
Aku sudah siap dengan pertanyaan
dan pernyataannya ini. “Sudah kau tanyakan pada Guru Sejarah?” tanyaku.
“Guru Sejarah sudah mencarinya di
perpustakaan, tapi tak ada. Dan memang tak ada satu pun guru yang tahu ia di
mana, Pak,” jawabnya.
Ini benar-benar masalah penting. Sila
kelima raib begitu saja. Jika semua orang tak tahu sila kelima di mana, maka
Catursila pun sepertinya akan benar-benar menjadi solusi seluruh warga sekolah.
Tak nampak setitik pun di mana
sila kelima berada. Di kantin, tak ada. Di toilet, tak ada. Di pos satpam, tak
ada. Bahkan di ruang guru pun tak ada pula. Seluruh penjuru sekolah, ruang
kelas, ruang kesenian, ruang guru, laboratorium, dan semuanya tak menjadi
tempat persembunyian sila kelima. Namun, aku baru ingat ada satu ruangan yang
belum kami periksa.
“Ruang kepala sekolah sepertinya
belum diperiksa,” kata Guru Sejarah.
Aku meminta kepada seluruh siswa-siswi
dan guru untuk kembali ke ruang kelas untuk melakukan kegiatan belajar seperti
biasa. Kini aku bersama Guru Sejarah menuju ruang Kepala Sekolah yang mungkin
memang menjadi tempat persembunyian sila kelima.
“Bagaimana? Sudah ketemu di mana
ia meringkuk?” tanya Kepala Sekolah.
“Hanya ruangan Bapak yang belum
kami periksa. Siapa tahu ia tengah tersiksa di sini,” kataku.
“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin
ada di sini,” ucap Kepala Sekolah.
“Bahkan Bapak tidak rela dia ada
di sini?” tanya Guru Sejarah.
Kepala sekolah mengambil poster
Pancasila yang tertempel di dinding. Ia memberinya kepada Guru Sejarah.
“Coba kalian tengok sendiri.
Bahkan di sini pun hanya ada empat sila. Katakan padaku jika di situ ada,” kata
Kepala Sekolah.
Aku merebutnya dari Guru Sejarah.
Benar. Sila kelima tak ada. Aku memandangi seluruh isi ruangan. Sepertinya dia
memang tak di sini.
“Bapak yakin tidak menyembunyikan
sila kelima di dalam laci? Atau di saku celana Bapak mungkin?” tanyaku untuk
memastikan.
Tiba-tiba ponsel Kepala Sekolah
berbunyi. Ada telepon masuk. Ia meraih ponsel yang ada di saku celananya dan menerima
panggilan itu. Tak sepatah kata pun terucap. Aku dan Guru Sejarah saling
berpandangan.
“Baru saja sila kelima telepon.
Dia bilang, jika kita ingin menemukannya, kita harus dengar dulu berita pagi
ini,” kata Kepala Sekolah.
Ia pun menyalakan televisi yang
ada di mejanya. Berita menyiarkan seorang ketua DPR yang mengundurkan diri
karena kasus pencatutan nama presiden. Berikutnya, seorang hakim membuat
pernyataan konyol dalam memutuskan perkara kebakaran hutan.
“Apa maksudnya?” tanya Guru Sejarah.
“Tidak mungkin hanya itu,”
kataku.
“Maksudnya?” tanya Guru Sejarah
lagi.
“Tidak hanya dua berita itu. Mungkin
kita harus melihat ada petani dibunuh, sawah disulap jadi pabrik. Buruh dipaksa
menjadi bahan cemoohan. Penguasa di sana pun juga sedang gemar bertikai. Harga
BBM turun, tapi kelangkaan di mana-mana. Semua itu juga dibumbui oleh drama drop-out seorang ketua BEM sebuah
universitas oleh rektornya. Masih banyak lagi,” jawabku.
“Ya. Aku tahu bahwa kita memiliki
kisah pilu di masa silam. Penguasa tak hanya gemar bertikai, tapi mereka
sendiri pun kerap menciptakan sejarah palsu. Kasus pembantaian massal masih ditutupi.
Mereka itu membalikkan fakta. Pembunuh dipuji, korban dicaci,” ujar Guru
Sejarah. “Jadi karena itu sila kelima pergi? Wajar saja ia merajuk.”
“Aku pikir, sila kelima memang
sengaja dipergikan. Kalau ia merajuk, tak mungkin ia menelponku barusan. Ia
masih berharap untuk ditemukan,” jawab Kepala Sekolah. Aku memandangi Kepala
Sekolah. Ia terlihat cemas.
“Bapak yakin yang telepon tadi itu sila
kelima?”
“Apa ada orang yang berani
membajak sila kelima?” jawab Kepala Sekolah dengan pertanyaan. Sepertinya ia
mulai gelisah.
“Orang di berita tadi berpotensi
untuk melakukannya, Pak,” balas Guru Sejarah.
Televisi pun berubah berita. Kini
ia mewartakan bahwa presiden kehilangan sila kelima. Berita semakin heboh
karena seluruh negeri ternyata kehilangan sila kelima. Semua warga negara
Indonesia pun diwajibkan untuk mencari sila kelima.
“Ah, sudahlah. Kita sudah
melakukannya bahkan sebelum diperintah oleh Presiden. Dia sendiri harus
menemukannya. Setidaknya kita merasa lega karena ternyata bukan hanya kita yang
kehilangan. Kita tunggu saja pengumuman Catursila,” kata Kepala Sekolah terlihat
mulai tenang.
“Bahkan Catursila rasanya tak
pantas, Pak,” sahutku padanya.
Aku dan Guru Sejarah pun keluar
dari ruang Kepala Sekolah tanpa berhasil menemukan sila kelima. Mungkin ia
memang pergi karena selama ini tak dihiraukan.
Kuharap sila kelima segera
ditemukan dan seluruh negeri masih sempat dihampiri dan bercengkrama dengannya.
Tapi, apakah mungkin sila kelima tadi terjatuh dan digondol pergi oleh katak
yang menghinggapi sepatu Kepala Sekolah tadi? Atau garuda yang telah
menerbangkannya sebelum dicuri orang? Aku lebih curiga ada yang lebih dulu
mencurinya untuk dimiliki secara pribadi atau kelompoknya. Mungkin aku tidak
menyadari bahwa sebenarnya ketidakbiasaan ini sebenarnya sudah menjadi
kebiasaan.
Surabaya, 9 Januari
2016
hahahahaahahaha
BalasHapusTerima kasih sudah mampir
Hapus