Sabtu, 09 Januari 2016

Raibnya Sila Kelima

Ilustrasi Pancasila
Pagi ini upacara bendera seharusnya berjalan seperti biasanya. Ini masih seperti biasanya kendati terik matahari begitu menyengat kulit kami. Hembusan angin cukup menyegarkan tapi tak menyelamatkan kami dari kejenuhan. Kejenuhan yang terus terpelihara karena upacara bendera tak merasuk ke dalam hati.

Guru-guru terlihat tak memiliki semangat untuk melaksanakan upacara. Beberapa memasang senyum merana atau bahkan ada pula yang tidak sudi bibirnya dikunjungi oleh senyuman. Seperti biasa, dengan sangat sempurna, setali tiga uang para siswa bermuka tegang seolah dahi mereka dicium moncong senapan.

Seperti biasa, Kepala Sekolah menjadi pembina upacara pagi ini. Seperti biasa pula, sebelum memberi amanat, pembina upacara akan membacakan Pancasila.

Seorang siswa petugas pembawa teks Pancasila dengan takzim menyerahkan map berisi teks yang sedari tadi ada di tangannya. Kepala Sekolah mulai membacakan teks dalam map yang sudah dipegangnya dan diikuti oleh seluruh peserta upacara. Di sinilah ketidakbiasaan itu bermula.

“Pancasila,” baca Kepala Sekolah.

“Pancasila,” tiru peserta upacara secara serentak dan riuh.

“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”

“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Seterusnya kami membaca bersama sampai sila kedua, ketiga, dan keempat.

“Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

“Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

“Lima,” lanjut Kepala Sekolah.

“Lima,” tiru peserta upacara, hanya beberapa.

Kepala Sekolah terdiam. Semua peserta upacara pun turut. Kepala Sekolah masih belum menyebutkan sila kelima. Aku sendiri jadi kikuk hendak berbuat apa. Kepala Sekolah masih terdiam. Siswa mulai heboh karena yang ditunggu tak kunjung datang. Guru Sejarah berbisik kepadaku.

“Jangan sampai Pak Kepala Sekolah tiba-tiba pingsan. Dekati dia. Kalau dia diam lantas roboh, kita hendak apa? Kita sudah lelah.”

Kepala sekolah mengambil kertas teks dalam map. Ia membolak-balik kertas itu. Kini ia malah mulai menimangnya, menerawangnya, dan merabanya. Belum puas, ia pun memelototinya sampai bola matanya hendak mencelat.

“Apa mungkin Kepala Sekolah sudah tidak waras?” bisik Guru Sejarah lagi.

Aku masih mengamati apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah. Ia meletakkan kembali teks Pancasila ke dalam map. Ia menundukkan kepala. Sepertinya ia berharap menemukan sesuatu di dekat kakinya. Sayang, tak ada yang lain selain sepatunya yang mengkilat tengah dihinggapi katak.

“Ke mana perginya sila kelima ini?!” bentak Kepala Sekolah tiba-tiba.

Kami semua terkejut. Guru-guru berbisik saling bertanya ke mana perginya sila kelima. Siswa-siswi pun demikian. Katak di sepatu Kepala Sekolah pergi ketakutan.

“Tolong beritahu saya! Ke mana perginya sila kelima?!” teriak Kepala Sekolah lagi. Ia pandangi seluruh siswa-siswi yang sedang berbaris di depannya. Beberapa mencibir. Ada yang menegok langit, siapa tahu sila kelima dibawa terbang oleh garuda. Menengok ke bawah, tapi mereka tahu, rumput pagi yang biasanya basah itu sepertinya tak dapat menolong mereka, bahkan katak yang biasanya senang di sana.

Guru Sejarah menyenggolku. “Apa mungkin teks di dalam map itu kosong?”

“Tidak mungkin. Aku sudah menyiapkannya dengan baik tadi pagi,” jawabku.

“Sudahlah. Beritahu dia. Mungkin dia lupa,” ujarnya lagi.

Aku ragu untuk menghampiri Kepala Sekolah. Aku keberatan jika sepatuku dihinggapi katak juga. Tetapi Kepala Sekolah sudah memutuskan terlebih dahulu. Ia tutup kembali map itu dan memanggil petugas pembawa teks. Siswa-siswi pun mulai meneriaki Kepala Sekolah. Pekik makian menghujani rumput yang kering kerontang.

“Jadi Pancasila hanya ada empat, Pak?! Seharusnya bacakan Catursila tadi!” teriak seorang siswa.

Tanpa menghiraukan peserta upacara yang mulai ricuh, Kepala Sekolah memberi kode untuk meneruskan upacara ke urutan acara selanjutnya, amanat pembina upacara.

Pemimpin upacara pun memberi perintah untuk istirahat di tempat. Kepala Sekolah mulai membuka mulutnya untuk berbicara. Siswa-siswi mulai terkendali. Kami siap mendengar kalimat yang hendak keluar dari ujung bibir Kepala Sekolah yang kini berkilau.

“Amanat upacara pagi hari tidak usah panjang lebar. Saya minta kepada seluruh peserta upacara untuk membantu saya mencari sila kelima yang telah raib baru saja. Terima kasih.”

Peserta upacara semakin kacau. Cemoohan membantu matahari memanaskan semua peserta upacara. Kepala Sekolah meminta upacara bendera segera dibubarkan. Seluruh peserta upacara membubarkan barisan dengan diliputi kegelisahan. Pagi ini, sekolah telah digemparkan oleh raibnya sila kelima. Siswa-siswi menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Kini aku akan dimintai pertanggungjawaban.

“Sini kau,” panggil Kepala Sekolah. Aku pun menghampirinya.

“Maaf, Pak,” ucapku.

“Kita selesaikan ini di ruanganku,” kata Kepala Sekolah lagi.

Kepala Sekolah berjalan menuju ruangannya dengan begitu cepat. Aku bagai sapi yang hendak dijagal mengekornya dari belakang dengan dirundung kecemasan. Sebaiknya aku meronta atau minta dijagal bersama.

“Duduk kau!” perintah Kepala Sekolah. “Bagaimana kau ini? Bisa-bisanya, sila kelima tak tertuang dalam teks. Selama 20 tahun aku menjadi Kepala Sekolah, belum pernah terjadi insiden macam begini.”

“Semua sudah saya siapkan dengan baik, Pak.”

“Coba kau tengok sendiri teks Pancasila ini!”

Aku pun memeriksa teks itu. Benar, hanya ada empat butir sila di sana. Sila kelima tak ada. Aku benar-benar tak tahu ke mana ia pergi.

“Tadi pagi ada lima, Pak. Sungguh,” belaku.

“Buktinya, kini ia raib,” ujarnya.

Aku diam lantaran belum menemukan kalimat macam apa yang harus keluar dari mulutku. Aku mencoba merangkai kata-kata. “Tapi, Bapak kan bisa saja membaca meski tanpa teks. Tak perlulah repot jika sila kelima memang raib.”

“Heh! Kau pikir apa gunanya ada petugas pembawa teks Pancasila jika ternyata isi teksnya tak lengkap?!”

“Saya pikir sebagai formalitas saja, Pak,” balasku.

“Formalitas katamu? Jangan kau pikir aku ini dewa. Aku juga manusia biasa yang punya kesalahan,” ujar Kepala Sekolah. “Coba tolong beritahu aku bagaimana biasanya sila kelima hadir.”

Aku kebingungan hendak menjawab apa. Kucoba untuk mencari jawaban yang tak memalukan. Aku mencoba mengingat-ingat bagaimana biasanya aku bertemu dengan sila kelima. Tapi rasanya aku juga manusia biasa. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

“Ah, kau malah bepikir keras. Jangan bilang kau tak pernah menjumpainya. Seharusnya kau akrab dengannya,” katanya. Ia mengelap dahinya yang tak berkeringat. Ia memandangiku dengan seksama. “Sudahlah. Kau bantu mereka untuk mencari sila kelima. Dia tidak akan pergi jauh. Aku masih ingin Pancasila ada lima,” perintahnya.

Aku pun keluar dari ruangannya. Kulihat seluruh warga sekolah sibuk mencari sila kelima. Ini benar-benar masalah genting. Tak mungkin kami membiarkan Pancasila tidak lima.

Dua orang siswa menghampiriku. Kuharap mereka berhasil menemukannya.

“Bagaimana sudah ketemu?” tanyaku.

“Itu dia, Pak. Kami sama sekali tak tahu ada di mana dia berada.”

“Kita cari sampai ketemu. Kalau tidak, Pancasila akan berubah jadi Catursila. Ayo!” ajakku.

“Sebentar, Pak,” seorang siswa mencegahku yang sudah hendak menyisir rumput. “Untuk apa Bapak cari sila kelima di antara rumput itu? Bapak kan Guru Kewarganegaraan.”

Aku sudah siap dengan pertanyaan dan pernyataannya ini. “Sudah kau tanyakan pada Guru Sejarah?” tanyaku.

“Guru Sejarah sudah mencarinya di perpustakaan, tapi tak ada. Dan memang tak ada satu pun guru yang tahu ia di mana, Pak,” jawabnya.

Ini benar-benar masalah penting. Sila kelima raib begitu saja. Jika semua orang tak tahu sila kelima di mana, maka Catursila pun sepertinya akan benar-benar menjadi solusi seluruh warga sekolah.

Tak nampak setitik pun di mana sila kelima berada. Di kantin, tak ada. Di toilet, tak ada. Di pos satpam, tak ada. Bahkan di ruang guru pun tak ada pula. Seluruh penjuru sekolah, ruang kelas, ruang kesenian, ruang guru, laboratorium, dan semuanya tak menjadi tempat persembunyian sila kelima. Namun, aku baru ingat ada satu ruangan yang belum kami periksa.

“Ruang kepala sekolah sepertinya belum diperiksa,” kata Guru Sejarah.

Aku meminta kepada seluruh siswa-siswi dan guru untuk kembali ke ruang kelas untuk melakukan kegiatan belajar seperti biasa. Kini aku bersama Guru Sejarah menuju ruang Kepala Sekolah yang mungkin memang menjadi tempat persembunyian sila kelima.

“Bagaimana? Sudah ketemu di mana ia meringkuk?” tanya Kepala Sekolah.

“Hanya ruangan Bapak yang belum kami periksa. Siapa tahu ia tengah tersiksa di sini,” kataku.

“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin ada di sini,” ucap Kepala Sekolah.

“Bahkan Bapak tidak rela dia ada di sini?” tanya Guru Sejarah.

Kepala sekolah mengambil poster Pancasila yang tertempel di dinding. Ia memberinya kepada Guru Sejarah.

“Coba kalian tengok sendiri. Bahkan di sini pun hanya ada empat sila. Katakan padaku jika di situ ada,” kata Kepala Sekolah.

Aku merebutnya dari Guru Sejarah. Benar. Sila kelima tak ada. Aku memandangi seluruh isi ruangan. Sepertinya dia memang tak di sini.

“Bapak yakin tidak menyembunyikan sila kelima di dalam laci? Atau di saku celana Bapak mungkin?” tanyaku untuk memastikan.

Tiba-tiba ponsel Kepala Sekolah berbunyi. Ada telepon masuk. Ia meraih ponsel yang ada di saku celananya dan menerima panggilan itu. Tak sepatah kata pun terucap. Aku dan Guru Sejarah saling berpandangan.

“Baru saja sila kelima telepon. Dia bilang, jika kita ingin menemukannya, kita harus dengar dulu berita pagi ini,” kata Kepala Sekolah.

Ia pun menyalakan televisi yang ada di mejanya. Berita menyiarkan seorang ketua DPR yang mengundurkan diri karena kasus pencatutan nama presiden. Berikutnya, seorang hakim membuat pernyataan konyol dalam memutuskan perkara kebakaran hutan.

“Apa maksudnya?” tanya Guru Sejarah.

“Tidak mungkin hanya itu,” kataku.

“Maksudnya?” tanya Guru Sejarah lagi.

“Tidak hanya dua berita itu. Mungkin kita harus melihat ada petani dibunuh, sawah disulap jadi pabrik. Buruh dipaksa menjadi bahan cemoohan. Penguasa di sana pun juga sedang gemar bertikai. Harga BBM turun, tapi kelangkaan di mana-mana. Semua itu juga dibumbui oleh drama drop-out seorang ketua BEM sebuah universitas oleh rektornya. Masih banyak lagi,” jawabku.

“Ya. Aku tahu bahwa kita memiliki kisah pilu di masa silam. Penguasa tak hanya gemar bertikai, tapi mereka sendiri pun kerap menciptakan sejarah palsu. Kasus pembantaian massal masih ditutupi. Mereka itu membalikkan fakta. Pembunuh dipuji, korban dicaci,” ujar Guru Sejarah. “Jadi karena itu sila kelima pergi? Wajar saja ia merajuk.”

“Aku pikir, sila kelima memang sengaja dipergikan. Kalau ia merajuk, tak mungkin ia menelponku barusan. Ia masih berharap untuk ditemukan,” jawab Kepala Sekolah. Aku memandangi Kepala Sekolah. Ia terlihat cemas.

“Bapak yakin yang telepon tadi itu sila kelima?”

“Apa ada orang yang berani membajak sila kelima?” jawab Kepala Sekolah dengan pertanyaan. Sepertinya ia mulai gelisah.

“Orang di berita tadi berpotensi untuk melakukannya, Pak,” balas Guru Sejarah.

Televisi pun berubah berita. Kini ia mewartakan bahwa presiden kehilangan sila kelima. Berita semakin heboh karena seluruh negeri ternyata kehilangan sila kelima. Semua warga negara Indonesia pun diwajibkan untuk mencari sila kelima.

“Ah, sudahlah. Kita sudah melakukannya bahkan sebelum diperintah oleh Presiden. Dia sendiri harus menemukannya. Setidaknya kita merasa lega karena ternyata bukan hanya kita yang kehilangan. Kita tunggu saja pengumuman Catursila,” kata Kepala Sekolah terlihat mulai tenang.

“Bahkan Catursila rasanya tak pantas, Pak,” sahutku padanya.

Aku dan Guru Sejarah pun keluar dari ruang Kepala Sekolah tanpa berhasil menemukan sila kelima. Mungkin ia memang pergi karena selama ini tak dihiraukan.

Kuharap sila kelima segera ditemukan dan seluruh negeri masih sempat dihampiri dan bercengkrama dengannya. Tapi, apakah mungkin sila kelima tadi terjatuh dan digondol pergi oleh katak yang menghinggapi sepatu Kepala Sekolah tadi? Atau garuda yang telah menerbangkannya sebelum dicuri orang? Aku lebih curiga ada yang lebih dulu mencurinya untuk dimiliki secara pribadi atau kelompoknya. Mungkin aku tidak menyadari bahwa sebenarnya ketidakbiasaan ini sebenarnya sudah menjadi kebiasaan.
Surabaya, 9 Januari 2016

2 komentar: