Akhir-akhir
ini saya banyak memikirkan suatu hal. Tak jarang ketika saya memikirkan hal itu
saya duduk sendiri terbengong dengan mata kosong dan dianggap oleh orang
sekitar saya bahwa saya sedang melamun.
Biasanya
teriakan mereka berupa, ”Ngapain kamu,
Dit? Ngelamun aja.”
Paling-paling
saya hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.
Tak
jarang pula saya memikirkan suatu hal itu ketika sedang istirahat. Tanpa terasa
saya sudah brebes mili. Saya sendiri
tak tahu kenapa. Jelas hal yang saya pikirkan adalah suatu yang haru atau
menyedihkan atau pun mengecewakan.
Salah
satu hal yang selalu terlintas di pikiran saya adalah, apakah ketika kita
melakukan suatu hal itu memang mengharap pamrih. Maksud saya, apakah kita
selalu meminta timbal balik ketika melakukan suatu hal.
Hal
ini pernah saya pikirkan ketika masih kelas 3 SD. Saat itu saya sedang berada
di sekolah untuk menerima pelajaran PPKn. Saat itu materinya adalah ikhlas. Ibu
Guru di kelas menjelaskan bahwa melakukan sesuatu itu dengan ikhlas, tidak
boleh mengharap imbalan. Saya betul masih ingat, Ibu Guru memberi contoh,
ketika Adit membantu orang lain, Adit tidak boleh meminta imbalan. Hal ini
membuat saya berpikir, lha wong Ibu
Guru sendiri kan bekerja untuk membantu mencerdaskan orang lain, lho kok ya minta imbalan alias gaji.
Saya sempat menanyakan hal itu di kelas, saya hanya dipelototi dan Ibu Guru tak
menjawab pertanyaan saya.
Sekarang
saya sudah tak memikirkan pelototan dan sikap apatis dari Ibu Guru. Saya
sungguh berpikir, benarkah saya melakukan sesuatu itu tanpa pamrih.
Ambil
saja contoh, saya belajar, dan saya berharap saya menjadi pintar. Atau ketika
saya bersekolah saya berharap mendapat ijazah. Dua contoh ini jelas menandakan
bahwa saya pamrih. Soal belajar, bagi saya ndak ada urusannya sama pintar. Saya
belajar ya belajar saja. Saya belajar ya karena saya suka belajar. Masalah
pintar itu urusannya nanti. Dan ndak perlu dipikirkan. Saya ndak ada urusan
sama pintar.
Sama
halnya ketika saya mencintai seseorang, apakah saya harus berharap gadis yang
saya cintai itu mencintai saya pula. Hmm, kalau ngomong soal cinta akan jadi
ribet. Karena akan ada banyak komentar dari teman-teman yang jauh lebih paham
bahkan sok paham soal cinta. Tapi bagi saya, ketika saya mencintai seorang gadis,
saya tak peduli ia mencintai saya atau tidak. Yang penting ia bahagia, saya
akan bahagia.
Tapi,
kalau ngomong soal cinta, betulkah cinta itu mengharap pamrih. Coba saja
tengok, banyak kan sepasang kekasih yang sesungguhnya mencintai seseorang itu
karena dompet. Untuk yang satu ini sangat menjelaskan bahwa cinta mereka
mengharap pamrih. Bagi saya, cinta itu sesuatu hal yang sakral. Ndak elok lho
kalau suatu hal yang sakral itu dimain-mainkan.
Nah,
yang mengerikan bagi saya ada berteman mengharap pamrih. Pikiran ini terus
bergelayut dalam pikiran saya. Apakah betul teman saya berteman dengan saya ini
karena memang ingin berteman saja. Atau memang mereka mengharap timbal balik
dari saya. Begitu juga sebaliknya.
Saya
sendiri memiliki teman nongkrong yang cukup solid. Saya betul-betul merasa enjoy berteman dengan mereka. Saya
berteman ya karena saya ingin berteman dengan mereka. Saya tak mengharap saya
ditraktir atau apapun. Dan hal itu pula yang saya lihat ada pada teman-teman
saya. Kami berteman ya karena ingin berteman. Kami menjalani suka duka bersama.
Pertemanan
tanpa pamrih amat mahal harganya. Siapa yang selalu ada di samping kita kalau
bukan teman kita sendiri.
Ya
memang, sesungguhnya yang selalu ada di samping kita adalah Tuhan. Kita ini
teman Tuhan. Tapi Tuhan kan ndak mungkin langsung membantu kita kalau kita mau
ngutang. Tuhan juga ndak mungkin langsung mengajak kita ngopi bareng. Tuhan
juga ndak mungkin langsung menghibur kita ketika kita sedang sedih. Oleh karena
itu, Tuhan menurunkan asistenNya, yakni teman kita. Tapi terkadang, rasa
berteman kita dengan asistenNya lebih besar tinimbang rasa berteman dengan
Tuhan. Bila begini nanti Tuhan akan marah.
Tapi,
coba perhatikan, benarkah temanmu itu mengharap sesuatu darimu ketika berteman
denganmu? Bila begitu, berarti dia bukan asistenNya.
Jember,
27 Mei 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar