Rabu, 20 November 2013

Pertemanan Tanpa Pamrih


Akhir-akhir ini saya banyak memikirkan suatu hal. Tak jarang ketika saya memikirkan hal itu saya duduk sendiri terbengong dengan mata kosong dan dianggap oleh orang sekitar saya bahwa saya sedang melamun.

Biasanya teriakan mereka  berupa, ”Ngapain kamu, Dit? Ngelamun aja.”

Paling-paling saya hanya bisa menjawabnya dengan senyuman.

Tak jarang pula saya memikirkan suatu hal itu ketika sedang istirahat. Tanpa terasa saya sudah brebes mili. Saya sendiri tak tahu kenapa. Jelas hal yang saya pikirkan adalah suatu yang haru atau menyedihkan atau pun mengecewakan.

Salah satu hal yang selalu terlintas di pikiran saya adalah, apakah ketika kita melakukan suatu hal itu memang mengharap pamrih. Maksud saya, apakah kita selalu meminta timbal balik ketika melakukan suatu hal.


Hal ini pernah saya pikirkan ketika masih kelas 3 SD. Saat itu saya sedang berada di sekolah untuk menerima pelajaran PPKn. Saat itu materinya adalah ikhlas. Ibu Guru di kelas menjelaskan bahwa melakukan sesuatu itu dengan ikhlas, tidak boleh mengharap imbalan. Saya betul masih ingat, Ibu Guru memberi contoh, ketika Adit membantu orang lain, Adit tidak boleh meminta imbalan. Hal ini membuat saya berpikir, lha wong Ibu Guru sendiri kan bekerja untuk membantu mencerdaskan orang lain, lho kok ya minta imbalan alias gaji. Saya sempat menanyakan hal itu di kelas, saya hanya dipelototi dan Ibu Guru tak menjawab pertanyaan saya.

Sekarang saya sudah tak memikirkan pelototan dan sikap apatis dari Ibu Guru. Saya sungguh berpikir, benarkah saya melakukan sesuatu itu tanpa pamrih.

Ambil saja contoh, saya belajar, dan saya berharap saya menjadi pintar. Atau ketika saya bersekolah saya berharap mendapat ijazah. Dua contoh ini jelas menandakan bahwa saya pamrih. Soal belajar, bagi saya ndak ada urusannya sama pintar. Saya belajar ya belajar saja. Saya belajar ya karena saya suka belajar. Masalah pintar itu urusannya nanti. Dan ndak perlu dipikirkan. Saya ndak ada urusan sama pintar.

Sama halnya ketika saya mencintai seseorang, apakah saya harus berharap gadis yang saya cintai itu mencintai saya pula. Hmm, kalau ngomong soal cinta akan jadi ribet. Karena akan ada banyak komentar dari teman-teman yang jauh lebih paham bahkan sok paham soal cinta. Tapi bagi saya, ketika saya mencintai seorang gadis, saya tak peduli ia mencintai saya atau tidak. Yang penting ia bahagia, saya akan bahagia.

Tapi, kalau ngomong soal cinta, betulkah cinta itu mengharap pamrih. Coba saja tengok, banyak kan sepasang kekasih yang sesungguhnya mencintai seseorang itu karena dompet. Untuk yang satu ini sangat menjelaskan bahwa cinta mereka mengharap pamrih. Bagi saya, cinta itu sesuatu hal yang sakral. Ndak elok lho kalau suatu hal yang sakral itu dimain-mainkan.

Nah, yang mengerikan bagi saya ada berteman mengharap pamrih. Pikiran ini terus bergelayut dalam pikiran saya. Apakah betul teman saya berteman dengan saya ini karena memang ingin berteman saja. Atau memang mereka mengharap timbal balik dari saya. Begitu juga sebaliknya.

Saya sendiri memiliki teman nongkrong yang cukup solid. Saya betul-betul merasa enjoy berteman dengan mereka. Saya berteman ya karena saya ingin berteman dengan mereka. Saya tak mengharap saya ditraktir atau apapun. Dan hal itu pula yang saya lihat ada pada teman-teman saya. Kami berteman ya karena ingin berteman. Kami menjalani suka duka bersama.

Pertemanan tanpa pamrih amat mahal harganya. Siapa yang selalu ada di samping kita kalau bukan teman kita sendiri.

Ya memang, sesungguhnya yang selalu ada di samping kita adalah Tuhan. Kita ini teman Tuhan. Tapi Tuhan kan ndak mungkin langsung membantu kita kalau kita mau ngutang. Tuhan juga ndak mungkin langsung mengajak kita ngopi bareng. Tuhan juga ndak mungkin langsung menghibur kita ketika kita sedang sedih. Oleh karena itu, Tuhan menurunkan asistenNya, yakni teman kita. Tapi terkadang, rasa berteman kita dengan asistenNya lebih besar tinimbang rasa berteman dengan Tuhan. Bila begini nanti Tuhan akan marah.

Tapi, coba perhatikan, benarkah temanmu itu mengharap sesuatu darimu ketika berteman denganmu? Bila begitu, berarti dia bukan asistenNya.

Jember, 27 Mei 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar