Kamis, 21 November 2013

Lain Manchester, Lain Milan, Lain Menulis


Saya lelah berkali-kali menjelaskan arti off-side pada gadis saya ketika ia bertanya. Pun juga bagaimana Liga, Cup dan Liga Champion bergulir. Entah mengapa, perempuan—tanpa merendahkannya—susah mengerti arti apa yang saya sebutkan diatas. Terutama off-side. Perempuan sering kali sulit memahami arti off-side. Ya memang sepakbola lebih banyak digemari kaum adam, sehingga memang cukup menjadi hal yang tabu bagi perempuan ketika ikut menyukainya.

Kala itu saya sedang menonton pertandingan antara Italia vs Spanyol dalam Piala Konfederasi ditemani gadis saya. Ia bertanya, “Manchester City ga ikut ya?” Saya bingung menjawabnya. Lantas saya jawab pertanyaannya itu. Selesai menjelaskannya, saya mengingat kegagalan Manchester City—klub favorit saya—meraih gelas pada akhir musim 2012/2013. Ya, klub favorit saya yang menjadi juara English Premier League 2011/2012 itu gagal menjadi juara, pada The Citizens—sebutan Manchester City—terdapat banyak pemain bintang, mengingat pemilik City adalah seorang taipan Arab.


Manchester United begitu perkasa menggagahi Manchester City. Hampir selama semusim, Manchester United berada di peringkat satu klasemen EPL. Padahal, City sempat menghancurkan MU di Old Trafford—kandang Manchester United. City juga menang saat melawan Chelsea dan Arsenal—peringakt 3 dan 4 EPL—pada musim itu. Secara logika, City yang dapat mengalahkan peringkat 3 dan 4, apalagi peringkat 1, seharusnya layak menjadi juara. Tapi format liga membuat saya berfikir, bahwa konsistensi adalah kunci dari semua itu. Iya konsistensi.

Coba saja tengok, Manchester United memang konsisten kokoh berada di puncak klasemen, karena MU memang konsisten memenangi banyak laga. Sedangkan City, meski berhasil menang melawan 3 klub besar lainnya, City malah terkadang terpleset ketika melawan klub penghuni papan bawah.

Lihat pula pada ajang Piala FA, di Grand Final, City dipermalukan oleh klub penghuni papan bawah, Wigan Athletic dan lantas membuat Wigan juara Piala FA. Padahal pada akhir musim, Wiga harus terdagradasi ke liga kasta 2 di Inggris.

Ya, City memang tampil tidak konsisten. Untuk menjadi juara, sebuah tim harus menghadirkan kemenangan. Konsisten untuk meraih kemenangan dan juga faktor keberuntungan menjadi penentu. Saya tentu kecewa melihat klub favorit saya tidak tampil konsisten.

Jauh di seberang daratan Eropa, tepatnya Eropa Selatan, Liga Italia menjadi sorotan. Selain prestasi liga yang memburuk, Juventus sangat perkasa pula dengan menjadi juara dan hampir sepanjang musim berada di puncak klasemen. Tapi, jangan kira Juve tak terkalahkan. Juve pernah dipermalukan Inter Milan di Juventus Arena—kandang Juve. Dengan hal ini seharusnya Inter bisa menjadi juara. Tapi apa hasilnya? Inter terperosok di peringkat 9. Lain halnya dengan klub rival sekota Inter, AC Milan. Milan yang pada awal musim tampil mengecewakan dengan menghuni papan bawah, berhasil melesat ke peringkat 3. Jawaban atas semua ini adalah konsistensi. AC Milan memang berhasil tampil lebih konsisten daripada Inter Milan.

Manchester yang terbagi atas dua kubu; United dan City merasakan hal berbeda. Begitu juga dengan Milan. AC Milan dan Inter Milan yang sama-sama berada di Kota Milan, memiliki hasil yang berbeda. Konsistensi adalah kunci dari semuanya. Tanpa konsistensi, jangan harap, posisi kita akan berada di atas.

Saya pun juga kecewa pada diri saya sendiri. Selama ini saya tidak konsisten dalam menulis. Hal ini membuat saya jatuh terperosok jauh di bawah.

Surabaya, 31 Juli 2013

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar