Saya lelah
berkali-kali menjelaskan arti off-side
pada gadis saya ketika ia bertanya. Pun juga bagaimana Liga, Cup dan Liga Champion bergulir. Entah
mengapa, perempuan—tanpa merendahkannya—susah mengerti arti apa yang saya
sebutkan diatas. Terutama off-side.
Perempuan sering kali sulit memahami arti off-side.
Ya memang sepakbola lebih banyak digemari kaum adam, sehingga memang cukup
menjadi hal yang tabu bagi perempuan ketika ikut menyukainya.
Kala itu
saya sedang menonton pertandingan antara Italia vs Spanyol dalam Piala
Konfederasi ditemani gadis saya. Ia bertanya, “Manchester City ga ikut ya?”
Saya bingung menjawabnya. Lantas saya jawab pertanyaannya itu. Selesai
menjelaskannya, saya mengingat kegagalan Manchester City—klub favorit
saya—meraih gelas pada akhir musim 2012/2013. Ya, klub favorit saya yang
menjadi juara English Premier League
2011/2012 itu gagal menjadi juara, pada The Citizens—sebutan Manchester
City—terdapat banyak pemain bintang, mengingat pemilik City adalah seorang
taipan Arab.
Manchester
United begitu perkasa menggagahi Manchester City. Hampir selama semusim,
Manchester United berada di peringkat satu klasemen EPL. Padahal, City sempat
menghancurkan MU di Old Trafford—kandang Manchester United. City juga menang
saat melawan Chelsea dan Arsenal—peringakt 3 dan 4 EPL—pada musim itu. Secara
logika, City yang dapat mengalahkan peringkat 3 dan 4, apalagi peringkat 1,
seharusnya layak menjadi juara. Tapi format liga membuat saya berfikir, bahwa
konsistensi adalah kunci dari semua itu. Iya konsistensi.
Coba saja
tengok, Manchester United memang konsisten kokoh berada di puncak klasemen,
karena MU memang konsisten memenangi banyak laga. Sedangkan City, meski
berhasil menang melawan 3 klub besar lainnya, City malah terkadang terpleset
ketika melawan klub penghuni papan bawah.
Lihat pula
pada ajang Piala FA, di Grand Final, City dipermalukan oleh klub penghuni papan
bawah, Wigan Athletic dan lantas membuat Wigan juara Piala FA. Padahal pada
akhir musim, Wiga harus terdagradasi ke liga kasta 2 di Inggris.
Ya, City
memang tampil tidak konsisten. Untuk menjadi juara, sebuah tim harus
menghadirkan kemenangan. Konsisten untuk meraih kemenangan dan juga faktor
keberuntungan menjadi penentu. Saya tentu kecewa melihat klub favorit saya
tidak tampil konsisten.
Jauh di
seberang daratan Eropa, tepatnya Eropa Selatan, Liga Italia menjadi sorotan.
Selain prestasi liga yang memburuk, Juventus sangat perkasa pula dengan menjadi
juara dan hampir sepanjang musim berada di puncak klasemen. Tapi, jangan kira
Juve tak terkalahkan. Juve pernah dipermalukan Inter Milan di Juventus
Arena—kandang Juve. Dengan hal ini seharusnya Inter bisa menjadi juara. Tapi
apa hasilnya? Inter terperosok di peringkat 9. Lain halnya dengan klub rival
sekota Inter, AC Milan. Milan yang pada awal musim tampil mengecewakan dengan
menghuni papan bawah, berhasil melesat ke peringkat 3. Jawaban atas semua ini adalah
konsistensi. AC Milan memang berhasil tampil lebih konsisten daripada Inter
Milan.
Manchester
yang terbagi atas dua kubu; United dan City merasakan hal berbeda. Begitu juga
dengan Milan. AC Milan dan Inter Milan yang sama-sama berada di Kota Milan, memiliki
hasil yang berbeda. Konsistensi adalah kunci dari semuanya. Tanpa konsistensi,
jangan harap, posisi kita akan berada di atas.
Saya pun
juga kecewa pada diri saya sendiri. Selama ini saya tidak konsisten dalam
menulis. Hal ini membuat saya jatuh terperosok jauh di bawah.
Surabaya,
31 Juli 2013
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar