Ilustrasi - mural perlawanan (kfk.kompas.com/Singgih Aditama) |
Entah dosa apa yang telah dilakukan oleh tanah ini sehingga air tak kunjung juga turun di sini. Mentari Surabaya begitu teriknya sampai saya harus membuka kemeja agar angin berkenan bersua dengan kulit saya. Tengah hari memang begini adanya hawa di Surabaya. Sudah lelah kuliah sedari pagi, hujan enggan menghampiri, kini perut minta di isi. Saya memilih ke kantin agar perut tak menjerit lagi, mungkin sekadar makan bahkan juga bisa diskusi.
Kantin siang ini begitu ramai
membantu menghilangkan dahaga, perut kosong atau mulut besar untuk menunaikan
tugasnya. Tak hanya mereka sih, kantin juga membantu yang sedang ndusel ke bahu pasangannya juga.
“Ke mana saja kau tak pernah
kulihat batang hidungmu?!” pekik seorang pria hingga seluruh isi kantin
memandanginya. “Sini. Aku butuh ngobrol denganmu.”
Saya menghampirinya dan langsung
duduk di sebelahnya. Saya melihat ada secangkir kopi yang masih kemedul di atas meja di depannya. Ia
tersenyum ke arah saya. Tampaknya agak serius obrolan ini.
“Sudah makan kau?” tanyanya.
“Ini sebabnya saya ke kantin,
Cak.”
“Cepat pesan makanan kalau
begitu. Kalau perutmu terisi akan jadi menyenangkan obrolan kita nanti.”
“Sampeyan memprediksi akan tidak menyenangkan kalau kita mengobrol
dulu.”
Ia menuangkan kopi ke dalam lepek, ditiupnya kopi itu, dan ia seruput
perlahan. “Tak perlulah kau berkomentar begitu gahar macam kemarin. Kau ini
mahasiswa. Tugasmu belajar. Sudahlah pelajari saja apa yang harus kau pelajari
di jurusanmu. Tak perlu turut campur masalah buruh, petani, atau sejenisnya.
Kapan kau akan usai kau punya kuliah, heh?” kelakarnya.
Saya sangat tak menduga ada
kalimat-kalimat macam itu keluar dari mulutnya. Habis melangkahi kuburan siapa
orang ini sehingga membuat saya tak siap menjawab.
“Sudahlah. Fokus saja pada
kuliah. Tak usah turun ke jalan. Tak perlu sok-sokan
membela kaum yang tertindas lah, diperlakukan tidak adil lah. Itu sudah takdir
mereka. Sosiologi Pedesaan bingung cara ngobrol dengan warga saja sok-sokan membela mereka. Kau sendiri
siapa yang membela? Tak ada kan?”
Saya masih diam. Mencoba memahami
maksud dan arah pembicaraan ini. Dia mulai menyalakan rokok. Mulutnya terbuka
seperti hendak memulai kalimat tapi saya mendahului.
“Sampeyan sendiri siapa yang membela?” tanya saya.
Menunda berbicara, ia menyulut
rokoknya. Ia terlihat mencoba menata kalimat yang akan keluar dari mulutnya. “Tidak
ada. Itu sebabnya tak perlu kita membela kalau ternyata tak dibela. Sudahlah,
daripada kuliah tak beres, molor, tak kunjung lulus nantinya, sebaiknya kau hentikan
saja tindak-tandukmu atas nama penindasan dan ketidakadilan itu. Sok betul kau melegitimasi melawan
mengatasnamakan penindasan dan ketidakadilan. Sumpah pemuda demo. Bikin malu
pemuda saja. Kau harus bikin bangga Indonesia sebagai pemuda. Jangan semakin
bikin kacau. Yang kau lakukan seringkali membuat jalan jadi macet, baku hantam,
memperolokok, bermusuhan pun jadi ujungnya. Apa faedahnya buat masyarakat? Apa
faedahnya buar dirimu?”
“Surabaya tanpa demo juga tak
akan jadi lengang. Lagipula, Sampeyan
sendiri sudah semester 13 dan tak kunjung lulus. Kenapa melarang saya?” balas
saya.
“Justru karena aku tahu bahwa
yang kau lakukan itu akan berujung menjadi sepertiku sebaiknya kau tak usah sok-sokan begitu. Aku ini sudah
berpengalaman. Aku tak ingin kau seperti aku. Makanya jangan sok-sokan melakukan apa yang kulakukan
dulu.”
Ia mulai menyomot tape goreng
yang ada di ujung meja dan melahapnya.
“Justru karena saya tahu bahwa
saya perlu untuk melakukan itu makanya Sampeyan
tak usah sok-sokan berpengalaman
begitu, Cak. Kalau kuliah Sampeyan kacau
ya jangan mengkambinghitamkan aktifitas sampeyan
dulu itu dong,” balas saya sambil mengambil
cangkir kopinya dan menyeruputnya.
“Ngerti apa kau soal buruh?!
Petani?! Mereka sendiri itu tak beres kenapa juga kau bela?! Apa?! Kau mau
terlihat keren agar dikagumi mereka ini?!” semprotnya sambil menunjuk
gadis-gadis yang ada di depan kami. Yang ditunjuknya menoleh ke arah kami dan
mulai menggerutu. “Lihat mereka saja langsung menggerutu setelah melihatmu,
bukan mengagumi.”
“Lebih tepatnya mereka menggerutu
setelah sampeyan menunjuk mereka.”
Kali ini gerutuan di mulut gadis-gadis
itu berubah jadi lahapan atas makan siang mereka.
“Buruh dan petani kok dibela.
Sudah minta gaji naik terus, pekerjaan yang begitu saja. Minta benih dan pupuk
murah, tapi menjual sawah jua. Pendidikan saja rendah, mau sok keminter. Apa sih tujuanmu?”
“Yang membela buruh itu siapa?” jawab
saya dengan pertanyaan. “Kalau melihat ada penindasan dan ketidakadilan mana
mungkin bisa diam. Ditindas namun diam terus, Indonesia pun juga tak akan
merdeka, Cak. Sampeyan mau ditindas
terus?”
“Sudah, tak usah sok idealis lah.
Apa? Hari Pahlwan mau demo lagi kau? Pahlawan pasti akan kecewa kalau melihat
pemudanya macam kau.” Ia buang puntung rokoknya. “Tak usah memaksaku. Aku sudah
memilih. Kuliahku jauh lebih penting. Aku sarankan untuk tak lagi berteriak
lantang melawan pemerintah. Aku sudah memilih.”
“Pahlawan kita dulu juga melawan
pemerintah, Cak. Dulu pemerintah resmi ya Hindia Belanda. Karena ada yang
melawan makanya kewarganegaraan Sampeyan
Indonesia sekarang. Saya tak pernah bilang kuliah sampeyan tak penting. Tak usah memaksa saya. Saya pun juga memilih.”
“Terserah kau sajalah,” jawabnya
singkat. Sepertinya ia mulai malas meneruskan perbincangan ini.
“Sampeyan belum sarapan?” tanya saya.
“Belum.”
“Makanya kalau mau ngobrol itu
makan dulu, biar ndak salah paham.”
Saya tawari ia untuk makan,
mengangguklah ia. Saya pun memesan makanan untuk kami berdua. Kami memilih
untuk makan.
Rintik air hujan mulai berjatuhan
menyerang bumi. Beberapa orang mulai kebingungan untuk berteduh enggan dibasahi.
Pria di sebelah saya ini menyalakan rokok lagi. Ia tak membuka sedikitpun
mulutnya selain untuk menyulut rokok, sepertinya ingin menenangkan diri. Ia
memilih diam sambil menunggu makanan, saya pun demikian. Kami memilih untuk
diam, karena pilihan memang memiliki waktu dan ruang.
Saya mulai memandanginya. Ia
tersenyum ke arah saya dan saya membalas senyumnya. Perut mulai meronta-ronta,
syukurlah makanan pesanan akhirnya datang juga, dan kami pun mulai
menyerobotnya. Kami duduk di kantin untuk sekadar diskusi mungkin makan pun
bisa. Kami pun memilih menyantap hidangan yang ada di depan mata, ditemani air
mata langit yang akhirnya sudi berjumpa.
Surabaya, 3 November
2015
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar