Selasa, 03 November 2015

Saya Memilih, Kami Memilih

Ilustrasi - mural perlawanan (kfk.kompas.com/Singgih Aditama)

Entah dosa apa yang telah dilakukan oleh tanah ini sehingga air tak kunjung juga turun di sini. Mentari Surabaya begitu teriknya sampai saya harus membuka kemeja agar angin berkenan bersua dengan kulit saya. Tengah hari memang begini adanya hawa di Surabaya. Sudah lelah kuliah sedari pagi, hujan enggan menghampiri, kini perut minta di isi. Saya memilih ke kantin agar perut tak menjerit lagi, mungkin sekadar makan bahkan juga bisa diskusi.

Kantin siang ini begitu ramai membantu menghilangkan dahaga, perut kosong atau mulut besar untuk menunaikan tugasnya. Tak hanya mereka sih, kantin juga membantu yang sedang ndusel ke bahu pasangannya juga.

“Ke mana saja kau tak pernah kulihat batang hidungmu?!” pekik seorang pria hingga seluruh isi kantin memandanginya. “Sini. Aku butuh ngobrol denganmu.”

Saya menghampirinya dan langsung duduk di sebelahnya. Saya melihat ada secangkir kopi yang masih kemedul di atas meja di depannya. Ia tersenyum ke arah saya. Tampaknya agak serius obrolan ini.

“Sudah makan kau?” tanyanya.

“Ini sebabnya saya ke kantin, Cak.”

“Cepat pesan makanan kalau begitu. Kalau perutmu terisi akan jadi menyenangkan obrolan kita nanti.”

Sampeyan memprediksi akan tidak menyenangkan kalau kita mengobrol dulu.”

Ia menuangkan kopi ke dalam lepek, ditiupnya kopi itu, dan ia seruput perlahan. “Tak perlulah kau berkomentar begitu gahar macam kemarin. Kau ini mahasiswa. Tugasmu belajar. Sudahlah pelajari saja apa yang harus kau pelajari di jurusanmu. Tak perlu turut campur masalah buruh, petani, atau sejenisnya. Kapan kau akan usai kau punya kuliah, heh?” kelakarnya.

Saya sangat tak menduga ada kalimat-kalimat macam itu keluar dari mulutnya. Habis melangkahi kuburan siapa orang ini sehingga membuat saya tak siap menjawab.

“Sudahlah. Fokus saja pada kuliah. Tak usah turun ke jalan. Tak perlu sok-sokan membela kaum yang tertindas lah, diperlakukan tidak adil lah. Itu sudah takdir mereka. Sosiologi Pedesaan bingung cara ngobrol dengan warga saja sok-sokan membela mereka. Kau sendiri siapa yang membela? Tak ada kan?”

Saya masih diam. Mencoba memahami maksud dan arah pembicaraan ini. Dia mulai menyalakan rokok. Mulutnya terbuka seperti hendak memulai kalimat tapi saya mendahului.

Sampeyan sendiri siapa yang membela?” tanya saya.

Menunda berbicara, ia menyulut rokoknya. Ia terlihat mencoba menata kalimat yang akan keluar dari mulutnya. “Tidak ada. Itu sebabnya tak perlu kita membela kalau ternyata tak dibela. Sudahlah, daripada kuliah tak beres, molor, tak kunjung lulus nantinya, sebaiknya kau hentikan saja tindak-tandukmu atas nama penindasan dan ketidakadilan itu. Sok betul kau melegitimasi melawan mengatasnamakan penindasan dan ketidakadilan. Sumpah pemuda demo. Bikin malu pemuda saja. Kau harus bikin bangga Indonesia sebagai pemuda. Jangan semakin bikin kacau. Yang kau lakukan seringkali membuat jalan jadi macet, baku hantam, memperolokok, bermusuhan pun jadi ujungnya. Apa faedahnya buat masyarakat? Apa faedahnya buar dirimu?”

“Surabaya tanpa demo juga tak akan jadi lengang. Lagipula, Sampeyan sendiri sudah semester 13 dan tak kunjung lulus. Kenapa melarang saya?” balas saya.

“Justru karena aku tahu bahwa yang kau lakukan itu akan berujung menjadi sepertiku sebaiknya kau tak usah sok-sokan begitu. Aku ini sudah berpengalaman. Aku tak ingin kau seperti aku. Makanya jangan sok-sokan melakukan apa yang kulakukan dulu.”

Ia mulai menyomot tape goreng yang ada di ujung meja dan melahapnya.

“Justru karena saya tahu bahwa saya perlu untuk melakukan itu makanya Sampeyan tak usah sok-sokan berpengalaman begitu, Cak. Kalau kuliah Sampeyan kacau ya jangan mengkambinghitamkan aktifitas sampeyan dulu itu dong,” balas saya sambil mengambil cangkir kopinya dan menyeruputnya.

“Ngerti apa kau soal buruh?! Petani?! Mereka sendiri itu tak beres kenapa juga kau bela?! Apa?! Kau mau terlihat keren agar dikagumi mereka ini?!” semprotnya sambil menunjuk gadis-gadis yang ada di depan kami. Yang ditunjuknya menoleh ke arah kami dan mulai menggerutu. “Lihat mereka saja langsung menggerutu setelah melihatmu, bukan mengagumi.”

“Lebih tepatnya mereka menggerutu setelah sampeyan menunjuk mereka.”

Kali ini gerutuan di mulut gadis-gadis itu berubah jadi lahapan atas makan siang mereka.

“Buruh dan petani kok dibela. Sudah minta gaji naik terus, pekerjaan yang begitu saja. Minta benih dan pupuk murah, tapi menjual sawah jua. Pendidikan saja rendah, mau sok keminter. Apa sih tujuanmu?”

“Yang membela buruh itu siapa?” jawab saya dengan pertanyaan. “Kalau melihat ada penindasan dan ketidakadilan mana mungkin bisa diam. Ditindas namun diam terus, Indonesia pun juga tak akan merdeka, Cak. Sampeyan mau ditindas terus?”

“Sudah, tak usah sok idealis lah. Apa? Hari Pahlwan mau demo lagi kau? Pahlawan pasti akan kecewa kalau melihat pemudanya macam kau.” Ia buang puntung rokoknya. “Tak usah memaksaku. Aku sudah memilih. Kuliahku jauh lebih penting. Aku sarankan untuk tak lagi berteriak lantang melawan pemerintah. Aku sudah memilih.”

“Pahlawan kita dulu juga melawan pemerintah, Cak. Dulu pemerintah resmi ya Hindia Belanda. Karena ada yang melawan makanya kewarganegaraan Sampeyan Indonesia sekarang. Saya tak pernah bilang kuliah sampeyan tak penting. Tak usah memaksa saya. Saya pun juga memilih.”

“Terserah kau sajalah,” jawabnya singkat. Sepertinya ia mulai malas meneruskan perbincangan ini.

Sampeyan belum sarapan?” tanya saya.

“Belum.”

“Makanya kalau mau ngobrol itu makan dulu, biar ndak salah paham.”

Saya tawari ia untuk makan, mengangguklah ia. Saya pun memesan makanan untuk kami berdua. Kami memilih untuk makan.

Rintik air hujan mulai berjatuhan menyerang bumi. Beberapa orang mulai kebingungan untuk berteduh enggan dibasahi. Pria di sebelah saya ini menyalakan rokok lagi. Ia tak membuka sedikitpun mulutnya selain untuk menyulut rokok, sepertinya ingin menenangkan diri. Ia memilih diam sambil menunggu makanan, saya pun demikian. Kami memilih untuk diam, karena pilihan memang memiliki waktu dan ruang.

Saya mulai memandanginya. Ia tersenyum ke arah saya dan saya membalas senyumnya. Perut mulai meronta-ronta, syukurlah makanan pesanan akhirnya datang juga, dan kami pun mulai menyerobotnya. Kami duduk di kantin untuk sekadar diskusi mungkin makan pun bisa. Kami pun memilih menyantap hidangan yang ada di depan mata, ditemani air mata langit yang akhirnya sudi berjumpa.

Surabaya, 3 November 2015
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar