Kamis, 05 November 2015

Surabaya Semakin Panas, Mungkin Iya

Ilustrasi jendela (Rumahku.com)
Akhir-akhir ini saya mendapati banyak keluhan tentang udara panas Surabaya yang begitu menyengat. Hujan memang sudah mendatangangi kota Pahlawan ini, namun hanya sekejap. Gerimis sebentar lalu hilang. Deras sebentar lalu pergi. Bahkan hujan pun enggan mendatangi kota metropolitan yang hawanya membuat penduduknya senang menggunakan AC ini.

Banyak orang mengatakan udara di kota kelahiran Bung Karno in memang sangat dahsyat sumuk[1]nya. Beberapa kali teman saya mengeluhkan hawa Surabaya. Bahkan mereka sudah menggunakan kipas angin di kamar mereka, namun sepertinya tak menyelesaikan masalah. Ketika nongkrong, mereka juga kerap kali mengeluhkan hal ini. Namun, bagi saya ini adalah hal biasa. Surabaya terasa panas adalah hal yang biasa. Namun, setiap orang memang memiliki rasa yang berbeda akan udara Surabaya. Sampai sejauh mana orang menilai bahwa udara Surabaya ini begitu panas, itu tergantung pada orangnya.

Ada pula, seorang teman kuliah saya mengeluhkan betapa luar biasanya panas Surabaya akhir-akhir ini. Bahkan ia katakan bahwa kamar di rumahnya sudah menggunakan AC, tetap saja ia merasa panas.

“Seperti ndak ada gunanya AC di kamar saya,” ucapnya siang itu kala bertemu saya di tempat parkir kampus FISIP.

“Barangkali kamu tidak rutin menyervis ACmu. Ia butuh perawatan. Tentu saja dia marah ketika kau tak merawatnya,” balas saya.

“Mungkin,” katanya singkat.

Di kamar kos saya sendiri, di Jl. Jojoran III ini, saya hanya menggunakan kipas angin untuk menyelamatkan saya dari hawa panas. Ini pun jarang saya gunakan, karena saya lebih senang tanpa kipas angin, kecuali saat tidur. Biarpun kulit saya nantinya dibasahi oleh keringat, dahi saya penuh peluh, saya jarang menggunakannnya. Tapi, jangan dikira udara saya ini sudah terbiasa dengan hawa di sini. Berdiam di dalam kamar saat mengerjakan tugas atau sekedar membaca, akan terasa seperti dikukus. Berdiamlah di dalam kamar Anda di Surabaya, maka sudah matang jadi manusia bakarlah Anda. Tapi, saya seringkali menikmatinya.

Dan hari ini, saya rasa Surabaya mulai bersahabat dengan tak begitu menyengat seperti sediakala. Saya sendiri sedari pagi tak menyalakan kipas angin. Saya buka jendela kamar saya. Dan hasilnya hembusan angin dari luar sangat membantu saya untuk tetap bernapas. Hembusan angin dari luar kamar lebih segar daripada hembusan angin buatan yang dihasilkan oleh kipas angin. Anda harus mencobanya. Tapi, mungkin Anda sudah merasakannya. Bagaimana? Segar bukan?

Nah, inilah saatnya untuk menikmati angin Surabaya yang begitu tenang dan menentramkan jiwa ini. Cukup Anda buka jendela kamar Anda, maka udara sejuk akan dengan senang hati menyapa Anda. Saya mulai menikmati hembusan angin yang terasa berbeda dari biasanya ini.

Apalagi, membuka jendala kamar itu artinya membantu udara di kamar Anda untuk senantiasa tersegarkan. Pertukaran udara di kamar Anda amat penting untuk membantu kesehatan kamar Anda, setidaknya itu yang ayah saya katakan.

Jika sudah begini, saya jadi betah untuk ada di dalam kamar. Menikmati betapa sesungguhnya Tuhan sangat sayang pada manusianya dengan menghadirkan apa yang dibutuhkan. Saya jadi semakin betah dan merasa nyaman berada di dalam kamar, sebelum akhirnya saya harus keluar untuk pergi ke kampus. Mungkin sebaiknya, saya hentikan ini semua sebelum saya mulai kecanduan.

Banyak orang mengatakan udara Surabaya itu panas, mungkin iya. Tapi mungkin juga membuat orang jadi merasa bersyukur ketika mulai menemukan kesejukan di sini.
Tuh kan, hembusan angin menyapa saya lagi. Semoga saya tak mulai kecanduan.

Surabaya, 5 November 2015




[1] Bahasa Jawa: Gerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar