Rabu, 18 November 2015

Mahasiswa Beda-beda

Ilustrasi (sumber: kesekolah.com)

“Rapi sekali kamarmu, Dit!” pekik seorang temanku ketika masuk kamar kosku.

Aku hanya tersenyum menanggapinya.

“Niat sekali kamu ya,” sambungnya. Ia memandangi tembokku yang dihiasi oleh kertas berisikan banyak catatan. “Revisi. Temui dosen. Baca buku Peter Berger. Niat sekali. Semua tertata.”

“Ya, memang harus begitu. Semua itu memudahkan segala aktifitasku.”

“Kan sekarang sudah ada HP. Bisa dicatat di HP.”

“Ini lebih memudahkanku. Setiap mahasiswa punya cara yang berbeda-beda, Bung.”

“Niat sekali untuk cepat lulus kamu, Dit. Aku saja baru beli flashdisk kemarin,” katanya.

“Cukup membantu untuk tugas itu,” balasku.

“Ah, isi tugas di flashdisk-ku paling cuma 10 persen.”

“Sisanya?”

“Bokep.”


Surabaya, 18 November 2015

Selasa, 17 November 2015

Sampai Di Sini

Ilustrasi Putus Cinta (liputan6.com)

Tadi siang kekasihku mengirim pesan padaku bahwa ia ingin bertemu denganku malam ini, penting katanya. Nampaknya hubungan kami mulai serius. Aku pun bersemangat untuk berjumpa dengan belahan jiwaku. Dua tahun menjalin kasih kami memang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.

Aku tiba di tempat yang ditentukannya, dan kulihat ia melambaikan tangan ke arahku. Aku menghampirinya disambut dengan senyum manis di bibirnya. Ingin sekali kucium bibir itu.

“Kau masih mencintaiku?” tanyanya tiba-tiba.

“Tentu saja. Memangnya kenapa?” tanyaku balik.

“Aku sudah tidak. Sampai di sini saja ya kita.”

Aku terkejut mendengarnya.

“Mengapa?”

“Aku sudah mencintai perempuan lagi. Maaf,” jawabnya lugas. Ketampanannya mulai hilang.


Surabaya, 17 November 2015

Sebuah Penolakan

Ilustrasi Penolakan (tribunnews.com)

Akhirnya malam itu tiba juga. Setelah sebulan lebih kami dekat, kali ini aku berniat untuk menjadikannya sebagai kekasihku. Tak perlu ditunda, sudah sepantasnya kami berjalan sebagai sepasang kekasih.

Kami pun tiba di restoran pilihannya. Kami memesan, tak lama makanan datang dan kami langsung menyantapnya. Selesai, inilah saat yang tepat untuk menyatakan cinta.

“Aku ingin bicara padamu,” kataku.

“Kau pikir sedari tadi kita membisu?” guranya diikuti senyum yang amat manis sekali.

“Aku sangat mencintaimu. Maukah kau jadi pacarku?” ucapku tanpa ragu terlontar begitu cepat.

Raut mukanya berubah. Senyumnya sirna. “Maaf. Aku masih mencintai perempuan.”

Ia tersenyum lagi. Ia masih sangat tampan.


Surabaya, 17 November 2015

Upacara Bendera

Ilustrasi Upacara Bendera

Jenuh sekali rasanya setiap kali upacara bendera di hari Senin selalu begini. Sedari SD, sampai sekarang aku sudah SMA, matahari selalu terik.

Pengibaran bendera dilakukan, para guru berbaris tanpa tenaga. Apalagi siswa-siswi terlihat mulai bosan. Paduan suara bernyanyi dengan semangat terpaksa. Hanya petugas upacara yang begitu bersemangat karena katanya menambah nasionalisme kompak dengan matahari yang menyiksa kami.

Semua hormat kepada bendera merah putih.

“Plak!”

Seorang guru memukul kepalaku dari belakang.

“Kenapa saya dipukul, Pak?” tanyaku.

Ia memelototiku.

“Waktu hormat kepada bendera malah garuk-garuk kemaluan. Ayo hormat yang benar!” bisiknya.

“Bapak juga hormat dong. Lha wong gatal saja masak ndak boleh.”

Surabaya, 17 November 2015


Senin, 16 November 2015

Tragedi dan Simpati

Tagar #PrayForParis (sumber foto: liputan6.com)

Tragedi di Paris, Perancis, yang terjadi kemarin sangat mengguncang dunia. Banyak orang menaruh simpati akan tragedi itu. Hal itu kulihat dari facebook, di mana banyak orang memasang foto bendera warna merah-putih-biru di foto profilnya.

“Sok sekali. Perancis terkena teror saja orang langsung sok simpati dengan pasang foto macam begitu dan tagar #saveparis atau #prayforparis,” kata seorang kawan di sebelahku.

“Apa salahnya dengan simpati?” tanyaku.

“Maksudku tak perlu berlebihan. Tengoklah yang terjadi di Palestina. Tak perlu jauh deh, di tanah air kita ada penindasan oleh aparat terhadap petani. Mana yang simpati?”

“Mana yang simpati? Kamu sendiri apa tak simpati pada petani?”

Surabaya, 16 November 2015

Rabu, 11 November 2015

Hari Pahlawan

Ilustrasi 10 November 1945 (sumber foto: berdikarionline.com)

“Baiklah, anak-anak. Jadi, di Hari Pahlawan nanti, 10 November, kalian diwajibkan untuk memakai atribut TNI ya. Pakai kaos atau baju atau celana loreng-loreng,” kata Bu Guru di hadapan seluruh siswa di dalam kelas.

“Lho? Kenapa harus pakai baju TNI, Bu?” responku.

“Ya kita harus hargai jasa para pahlawan dengan mengenakan pakaian mereka,” jawab Bu Guru.

“Kan yang berjuang saat itu bukan TNI. Rakyat biasa, santri, petani, dan sebagainya lho yang berjuang. Pakaian yang mereka pakai juga seadanya. Bahkan TNI belum lahir kala itu,” balasku.

“Sudahlah jangan kebanyakan protes!” hardik beliau.

“Mencoba berpendapat dan sesuai dengan sejarah saja kok dibilang protes.”


Surabaya, 11 November 2015

Kamis, 05 November 2015

Surabaya Semakin Panas, Mungkin Iya

Ilustrasi jendela (Rumahku.com)
Akhir-akhir ini saya mendapati banyak keluhan tentang udara panas Surabaya yang begitu menyengat. Hujan memang sudah mendatangangi kota Pahlawan ini, namun hanya sekejap. Gerimis sebentar lalu hilang. Deras sebentar lalu pergi. Bahkan hujan pun enggan mendatangi kota metropolitan yang hawanya membuat penduduknya senang menggunakan AC ini.

Selasa, 03 November 2015

Saya Memilih, Kami Memilih

Ilustrasi - mural perlawanan (kfk.kompas.com/Singgih Aditama)

Entah dosa apa yang telah dilakukan oleh tanah ini sehingga air tak kunjung juga turun di sini. Mentari Surabaya begitu teriknya sampai saya harus membuka kemeja agar angin berkenan bersua dengan kulit saya. Tengah hari memang begini adanya hawa di Surabaya. Sudah lelah kuliah sedari pagi, hujan enggan menghampiri, kini perut minta di isi. Saya memilih ke kantin agar perut tak menjerit lagi, mungkin sekadar makan bahkan juga bisa diskusi.