Aku berjalan perlahan-lahan menuju sebuah ruangan yang amat sunyi. Kubaca sebuah kata yang tertera di atas pintu itu: PERPUSTAKAAN. Indah sekali kata itu.
Kucoba untuk membuka handle pintunya. Secara perlahan aku mendorong pintu sembari tangan masih di engsel pintu. Bunyi suara ‘sret’ terdengar jelas laiknya film horor tanah air. Aku tak tahu seperti apa kelanjutan peristiwa yang akan kualami. Apakah akan ada pocong ngesot. Atau kuntilanak lupa daratan. Entahlah. Aku masih mencoba membuka pintu. Dan pada akhirnya aku berhasil masuk ke dalam ruangan sunyi ini.
Lega rasanya. Kututup kembali pintunya. Aku maju selangkah. Kupandangi seluruh isi perpustakaan ini. Tepat di depanku sekira 5 meter, ada 6 perangkat komputer yang tak berpenghuni. Layar monitor berwarna hitam yang menandakan bahwa komputer sedang mati. Kulirik ke sana ke mari. Dan yang kudapat adalah seorang pria memakai batik dan celana panjang hitam tengah membersihkan rak yang ada di sebelah kananku dengan menggunakan kemoceng. Pria berkacamata ini nampaknya tak mengindahkan kedatanganku. Pun aku juga tak mengindahkannya. Aku ingin mencari pencerahan di sini. Lampu 20 watt ini cukup jelas membuatku bisa menatap seluruh ruangan yang di dominasi oleh rak yang berisi buku.
Bel berbunyi. Dan si pria berkacamata itu sudah tak ada di tempat aku melihatnya tadi. Aku sedikit takut. Tapi, tiba-tiba datanglah segorombolan siswa di sekolahku berebut tempat mendapatkan 6 komputer tadi. Dalam sekejap, tempat ini menjadi pasar. Aku masih berdiri laiknya orang tak tahu jalan. Malu bertanya sesat di jalan. Aku tak tahu jalan pulang. Mungkin sebaiknya aku bertanya saja ke mana arah untuk pulang. Ah, kenapa aku berlebihan begini. Mungkin memang sebaiknya aku segara keluar dari tempat ini.
Aku beranjak ke arah pintu dengan ekspresi datar. Dan tiba-tiba secara tidak sengaja, aku menabrak seorang gadis yang sedang membawa buku. Praktis buku-bukunya berjatuhan. Ya ampun, adegan ini mirip adegan yang ada di film. Kulihat ia memunguti buku-bukunya. Setelah selesai, ia berdiri dan menatapku tajam.
“Kalau jalan pakai mata dong!” bentaknya.
Ya ampun, air liurnya muncrat. Aku tak tahu harus berbuat apa di depan gadis yang membuat jantungku berdetak lebih cepat seperti genderang mau perang. Darahku pun mengalir lebih cepat dari ujung kaki ke ujung kepala. Rambutnya panjang. Matanya hitam. Bulu matanya lentik. Hidungnya sedikit mancung.
Ia pergi meninggalkanku yang masih dengan mulut menganga. Mulutku baru bisa menutup ketika seekor lalat secara iseng masuk mulutku. Pertanyaanku adalah mana mungkin ada lalat di ruangan ber-AC seperti ini? Aku tersedak. Semua orang menolehku. Aku dengan terburu-buru pergi ke luar ruangan ini.
***
Aku masuk ke dalam kelas. Tapi agak sepi. Kutaksir ini waktu istirahat lantaran kulihat hanya ada beberapa siswa di kelas. Pantas perpustakaan juga ramai. Aku menghampiri bangkuku yang sedari tadi kutinggal sendiri. Ketika baru saja duduk, datanglah seorang gadis manis ke arahku.
“Hai, Riki,” sapanya sambil tersenyum. Ia duduk di kursi sebelahku.
Aku mengerutkan dahi. Ya ampun. Siapa ya gadis ini. Aku cuma hafal wajahnya tapi lupa namanya. Aku mencoba mengingatnya.
“Hai juga Sofi,” ucapku secara tidak senagaja.
Air mukanya berubah. Senyum manisnya hilang. Aku jadi merasa bersalah. Apa aku salah menyebut nama? Tapi dia menarik tanganku.
“Ke kantin yuk,” ajaknya.
“Ah, nggak deh. Makasih,” tolakku.
Ia malah pergi tanpa pamit dariku. Siapa sih dia? Kenapa tiba-tiba dia datang dan tiba-tiba dia pergi. Aneh. Tapi kenapa dia memanggilku Riki? Namaku kan Doni.
Yang kupikirkan sekarang adalah gadis yang tadi kutabrak di perpustakaan. Betapa anggunnya ia. Avril Lavigne tidak ada apa-apanya.
Lalu, tiba-tiba datang lagi gadis kupanggil Sofi tadi.
“Riki. Ini kubawakan kau semangkuk bakso.”
“Sofi. Kamu nggak usah repot-repot beliin aku bakso segala. Aku nggak lapar,” balasku.
“Oke. Baiklah. Jadi kenapa kamu salah menyebut namaku tadi?” tanyanya. Ia lantas menaruh semangkuk bakso itu di meja bangkuku. Ya ampun. Aku sebenarnya suka bakso. Tapi aku takut kalau aku diracuninya. Aku tak kenal dengannya. Aku harus waspada.
“Eh, memangnya namamu bukan Sofi? Berarti kamu Ana. Iya, namamu Ana kan?”
“Bukan. Namaku memang Sofi. Aku cuma ingin tahu. Apa kamu masih ingat dengan pacarmu.”
“Hah? Kamu pacarku?”
Aku menatapnya. Sofi memang cantik. Tapi masih kalah cantik dengan gadis yang kutabrak di perpustakaan tadi. Aku masih bingung dengan rentetan peristiwa hari ini.
Tiba-tiba Sofi tertawa. “Aku bukan pacarmu kok. Aku cuma bercanda. Kamu lupa siapa aku? Aku ini sahabatmu.”
Aku tersenyum lega. Tadinya aku berfikir apa yang harus kulakukan bila aku punya pacar sedangkan aku sendiri sedang jatuh cinta pada orang lain.
“Sofi, sahabatku. Kebetulan sekali kamu ada di sini. Aku ingin bercerita padamu.”
Sofi yang tadinya mengambil mangkuk bakso, mengembalikannya ke meja.
“Aku sedang jatuh cinta sepertinya. Tadi, aku pergi ke perpustakaan. Lalu ketika hendak pergi, aku menabrak seorang gadis yang teramat sangat manis sekali. Cantik sekali dia. Aku suka padanya. Lantas apa yang harus kulakukan ya? Aku sudah lama tidak jatuh cinta,” aku berusaha mengatur nafas.
Sofi terlihat bingung. “Ehm, coba saja dekati dia.”
“Bagaimana caranya?” tanyaku.
Sofi terlihat sedang berfikir. “Ya ampun,” katanya sambil menepuk dahi, “sekarang aku ada janji untuk diskusi dengan temanku. Maafkan aku ya, Riki. Sebentar aku pergi dulu. Nanti kita bahas lagi.”
Ia pergi meninggalkanku. Aku kecewa sekali. Dia bilang dia sahabatku, kenapa dia malah pergi. Aku cuma makhluk lemah yang sedang merasakan manisnya kehidupan remaja.
Kalau dipikir-pikir, sudah lama sekali aku tidak jatuh cinta. Terakhir aku jatuh cinta adalah sekira 5 tahun yang lalu. Saat aku jatuh cinta dengan teman sekelas sendiri di kelas 7 SMP. Dia sebenarnya sudah punya kekasih. Tapi cintaku begitu menggebu-gebu dan aku ingin dia menjadi kekasihku. Tapi aku tak ingin merebut kekasih orang. Karena terlalu semangat mengejar cinta, akhirnya aku dilabrak oleh kekasihnya. Hasilnya pulang sekolah babak belur dan kaki kananku patah karena kekasihnya membawa bala tentaranya.
Ketika ditanya orang tua aku gengsi untuk bilang kalau aku dikeroyok. Akhirnya aku bilang dengan dalih alasan aku jatuh sepeda.
Kisah cinta pertamaku memang tragis sekali. Malang nian nasibku.
***
Bel pulang sekolah berbunyi. Ketika aku ke luar kelas, tiba-tiba ada seorang perempuan memberiku secarik kertas. Kubuka kertas itu dan isinya seperti sebuah surat. Beginilah bunyinya:
“Untuk Doni, sayangku.
Doni, aku nggak tahu harus ngomong apa. Kamu benar-benar lupa siapa aku. Namaku bukan Sofi seperti yang kamu sebut tadi. Namaku bukan juga Rani seperti kau sebut kemarin. Bukan juga Ana, Ajeng, Desy, Lola dan Silvi yang kamu sebut sebelumnya.
Namaku Kirana. Aku benar-benar nggak nyangka kalau kamu lupa siapa aku sampai namaku juga. Aku ini pacarmu. Kenapa kamu lupa?
Aku panggil kamu Riki supaya kamu koreksi kalau aku salah panggil kamu. Supaya kamu sadar kalau nama kamu itu Doni. Ternyata kamu nggak ngingetin aku kalau nama kamu Doni. Apa kamu juga lupa nama kamu sendiri?
Yang lebih menyakitkan lagi, kamu bilang kamu sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis yang kamu tabrak di perpustakaan katamu. Itu menyakitkan hatiku.
Sudah lama katamu? Sudah lama tidak jatuh cinta? Ya, memang sudah lama. Kamu memang sudah lama tidak bilang kalau kamu sayang sama aku.”
Kirana
Ya ampun.
Jember, 29 September 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar