Senin, 18 November 2013

Sobat Kandang

Hamparan padi terpapar begitu saja. Tidak. Ada yang menanamnya. Tentu saja. Sang penanam padi disebut Petani. Namun, tak banyak petani yang sedang bekerja sekarang ini. Melainkan adalah pencari rumput. Adalah mencari rumput untuk ternak mereka.

Salah satu yang sedang mencari rumput adalah Doni. Ia sedang mencari rumput bukan untuk ternaknya. Ia tak punya ternak. Namun untuk dijual agar mendapatkan uang. Hari ini hari pertama ia mencari rumput. Dengan berbekal arit—berbentuk seperti clurit—dan karung, ia sudah terlihat seperti pencari rumput yang handal.

Ia memotongi rumput dengan bersungguh-sungguh. Ada linangan air mata di pipinya. Ia memikirkan bapaknya yang sedang sakit. Tak punya banyak uang. Lalu, juga adik-adiknya yang membutuhkan makanan. Ibu. Bagaimana dengan ibunya? Kata ‘ibu’ tidak ada dalam kamus Doni. Ia memanggilnya ‘Emak’. Emak meninggal ketika melahirkan adik Doni.

Tanpa terasa linangan air mata telah menjadi tangis.

“Aku harus tegar,” ucapnya. Ia sangat sedih.

Doni sudah selesai mencari rumput. Karung yang dibawanya sudah penuh rumput. Malahan banyak rumput yang mencuat ke luar dari karung. Ia istirahat sejenak dan duduk di pinggiran untuk berteduh. Ia mengingat-ingat atas dasar apa ia bekerja mencari rumput.

Ketika itu, di kelas Doni ada siswa baru yang bernama Johan. Johan merupakan anak yang berasal dari keluarga yang berada. Suatu ketika, Doni diajak main ke rumah Johan. Tentu saja Doni mau diajak bermain ke rumah teman barunya. Rumah Johan luas sekali. Halamannya pun seluas lapangan sepakbola. Johan benar-benar kaya, pikir Doni.

Doni diperlakukan bak raja. Ia diajak bermain PS. Tentu Doni mau. Kapan lagi dapat kesempatan bermain teknologi canggih seperti itu. Belum lama bermain PS, pembantu Johan datang dengan membawa banyak makanan. Ada minuman, es krim, puding, wafer dan lain-lain. Doni sangat terkejut.

“Johan, makanan sebanyak ini untuk siapa?” tanya Doni.

“Untukmu. Makan dan habiskan saja,” jawab Johan singkat.

Wajah Doni merah merona. Dengan lahapnya ia memakan hidangan yang telah disediakan oleh sang shahibul bait. Tapi, tiba-tiba, Doni menghentikan kegiatan memakan hidangan. Ia melirik pada Johan. Johan hanya tersenyum.

“Lho, kamu tidak ikut makan?” tanya Doni.

“Aku sudah kenyang, kawan. Kamu saja.”

Doni melanjutkan aktifitasnya lagi. Kali ini lebih ganas dari sebelumnya. Nun ia terlihat seperti orang yang benar-benar lapar. Ini awal persahabatan Doni dan Johan.

Namun, persahabatan itu mulai goyah dengan terjadinya suatu peristiwa yang mengejutkan Doni.

Tatkala itu, sedang ada ulangan Matematika di kelas mereka. Johan yang bangkunya dekat dengan Doni menendang ringan bangku Doni.

“Don, aku tidak bisa mengerjakan soalnya. Tolong beri aku contekan,” bisik Johan. Doni terkejut dengan sikap teman barunya.

“Lho, tadi malam kamu tidak belajar?”

“Tadi malam, aku main PS. Jadi tidak belajar. Ayolah.”

Doni diam sejenak. Ia lalu berfikir sambil duduk bertopang dagu.

“Doni, kau sedang apa, Nak?” tanya Ibu Shinta.

“Tidak, Ibunda. Saya hanya berfikir untuk dapat mengerjakan soal,” jawab Doni berdusta. Ia kembali mengerjakan soal dengan baik tanpa memikirkan apa yang dikatakan oleh Johan tadi. Ia benar-benar lupa, seakan-akan tidak pernah berbicara dengan Johan selama ulangan. Johan hanya dapat berusaha memanggil dan menendang bangku Doni. Namun, percuma. Semua itu tak digubris oleh Doni.

Ulangan pun telah usai. Doni mengumpulkan soal ulangan dengan percaya diri. Tapi, Johan. Ia gugup. Kertas ulangannya kosong tanpa coretan pena. Ibu Shinta pun mengeryitkan dahi tatkala Johan mengumpulkan kertas kosong.

“Johan. Ada apa denganmu, Nak?” tanya Ibu Shinta.

“Maaf, Ibunda. Saya tidak dapat mengerjakan soal,” jawabnya sedikit gugup. Namun, terlihat tenang.

Ibu Shinta hanya menggeleng kepala. Tanda kecewa. “Ibu sudah tahu alasan kamu,” kata Ibu Shinta. Johan terkejut. “Seharusnya kamu belajar. Bukan main PS. Esok hari, kamu ke ruangan Ibu untuk ulangan lagi ya, Nak.”

“Da-da-ri mana Ibunda tahu?” tanya Johan tergagap-gagap.

“Kamu pikir Ibu tidak mendengar teriakanmu pada Doni?” Teriakan? Mana ada teriakan. Johan tadi berbisik. Tapi, Ibu Shinta bisa tahu. “Ibu ada di belakangmu tatkala itu.”

Johan menunduk.

***

“Kamu. Ini semua gara-gara kamu,” teriak Johan. Ia menyenggol bahu Doni yang sedang membaca buku di bawah pohon rindang.

“Ada apa, kawan?” tanya Doni. Ia tenang saja, karena ia menganggap Johan hanya bercanda.

“Kamu nggak punya rasa dosa? Gara-gara kamu, aku jadi malu sama Ibu Shinta.”

“Lho, karenaku?” Doni membela diri.

“Kertas ulanganku kosong.”

“Itu kan salah kamu sendiri. Kamu tidak belajar tadi malam.”

“Tapi, seharusnya kamu memberikan contekan untukku. Agar aku dapat mendapat nilai bagus dan tak dibuat malu.”

“Atas dasar apa kamu mengatakan hal itu? Itu hakku,” kata Doni. Doni mulai meladeni Johan.

“Atas dasar PS dan makanan yang ku berikan padamu,” kata Johan.

Doni terkejut. “Maksud kamu?”

Doni mengeluarkan sesuatu dari tas. Ternyata buku kusam nun kotor dan sedikit berdebu. Buku itu bersampul plastik dengan rapi. Namun tak menghilangkan kesan kotor pada buku itu. Buku itu berjudul : Sang Pemimpi. Karya Andrea Hirata yang merupakan buku kedua dari tetralogi Laskar Pelangi.

“Hei. Itu bukuku. Kembalikan!” teriak Doni.

“Dasar miskin. Buku kotor seperti ini saja diminta. Aku bisa beli pabriknya,” kata Johan sombong. Doni menunduk. “Asal kau tahu. Untuk apa aku mengajakmu bermain PS? Untuk apa aku memberimu banyak makanan? Kau ini tak tahu balas budi.”

Doni tetap menunduk. Ia pasti meninggalkan buku itu ketika bermain ke rumah Johan. Ia sedih. Buku itu pemberian dari Bang Manaf, teman bapaknya. Yang mana Bang Manaf menemukannya di jalan. Bang Manaf seorang pemulung. Itu satu-satunya novel yang ia punya. Selebihnya, bapaknya tak mampu membelikannya buku.

“Sekarang begini. Ini semua kan ulahmu. Kau harus bertanggung jawab. Kau harus membayar ganti rugi atas PS dan makanan. Atau,” Johan memberi jeda. Doni menatap Johan, “buku ini akan ku bakar.”

Doni merasa dunia tak adil. Ia menunduk. Lalu, membiarkan Johan meninggalkannya sendirian sembari membawa bukunya. Ia berfikir. Darimana ia akan mendapat uang. Ia sedih. Sungguh sedih. Kenapa? Kenapa ini terjadi.

***

Kini Doni siap pulang dari mencari rumput. Ia melangkahkan kaki dengan semangat. Tanpa perlu takut. Harus mendapat uang, pikir Doni. Ia sudah tiba di rumah Haji Guntur untuk menjual rumput. Rumah Haji Guntur begitu luas. Haji Guntur adalah pemilik ternak paling besar di desa ini.

Ketika sampai di depan rumah Haji Guntur, Doni disambut ramah oleh seorang pemuda.

“Dik, mau jual rumput?” tanya pemuda itu.

“Iya, Mas.”

“Sebentar ya.” Pemuda itu lalu masuk ke dalam, Doni hanya dapat mengagumi rumah yang megah ini. Ternaknya berada di belakang. Kapan aku punya ternak sebesar ini ya, pikir Doni.

Pemuda itu pun kembali lagi. Ia sekarang tak sendiri. Bersama seorang pria setengah baya. Namun bukan Haji Guntur. Haji Guntur lebih tua dari orang ini.

“Maaf, Nak. Kami tak mau membeli rumput anak di bawah umur,” kata bapak itu.

“Tapi, Pak. Saya sangat membutuhkan uang,” kata Doni memelas. Bapak itu lalu memerikas karung Doni. Tapi lalu menggelengkan kepala.

“Tidak bisa, Nak. Pulanglah,” kata bapak itu halus.

“Tapi.....”

“Pulanglah!” bentak Bapak itu. Doni sangat terkejut. Pemuda yang tadi pun tak kalah terkejut. “Kami sedang sibuk.” Kini bapak itu berkata lembut.

Tiba-tiba ada suara sepeda masuk ke area rumah Haji Guntur. Orangnya berkumis tebal dan berkopiah. Badannya jangkung. Kulitnya sawo matang. Ia mengenakan baju batik. Mengendarai sepeda ontel yang begitu apik. Tanda dirawat dengan baik. Ialah Haji Guntur.

“Ada apa ini?” tanya Haji Guntur.

“Tidak ada, Pak. Anak ini hanya....”

“Diam,” kata Haji Guntur dengan halus dan mengedepankan telapak tangan. Lalu Haji Guntur menatap Doni. 

“Ada apa, Nak?”

“Saya hendak menjual rumput, Pak. Namun, tak dibolehkan oleh bapak ini. Saya sangat membutuhkan uang,” jawab Doni jujur.

Haji Guntur mengamati karung Doni. Ia menggelengkan kepala. “Tak bisa, Nak.” Doni diam dan menundukkan kepala. “Saya tidak memperkerjakan anak di bawah umur.”

“Saya bukan bekerja pada bapak. Saya hanya ingin menjual rumput.”

“Tetap tidak bisa.” Pria setengah baya tadi nyengir. Tanda menang. “Tapi, kamu bisa juga bekerja di sini. Rumput ini saya ambil. Bagaimana?”

Doni terkejut bukan main. “Jadi?” tanyanya. Matanya berkaca-kaca.

“Rumput ini saya ambil. Dan kamu bekerja di sini mengolah celetong—kotoran sapi. Sebenarnya saya tak memperkerjakan anak di bawah umur. Tapi, sepertinya kamu memang membutuhkan uang.”

“Saya mau, Pak.”

“Iya. Dengan syarat, kamu harus tetap belajar. Kamu sepertinya masih sekolah. Kamu sekolah di mana? Kelas berapa?”

“Saya bersekolah di SD Soekarno. Saya kelas IV. Saya berjanji akan bekerja dengan rajin tanpa lupa belajar.”

 “Bagus. Jam kerja kamu antara pukul tiga hingga 5 sore.”

“Terima kasih banyak, Pak.” Doni menyalami Haji Guntur, bapak setengah baya dan juga pemuda tadi. Haji Guntur tersenyum. Satu hal yang membuat Doni heran. Haji Guntur bilang, ia tak memperkerjakan anak di bawah umur, namun kenapa memperkerjakan Doni. Doni pun tak memikirkan lagi. Ini kabar gembira. Aku harus cepat pulang, kata Doni dalam hati.

***

Doni berangkat ke rumah Haji Guntur dengan semangat. Ia akan bekerja hari ini. Hari pertama kerja. Ia disambut ramah oleh Haji Guntur.

“Selamat siang, Nak,” kata Haji Guntur. Doni hanya tersenyum. “Kamu sekarang ke belakang sana. Temui seorang anak sebaya denganmu.”

Doni mengangguk dan langsung berlari menuju seorang anak yang sedang mengolah celetong. Ia melihat anak itu sambil tersenyum sendiri. Anak itu memakai sarung tangan.

“Selamat siang, kawan.”

Doni terkejut. Ia seperti mengenal anak itu. “Selamat siang juga.”

“Aku teman sekolahmu. Namaku Dimas. Kita sama-sama kelas IV. Tapi, aku kelas IVB, dan kamu kelas IVA.” Doni hanya melongo mendengar penuturan Dimas. “Namamu Doni, bukan?” Doni mengangguk. “Haji Guntur itu kakekku. Aku merasa senang kau bisa bergabung dengan kami. Akan ku ajari cara mengolah celetong. Celetong ini nanti akan menjadi pupuk kandang.”

Kian hari Doni dan Dimas semakin akrab. Hingga satu minggu mereka pun bagai pinang dibelah dua. Mereka belajar bersama, bermain bersama dan ke manapun bersama. Satu minggu telah membuat mereka menjadi sahabat. Suatu ketika Dimas bercerita.

“Aku ingin bercerita. Aku punya kisah sedih.”

“Cerita saja. Aku juga punya cerita sedih. Aku nanti juga ingin bercerita padamu,” kata Doni.

“Aku punya novel. Novel itu pemberian dari kakakku yang bersekolah di Jakarta. Tapi, beberapa hari yang lalu, novelku itu hilang,” kata Dimas dengan sedih. “Aku tak tahu harus bagaimana.”

“Nasib kita sama.” Dimas menatap Doni. “Aku juga kehilangan novel. Novelku disandra oleh temanku. Ia mengancam akan membakar novelku itu jika aku tidak memberinya uang.”

Doni dan Dimas pun berbicara ke sana ke mari. Hingga mereka lupa waktu. Banyak yang telah mereka bicarakan dan utarakan. Sahabat.

***

Johan membawa buku yang telah usang. Buku milik Doni. Ia merasa takut membakar buku itu. Kemarin, ketika ia mengaji, Pak Ustadz telah berkata bahwa buku adalah sumber ilmu. Membaca adalah perintah Tuhan agar kita menjadi orang pintar. Johan benar-benar takut. Ia tak ingin membakar sumber ilmu.

Kini ia melangkahkan kaki menuju rumah salah seorang temannya. Ia ingin bercerita tentang kelakuannya terhadap Doni. Dia merasa sangat bersalah. Kini ia pun sadar. Setelah satu hari dia mengaji dan mendapat ceramah dari ustadz ia kini tahu kalau ia selama ini salah.

Johan berjalan dengan tergesa-gesa. Gugup, grogi, rasa bersalah. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.
Ia sudah sampai di depan rumah temannya itu. Ia lalu masuk ke dalam dan menuju tempat temannya biasa bertapa. Tapi, alangkah terkejutnya Johan. Temannya itu sekarang bersama Doni.

“Dimas!” teriak Johan.

“Hai, Johan. Apa kabar? Sudah lama kau tak ke sini, kawan.” Dimas menyambut Johan dengan ramah. “Oh iya. Perkenalkan, ini teman baruku. Namanya Doni.”

Doni dan Johan sama-sama terkejut. “Kami sudah saling kenal, Dim,” kata Johan dan Doni bersamaan. Dimas terkejut.

Akhirnya, Johan menceritakan semua yang telah terjadi. Mulai dari PS dan buku itu. Johan meminta maaf pada Doni. Doni pun memaafkan temannya itu. Johan mengembalikan buku Doni.

“Nah, sekarang kita sudah berteman lagi. Kita adalah sahabat,” kata Dimas. Ia sangat gembira. “Eh, kalau boleh tahu, itu buku apa?” Dimas mengambil buku itu dari genggaman Doni. Lalu ia melihat-lihat buku itu. 

“Sang Pemimpi? Ini kan bukuku.”

“Jadi, itu bukumu yang hilang?” kata Doni.

“Iya.”

“Ya, sudahlah, kawan. Kita telah bersahabat sekarang. Sebagai perayaan, aku akan ikut kalian mengolah kotoran sapi.”

Dimas, Doni dan Johan adalah anak yang baik. Terlebih mereka adalah anak yang pintar. Hati mereka terbuka untuk saling mengisi satu sama lain. Saling mengingatkan jika salah satu dari mereka melakukan suatu hal yang kurang tepat.

Jember, 17 Mei 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar