Dian berjalan dengan terburu-buru. Ia takut terlambat datang latihan. Maka ketika sampa di dojo, ia lantas mengganti baju dan mulai ikut latihan. Ini latihan karate pertamanya di Surabaya. Sebelumnya ia sudah ikut karate di Jember. Tapi, kini ia pindah sekolah di Surabaya dan tentu saja harus mengikuti latihan karate di Surabaya.
Mula-mula ia pemanasan lalu mulai latihan inti. Tiba-tiba ia dipanggil oleh pelatih karate.
“Nak, kamu pasti anak baru ceritakan tentang dirimu, supaya teman-temanmu tahu. Dan untuk yang lainnya, tolong dengarkan dia memperkenalkan diri,” katanya.
Dian maju dengan ragu. Lalu mulai memantapkan diri. “Nama saya Dian. Diana Tunggadewi. Saya pindahan dari Jember. Saya siswa kelas 6. Saya harap, kita bisa saling membantu nantinya.”
Salah seorang siswa mengangkat tangan.
“Ya, silahkan.”
“Hai, Dian. Namaku Nani. Sudah berapa lama kamu ikut karate?”
“Terima kasih. Saya ikut karate sejak kelas 4 SD. Jadi, kira-kira sudah satu setengah tahun.”
“Wah, hebat. Baru satu setengah tahun sudah sabuk cokelat,” kata Nani yang masih sabuk biru. Dian menganggukkan kepala.
“Baiklah anak-anak mari kita mulai latihan.
Para siswa SD Pemuda pun berlatih karate dengan serius. Dian juga berusaha untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Tiba-tiba ia tersenyum. Tau begini, aku nggak akan ikut latihan karate di sini, katanya dalam hati. Ia melihat beberapa anak yang sudah sabuk cokelat juga, tapi gerakannya masih amburadul. Ada yang mencoba menendang tapi ngawur dan tidak benar. Begitu juga dengan pukulannya. Kalau gitu gimana bisa numbangin orang? Pikirnya lagi. Ada sedikit rasa sesal ia datang latihan sore ini.
Dua hari kemudian, pada saat latihan, Dian datang lagi. Kali ini Dian datang saat latihan belum dimulai. Pelatih pun masih belum datang. Dian mencoba mengenal sekelilingnya. Di sana ada Nani, orang yang kemarin sempat bertanya padanya. Nani lalu menghampiri Dian.
“Hai, Dian. Baru datang ya?” tanya Nani mencoba ramah.
“Hai juga. Iya baru saja,” jawab Dian ketus.
“Gimana? Enak nggak latihan di sini?”
“Enak juga. Tapi, negliat anak yang latihan di sini terasa aneh. Udah sabuk cokelat kok masih pada belum bisa mukul dan nendang sih?”
“Maksud kamu?”
“Mereka nggak bisa apa-apa. Lihat aja. Dasar karateka tempe.”
Beberapa siswa yang sabuk cokelat pun merasa tersindir. Mereka menghampiri Dian dan Nani.
“Ada apa ini?” tanya seorang cowok.
“Nggak ada apa-apa kok,” kata Nani.
“Kalian tahu? Kalian cuma akan merusak citra baik karate. Kalian itu nggak bisa mukul dan nendang. Karateka tempe.”
“Hah? Memangnya kamu bisa?”
Deg! Dian jadi grogi. Benar juga. Ia tidak yakin kalau dia bisa mukul dan nendang dengan baik. Apa dia salah menilai teman-teman barunya?
“Bisa.”
“Coba peragakan.”
Dian pun memeragakan beberapa tendangan. Tapi ia berkali gagal dan jatuh. Teman-temannya menertawakannya.
“Hahahahahaha....”
“Diam!!” bentak Dian.
“Itu karate a la Dian? Bercerminlah. Kamu itu Karateka tempe,” kata seorang cowok lain.
Dian merasa bersalah. Ia juga salah menilai teman-temannya. Terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Ia kini merasa malu sekali. Untung dia tidak dijuluki ‘Si Pecundang’. “Maafkan aku ya, teman-teman.” Teman-teman mengangguk pasti.
Jember, 4 Desember 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar