Senin, 18 November 2013

PS 3

Rio baru tiba di rumah pukul 8 malam. Tak biasanya Rio seperti ini. Rio baru saja dari rumah Nanda. Mereka baru saja bermain PS 3 di rumah Nanda.

“Ini, sangat elit. Kau tahu? Di daerah sini, hanya aku yang punya benda ini. Kau tak ingin memilikinya juga?” kata Nanda menggebu-gebu.

“Apa? Benda apa itu?” tanya Rio.

“PS 3 (Pe-Es tiga),” kata Nanda sambil tersenyum.

Sudah sebulan ini Rio kecanduan PS. Biasanya selepas pulang sekolah hingga larut malam ini Rio hanya bermain PS saja dengan Nanda. Sampai mereka lupa waktu. Ketika pulang Mama benar-benar marah. Lalu Mama pun berusaha tenang.

“Kamu ini kenapa, Rio?” tanya Mama.

“Aku hanya suka dengan PS 3 itu,” kata Rio. Mama mengerutkan kening. “Ma, belikan aku PS 3.”

“Kamu pikir PS 3 itu benda macam apa? Mama tidak akan membelikannya.”

“Kumohon, Ma.” Mama tetap tidak menyahut. “Begini. Jika aku nanti meraih peringkat satu di kelas. Aku minta hadiah. Yaitu PS 3.”

Mama menoleh. “Kamu yakin?”

“Yakin apa?”

“Bisa jadi peringkat satu?” tanya Mama. Rio mengangguk mantap.

Rio sebenarnya tidak yakin ia bisa meraih peringkat satu. Karena sejak kelas 1 hingga kelas 4 paling tinggi ia hanya bisa peringkat 5. Peraih peringkat 1 sejak kelas 1 adalah Nanda. Dan PS 3 itu hadiah dari orang tua Nanda atas prestasi Nanda. Kini di kelas 5, ia malah merasa tak yakin. Apalagi dengan kondisinya yang sedang kecanduan PS.

“Deal.”

Ujian semester pun tiba. Rio belajar dengan giat. Tapi ia masih merasa belum bisa menguasai pelajaran. Akhirnya ia menempuh jalan paling berbahaya dia dunia pendidikan: mencontek. Rio membuat contekan dengan sedemikian rupa. Ia menulisnya di kertas. Tapi, ia juga harus pandai-pandai menjaga kertas itu agar tidak ada orang yang tahu.

Ketika ujian, Rio menyelipkan kertas iu di bawah meja. Kadangkala di kaos kakinya. Kadang-kadang di saku baju dan celananya juga. Tidak ada yang tahu. Rio benar-benar lihai.

Ujian semester selesai dan pembagian rapor pun tiba. Benar Rio meraih peringkat satu. Dan Nanda harus tergeser di peringkat dua.

“Selamat ya, Rio. Kamu hebat,” ujar Nanda.

Rio tersenyum saja. Ia langsung berlari pulang ke rumah sambil membawa rapor di tangan. Tapi, sial. Hujan mulai turun, tapi Rio tetap berlari. Karena kurang hati-hati, Rio pun terjatuh dan rapornya basah.

Setiba di rumah Rio sudah basah kuyup. Mama marah-marah lagi.

“Kamu kan sudah tahu hujan sedang lebat-lebatnya,” kata Mama.

Tapi Rio hanya tersenyum. “Surprise.”

Mama pun ikut tersenyum. “Hebat kamu. Itu PS 3-nya sudah Mama belikan.” PS 3? Cihuy, kata Rio dalam hati. Sungguh tak percaya. Mama sudah membelikan PS 3 ternyata. Dan terlebih lagi, kini Rio punya PS 3 sendiri. “Tapi ingat. Jangan sampai nilai kamu turun. Jangan sampai kamu ingin meraih peringkat 1 itu demi PS 3.”

Deg. Tiba-tiba Rio merasa deg-degan. Ada apa ini, pikir Rio.

Sebulan kemudian, Mama dipanggil ke sekolah. Nilai Rio turun drastis. Hampir pada semua ulangan Rio mendapat nilai yang kurang baik. Dan ketika pelajaran pun Rio sering tidur.

“Tadi Mama dipanggil ke sekolah. Kamu kenapa? Apa semua ini karena benda itu?!” bentak Mama sambil menunjuk PS 3. “Kamu harus belajar yang rajin. Jika tidak, PS ini akan Mama jual. Untuk sementara PS Mama ambil. Jangan-jangan, di malam hari kamu juga main PS di kamar.”

“Dari mana Mama tahu?”

“Sudahlah belajar yang rajin. Dan jangan sampai tertidur di dalam kelas.”

Rio sadar. Ia salah. Ia mendapat peringat 1 dengan tujuan mendapat PS. Apalagi cara mendapat peringkat 1 itu, dia menggunakan cara yang salah.

“Maafkan aku, Mama,” ucapnya lirih.

Ambulu, 7 Desember 2010
Aditya Prahara 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar