Senin, 18 November 2013

Hilang Sudah

Aku duduk di kursi ruang tamu dengan malas. Hari ini bukan hari minggu. Hari ini juga bukan hari libur. Hari ini bukan hari libur nasional. Semua siswa di sekolahku masuk sekolah dengan lancar seperti biasanya. Semua teman-temanku merasakan enaknya duduk di bangku nan kusam namun indah dengan siraman ilmu dari guru. Tapi, aku? Aku duduk di sini bagai seorang pecundang. Sungguh menyedihkan. Tapi, aku bukan benar-benar seorang pecundang. Aku tak boleh sekolah. Aku sedang diskors dengan alasan yang aneh. Benar-benar kecewa aku terhadap lembaga tempatku menuntut ilmu ini.

Rumah ini begitu sepi. Ibu dan ayahku sedang bekerja. Dan aku ditinggal sendiri di sini. Menemani dinding yang mulai kotor dan banyak sarang laba-labanya.

Aku menuju kamarku. Mengambil buku tebal kusamku dan menulis sesuatu. Lama-lama aku menikmati ini. Asyiknya menulis dan mengeluarkan uneg-unegku. Paling tidak aku bisa melampiaskan semua ini.

Tapi, aku ingin ke sekolah. Benar-benar ingin. Aku sudah berjanji, satu mata pelajaran pun tak akan aku lewati. Aku ambil seragamku. Langsung kukenakan. Ya, aku sudah yakin. Aku akan sekolah. Aku tak peduli mendengar cemoohan para guru.

Semua pintu aku kunci. Aku yakin tak akan ada pencuri masuk ke sini. Aku siap dengan sepeda gunungku. Menuju sekolah 4 km dari rumah.

***

Aku sampai di depan gerbang sekolah. Gerbang sekolah ditutup, tapi tidak dikunci. Aku melihat Pak Andri—satpam di sekolahku—sedang berjaga sambil membaca buku.

“Selamat pagi, Pak,” sapaku padanya.

Pak Andri terkejut hingga hampir jatuh dari tempat duduknya. Ia membetulkan posisi duduknya. Menoleh ke sana ke mari memeriksa, hantu blawu mana yang memanggilnya tadi. Akhirnya ia menoleh padaku. Lalu meletakkan bukunya. “Selamat pagi. Lho, Mas Andi kok masuk sekolah. Katanya Pak Noto—waka kesiswaan—Mas Andi diskors dan nggak boleh masuk sekolah,” ujar Pak Andri. Aku tidak terkejut dengan ucapannya.

“Memang betul, Pak. Tapi, saya ingin sekali masuk sekolah. Apa bapak tidak ingin punya ilmu banyak? Saya sangat ingin sekolah hari ini,” kataku padanya memelas.

“Tapi, saya sudah diberi amanat.”

“Apa bapak tega melihat makhlukNya ingin sekolah tapi tak boleh?”

“Lho, jangan bawa-bawa namaNya. Ini tak ada sangkut pautnya denganNya.”

“Saya mohon.” Aku memohon dengan mimik wajah meyakinkan.

Sepertinya rayuanku mulai bereaksi. Lantas Pak Andi menyalamiku dan mempersilahkanku masuk, tapi dia ingin meminta surat keterangan dariku kalau aku sedang bersekolah. Kuturuti kemauannya.

Aku melangkahkan kaki dengan terburu-buru. Aku melewati koridor sekolah yang sangat panjang—menurutku. Langsung aku menuju kelasku. Tapi, sepertinya tidak bisa. Aku tak ingin terjadi kerusuhan seperti sebelumnya. Maka, aku putuskan untuk duduk di bangku yang berada di luar kelas saja. Aku masih bisa melihat papan tulis yang ada di dalam kelas.

Aku mengeluarkan buku. Tidak ada orang yang tahu gerak-gerikku yang seperti maling hendak mencuri ayam ini. Hanya Pak Andri yang tahu. Aku mulai mendengarkan petuah guru. Ibu Endang. Iya, guru mata pelajaran Matematika yang sedang mengajar. Aku mendengarkan dengan seksama.

“Jadi, sudah tahu semua ya. Persamaan kuadrat ini sudah dijelaskan di waktu SMP. Saya yakin kalian pasti bisa. Coba kalian baca dulu. Nanti akan saya tanyai satu per satu,” ujar Ibu Endang.

Aku segera membuka buku Matematika. Untung saja aku membawanya. Aku membaca apa yang dikatakan oleh Ibu Endang. Semuanya ku cermati. Kupahami satu per satu. Sesekali aku mengangguk tanda mengerti.
Tiba-tiba Pak Noto datang padaku dan mengagetkanku.

“Anak nakal, apa yang kau lakukan di sini?”

“Belajar, Pak,” jawabku santai.

“Kamu sedang saya skors, kenapa malah sekolah. Ayo cepat keluar,” bentaknya.

Aku berdiri dan lalu mencoba berunding padanya.

***

Sekarang jam pelajaran Bahasa Perancis. Ada presentasi di kelas kami. Guruku Pak Hari, menyimpulkan dan memberi sedikit materi.

“Nah, itu, anak-anak. Itu tadi hasil presentasi dari teman-teman kalian. Minggu depan kelompok berikutnya harus lebih baik lagi. Paham?”

“Paham.”

“Andi, apa yang sedang kau lakukan, Nak?” Pak Hari memergokiku tak memperhatikannya.

“Ah, tidak, Pak. Saya sedang membaca buku,” jawabku.

“Tutup bukunya. Sekarang waktunya dengarkan saya,” perintahnya. Aku menuruti apa yang beliau suruh.

Ceramah dari beliau lambat laun tak ku dengarkan. Aku ingin mencari sesuatu yang menarik perhatian. Kulihat temanku yang bernama Alfin sedang asyik tidur. Sedikit-sedikit menguap. Tapi, alangkah terkejutnya aku ketika aku melihat Roma, si juara kelas, juga tertidur di bangkunya. Mereka kok tidur sih, batinku. Kupotret Alfin dan Roma yang sedang tidur di tengah pelajaran. Yaps, dapat. Bel pun berbunyi.

“Baik. Cukup sekian. Tolong yang sedang tidur dibangunkan.” Teman sebangku Alfin membangunkannya. 

“Hari ini ada satu siswa yang sepertinya tidak bersemangat belajar. Dia tidur saja. Alfin mendapat nilai C.”

“Lho, Pak?” ujar Alfin.

“Kamu memang tidur kan?” tanya Pak Hari.

Alfin menunduk. “Pak, tapi tak hanya.....” belum selesai aku berbicara langsung saja dipotong oleh beliau.

“Sudah. Sekian. Wassalamu alaikum.”

Aku terbengong melihat Pak Hari. Aku punya rencana.

Keesokan harinya, teman-temanku gempar. Mereka menghampiriku tatkala aku melangkahkan kaki masuk ke dalam kelas. Aku bak artis yang sedang naik daun.

“Ndi, di facebook dan blog-mu itu apa maksudnya?”

“Apa sih?”

Temanku yang sedang online menunjukkan apa yang dimaksudnya. Aku hanya tersenyum melihat foto dan artikel yang ada di sana.

“Ya agar guru di sini tak seenaknya. Beliau itu pilih kasih. Ya sudah aku tulis saja supaya banyak khalayak yang sadar,” ujarku.

Teman-temanku diam. Lalu kembali ke bangku masing-masing. Pak Noto datang menghampiriku.
“ANDI! Ikut saya ke ruang waka sekarang juga.”

Aku membuntuti beliau. Santai saja kuhadapi beliau. Begitu sampai, terasa nyaman sekali ruangannya. Ada AC-nya. Asyik. Ruangan ini hebat juga ternyata. Ruangan yang dilengkapi dengan AC dan TV.

“Terangkan ini!” beliau menunjuk pada layar laptopnya.

“Oh, ini. Saya hanya berpendapat saja. Bahwa guru itu tak bisa seenaknya. Coba saja bapak fikir. Kalau orang sama-sama tidak bekerja, pasti sama-sama tidak dapat uang bukan?”

“Iya. Lalu apa hubungannya?”

“Anak yang sama-sama tidur di dalam kelas harus sama-sama dapat nilai C. Tapi, kemarin di kelas kami, hanya Alfin saja. Padahal Roma juga sedang tidur. Kenapa? Apa karena Roma itu juara kelas. Apa hubungannya?”

“Bukan itu. Kamu melanggar peratutan di sekolah ini. Yaitu mencemarkan nama baik sekolah ini lewat via internet. Kamu diskors selama satu minggu.” Pak Andi pergi melangkahkan kaki.

***

“Setelah bapak lihat, ini merupakan masalah yang lumayan rumit. Kamu telah membuat sekolah ini mempunyai imej yang buruk. Pak Hari juga salah memberi nilai. Buktimu cukup kuat, karena tak hanya foto tapi video juga. Seharusnya kamu tak bermain HP tatakala jam pelajaran. Dan tempat kamu menuangkan pendapatmu adalah tempat yang salah. Kamu tahu sendiri kan blog dan facebook itu kan dilihat oleh orang se-dunia. Jadi, dengan cepat akan banyak yang tahu. Di sini ada waka sarana dan pra-sarana. Silahkan kamu menuangkan uneg-uneg yang ada di sana,” kata Pak Noto Panjang lebar.

“Iya, Pak. Terima kasih. Saya boleh masuk sekolah lagi kan, Pak?”

“Boleh. Asal jangan kamu ulangi itu lagi. Guru itu juga manusia. Jika ada yang salah juga perlu ditegur. Jangan gunakan internet lagi ya. Sekarang kamu kembali ke kelasmu dan belajarlah yang rajin.”

Artikelku yang berisi mengenai ‘Cerobohnya Pak Hari’ dicabut dari internet. Aku dianggap melanggar. Aku sempat sama sekali tak mempunyai rasa hormat pada Pak Hari. Jengkel sekali melihat ulah guru seperti itu. Tapi, setelah aku melihat Pak Hari meminta maaf pada Roma dan Alfin, aku mulai menghormatinya lagi. Rasa jengkelku pada Pak Hari sudah hilang. Kini, aku tak jengkel lagi pada beliau. Bagaimana pun juga beliau adalah guruku.

Ambulu, 05 Juli 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar