Ia adalah seorang seniman. Mbah Sastro namanya. Mendalang pun bisa. Bernyanyi atau nembang, menari, bermain gamelan dan sebagainya. Ia seorang seniman Jawa. Tapi namanya Sastro.
“Seni memang sudah menjadi hidupku, le. Kamu tanya tentang namaku? Aku hanya bisa sedikit saja mengenai sastra. Menulis,” katanya sambil terkekeh-kekeh.
Ia sudah berusia 70 tahun. Tinggal di sebuah gubuk reyot sendirian. Dulu waktu aku kecil aku sering main ke rumahnya itu. Tapi, sekarang sudah tidak lagi. Mbah Sastro adalah seorang petani. Ia menjadi buruh tani di sawah milik keluargaku.
“Ya beginilah. Aku ini petani yang menyukai seni,” katanya ketika masih menjadi petani. Kini ia bukan lagi petani yang menyukai seni. Tapi, seniman yang pernah menjadi petani.
Di belakang rumahnya ia menanam pohon pisang dan ketela. Sesekali aku turut membantu Mbah Sastro mengolah tanamannya. Kadangkala, ketika aku bertandang ke rumahnya, kami jagongan hingga larut malam. Terpaksa, aku pun menginap di rumahnya.
Di pagi hari, Mbah sastro menembang lagu Jawa dengan sangat khidmat. Merdu sekali suaranya.
“Banyak-banyaklah minum jahe, le,” katanya. Gigi-giginya keropos. Ompong di sana-sani.
Meski sudah tua, Mbah Sastro mempunyai semangat yang luar biasa. Ia memang sudah tidak bekerja. Ia pun sudah tidak tergolong sebagai angakatan kerja. Penghasilannya diperoleh dari melukis. Ada banyak sekali lukisan dirumahnya. Dari lukisan inilah ia mendapat uang.
Aku sempat minta diajari melukis. Namun ternyata, aku memang tidak punya bakat melukis. Darah melukis memang tidak ada. Ayahku seorang polisi, sedangkan ibuku seorang guru.
Lukisan-lukisan itu berjejer di dinding rumah Mbah Sastro. Ada sekitar lima lukisan di dalam rumah ini. Ada yang bergambar wekudoro dengan kuku pancakanakanya. Werkudoro biasa disebut Bima. Ia adalah satu dari Pandawa Lima.
“Dia itu kstaria yang gagah. Kamu tahu anaknya?”
“Gatotkaca, Mbah,” jawabku.
“Nah, itu kamu tahu.”
Mbah Sastro pun melanjutkan cerita pewayangan. Aku suka sekali dengan beliau. Benar-benar mengerti budaya Jawa. Aku bisa belajar banyak dari beliau.
“Mbah....”
“Apa?”
“Bisa main reog nggak?” tanyaku.
“Agak susah, le,” jawabnya.
“Kenapa, Mbah?”
“Lha wong, gigiku sudah kayak gini. Mana bisa,” katanya sambil terkekeh-kekeh.
“Reog itu kesenian dari Ponorogo. Kamu tahu kan kisahnya?”
“Iya, Mbah. Saya sudah baca itu.”
“Aku dulu waktu muda juga bisa ngreog. Tapi, sekarang kan wis sepuh. Jadi, ya nggak kuat lagi. Di Jember ini lumayan banyak yang masih mau melestarikan reog. Di desa kita saja ada lima komunitas pecinta reog dan juga mempunyai reog. Kamu bisa tanya banyak mengenai reog pada mereka. Aku juga nggak seberapa tahu, le.”
Begitulah jawabannya. Jika ia tak bisa membantu maka ia akan mencarikan orang yang dapat membantu.
“Mbah, dulu juga ikut perang kan?”
“Wah, jelas iya dong.”
“Cerita dong, Mbah.”
Tiba-tiba, Mbah Sastro menitikkan air.
“Kenapa, Mbah?”
“Susah untuk cerita. Dulu itu aku sekolah, susahnya minta ampun. Usia remaja sudah diajari menggunakan bambu runcing dan diajak perang. Aku dulu waktu pertama kali sekolah diberi tahu guruku, bahwa meskipun nanti aku tidak bisa sekolah, aku harus banyak membaca. Katanya dengan membaca aku bisa banyak tahu hal. Makanya aku punya beberapa buku tua.”
Beliau berhenti sejenak.
“Aku bisa membaca tiga macam huruf. Huruf hijaiyah, latin dan jawa. Makanya ada beberapa buku wayang yang ditulis dengan aksara jawa. Tapi mataku sudah tidak awas lagi.”
“Mbah kan bisa membaca kenapa hanya bekerja sebagai petani?”
“Walah. Aku nggak pingin repot. Yang penting hidup serba kecukupan aja. Kalau banyak harta kan malah bingung harus buat apa. Yang penting aku bisa baca. Jadi banyak tahu perkembangan kehidupan.”
“Mbah bisa ngaji juga kan?”
“Bisa dong, le. Dulu waktu muda Mbahmu ini seorang guru ngaji.”
Itulah beliau. Penuh kejutan. Aku pun baru tahu, ternyata beliau itu seorang guru ngaji. Benar-benar multi-talent. Belum lagi mengenai pertanian.
“Darimana Mbah belajar bertani?”
“Walah sudah keturunan, le. Aku juga ikut-ikut aja. Makanya bisa.”
“Aku bisa belajar dong?”
“Bertani?”
Aku mengangguk.
“Kamu kenapa belajar bertani. Kamu sekolah yang tinggi, le. Biar jadi orang. Kan tadi Mbah sudah bilang. Jaman dulu sekolah itu susah. Makanya Mbah ya hanya bertani aja. Lha, kamu kan beda. Sudah modern dan maju. Pendidikan sudah dengan mudahnya diperoleh. Kamu belajar mengenai teknologi. Bagus sekali itu.”
“Gitu ya, Mbah? Tapi kan aku juga ingin tahu.”
Mbah Sastro berpikir sejenak.
“Ya, kapan-kapan ya. Aku kan juga tidak kuat lagi,” katanya lagi. Tentu saja sambil terkekeh-kekeh.
Aku benar-benar kagum.
***
Aku melangkahkan kaki menuju rumahnya. Tapi, aku terkejut melihat sebuah mobil ada di depan rumahnya. Aku pun mempercepat langkahku.
“Assalamualakum....”
“Wa’alaikumsalam. Masuk, le,” kata sebuah suara yang khas, suara Mbah Sastro.
Aku pun masuk. Di ruang tamu ada dua orang. Yaitu, Mbah Sastro dan seorang lelaki paruh baya. Terlihat beberapa barang-barang yang sedang dikemasi. Lukisan-lukisannya pun hilang. Entah ke mana. Jangan-jangan Mbah Sastro akan digusur
“Ada apa ini, Mbah?”
“Duduklah di sini.”
Aku pun menuruti beliau.
“Kenalkan. Ini putra pertamaku. Namanya Indro. Panggil dia Pak Indro.”
Aku tersenyum dan menyalami Pak Indro.
“Aku terpaksa harus pindah, le. Aku kan sudah tua. Sudah tak sanggup untuk mengurus diri sendiri. Jadi, anakku ini datang untuk menjemputku.”
Apa dayaku. Aku bukan siapa-siapanya. Aku hanya bisa menunduk lesu. Pun merasa kecewa.
“Kalau kau ingin belajar seni dan lainnya. Kau masih bisa menghubungiku. Karena aku akan tinggal di dekat sekolahmu. Nanti akan ku beri alamatnya.”
Aku langsung semangat lagi. Lalu, mengangguk pada Mbah Sastro.
“Terus, bersemangat ya. Masih banyak orang yang tak seberuntung kamu.”
Ambulu, 6 Desember 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar