Pak Tukang siap dengan proyeknya. Tukang bangunan. Atau aku biasa menyebutnya Pak Tukang. Ini adalah hari pertama mereka bekerja di rumahku. Di sebelah kiri rumahku dibangun pondasi baru untuk ruang keluarga. Karena ruang keluarga di rumahku akan menyatu dengan ruang tamu, sehingga nantinya ruang keluarga akan menjadi ruang tamu.
Aku ke luar rumah. Duduk di teras samping. Tampak ada 15 belas Pak Tukang. Semuanya memakai celana panjang dan bertopi. Ada yang memakai sepatu boot, dan ada pula yang memakai sendal jepit. Mereka menyusun batuan untuk pondasi. Ada pula kuli yang mengaduk adonan bangunan. Adonan berupa campuran antara pasir, gamping, dan semen. Si kuli bangunan mengaduk dengan cangkul. Tak lupa memakai sepatu boot.
Hari sudah siang. Pukul 13.30. Matahari sedang teriknya. Pak Tukang tetap bekerja. Pukul 12.00 tadi, Pak Tukang istirahat dan makan siang. Benar-benar asyik melihat Pak Tukang yang sedang bekerja. Ada benang, cangkul, sekop, cetok, timba, batu, batu bata, pasir, gamping, topi di kepala mereka, ada pula yang merokok. Pak Tukang menandai tanah yang digali dengan benang. Dipinggiran sasaran gali ada kayu. Di kayu itulah, Pak Tukang menalikan talinya. Begitulah cara meluruskan galian.
Para kuli mengangkat batuan untuk pondasi. Pak Tukang meletakkan ke lubang galian. Tertata rapi. Batu-batuan pun ada yang berukuran kecil, sedang dan besar. Dari 15 Pak tukang, ada 6 kuli bangunan. 3 orang kuli mengangkat batu-batuan. Dan 3 orang lainnya mengaduk adonan dengan cangkul.
Salah seorang Pak Tukang membuka lembaran. Mungkin itu ketuanya. Aku yakin yang dibuka pasti denah bangunan yang akan dibangun. Terbayang di benakku, jika suatu saat aku menjadi Pak Tukang. Lalu, punya proyek besar, membangun sekolah. Pasti aku akan bangga dapat membangun gedung tempat menimba ilmu. Yang mana bangunan yang aku bangun akan menjadi tempat khalayak ramai menuntut ilmu. Atau jembatan yang benar-benar membantu masyarakat melewati sungai.
Aku mendekati kuli yang sedang mengaduk adonan. Mencampur pasir, gamping dan semen. Ku lihat dengan seksama sambil berkacak pinggang.
“Susah tidak, Mas?” tanyaku tersenyum. Berusaha ramah padanya.
“Ah, tidak juga. Kamu mau coba, Dan?” tawar seorang kuli. Ternyata dia tahu namaku.
“Wah, boleh tuh.” Langsung ku terima tawaran itu.
Aku sedari tadi memang sudah siap jika ditawari seperti ini. Aku sudah memakai pakaian yang biasanya ku pakai untuk bermain di sawah. Kira-kira, aku mirip Pak Tukang tidak ya? Mungkin kurang topi saja.
Ku aduk adonan dengan bersemangat. Aku tak ingin mengecewakan Mas Kuli—karena usianya relatif masih muda, aku memanggilnya ‘Mas’—yang ada di sini. Cangkul ku pakai untuk mengaduk adonan. Hampir sama seperti cara petani. Namun, ini mengaduk, bukan menggali. Gamping, pasir dan semen sudah dicampur. Kini adonan menjadi gundukan besar. Seperti bukit kecil. Tapi, tiba-tiba gundukan adonan itu mulai hancur. Ternyata kurang merata hingga gampingnya ke luar dari gundukan. Mas Kuli membantuku untuk mengarahkan gamping ke dalam adonan. Kini kami berempat bersama-sama mengaduk adonan. Ketika adonan sudah tercampur merata, adonan ini siap digunakan. Aku mengambil adonan dengan cangkul dan menaruhnya di timba-timba kecil. Mas Kuli mengambil dan mengantarkannya ke Pak Tukang.
“Sudah, Mas. Lumayan capek juga,” ujarku pada Mas Kuli sambil menghapus peluh di kening. Aku memang lelah.
“Belum saatnya capek, Dan. Ini masih belum waktunya selesai,” kata salah satu Mas Kuli.
“Tapi sudah lelah, Mas. Sudah dulu ya?” kataku pada Mas Kuli. Mas Kuli melotot. Ia pasti bercanda. Tapi, aku nyengir saja.
“Ya sudahlah,” kata Mas Kuli sambil mengangkat bahu. Seperti orang pasrah. “Lain kali, kalau ingin membantu tidak apa-apa. Kamu ke sini saja. Terima kasih ya.”
“Pasti. Sama-sama, Mas.”
Aku langsung masuk lagi ke dalam rumah. Istirahat. Dasar. Baru segini saja sudah lelah. Sepertinya aku tak punya bakat untuk menjadi Pak Tukang. Waktu memang cepat bergulir. Yang mana, aku sudah tak merasa lelah. Kantuk membantuku terlelap. Kini ku terlelap di kala mentari masih terpancar.
***
Aku mengayuh sepeda dengan rasa malas dan kurang bersemangat. Mentari begitu terang nyalanya hingga panasnya sampai di ubun-ubun. Pukul 13.30. Ya, kira-kira sekarang pukul 13.30. Jalan raya pun tak seramai biasanya. Mungkin panas mentari yang menjilat tubuh telah membuat manusia enggan keluar dari persembunyiannya. Siapa juga yang mau mendapat sinar UV?
Sesekali, aku melihat temanku mengendarai sepeda motor dengan kencang. Pasti dia juga takut kepanasan. Tidak denganku. Aku mengenakan jaket. Namun, jaket justru membuatku gerah.
Aku mencari sesuatu yang dapat menghiburku. Tak ada. Lalu bagaimana ini? Aku kayuh sepeda dengan semngat, kali ini. Semoga cepat sampai rumah, lalu membantu Pak Tukang. Tapi, ketika sedang berjalan, aku teringat pada sesuatu. Aku melihat rumah yang sedang dibangun di pinggir sisi kiri jalan. Aku teringat pada rumahku. Bagaimana perkembangan pembangunan ruang tengah di rumahku?
Kali aku mengayuh sepeda dengan semangat. Aku ingin cepat sampai rumah. Kalau bisa membantu Pak Tukang yang sedang bekerja.
***
Sesampainya di rumah, langsung ku parkir sepedaku. Tentu saja di garasi rumah. Yang mana di garasi itu juga ada motor kakakku. Sepertinya ia tak kuliah.
Aku masih berumur 16 tahun atau kelas 11 SMA. Aku belum punya SIM, sehingga ayah tak memperbolehkan aku mengendarai motor. Sepeda gununglah yang menemaniku pergi ke sekolah yang berjarak 5 km dari rumah. Ku kira hanya aku pelajar di sana yang bersepeda. Benar-benar hanya aku.
Aku pun sudah berulang kali meminta dibelikan motor seperti kakakku. Tapi, tetap dengan alasan yang sama ayahku menolak.
“Kamu masih belum mempunyai SIM, nak? Kita tak boleh melanggar hukum,” kata ayahku suatu ketika.
“Tapi, Bapak Ibu Guru memperbolehkan kami mengendarai motor ke sekolah, Yah.”
“Lalu, apa itu artinya kamu sudah menaati hukum negara kita. Jika ada operasi, kamu akan dibawa oleh si rompi hijau—polisi.”
“Teman-temanku juga banyak yang tak punya SIM,” kataku. Aku benar-benar berharap.
“Itu melanggar hukum, nak. Kalau semua orang melanggar hukum, lantas siapa yang akan manut. Biarkan saja mereka, yang jelas ayah tetap tak ingin membelikanmu motor sampai kau punya SIM.”
“Baiklah. Begini, Ayah. Teman-temanku juga banyak yang punya SIM.”
“Dari mana mereka dapat. Mereka seusiamu, bukan?”
“Iya. Tapi, mereka menuakan umur mereka. Aku yakin aku juga bisa dapat SIM dengan menuakan umur. Bagaimana, yah?”
“Itu menipu namanya. Kau sudah diajari bagaimana berperilaku yang baik kan, nak? Ingat-ingat lagi. Itu diajarkan sewaktu kau SD pada mata pelajaran PPKn.” Ayah memang benar.
“Baiklah,” aku pasrah.
“Inilah yang salah. Kenapa pelajaran yang sudah diajarkan malah diremehkan begitu saja. Itu namanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Setiap pelajaran yang kamu terima di sekolah, kamu harus bisa menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Lihat Pak Tukang yang bekerja, mereka pasti menaiki sepeda. Naik motor pun pasti hanya tertentu.” Ayah menggerutu sendiri.
***
Aku mengganti baju seragamku. Lalu keluar dan melihat Pak Tukang yang sedang bekerja. Kini terlihat Pak Tukang mulai menyusun batu bata untuk dinding. Mas Kuli terlihat sibuk mengaduk adonan yang mana akan menjadi perekat bagi batu bata.
Aku tertarik dengan Pak Tukang yang menyusun batu bata sedemikian rapinya itu. Aku dekati Pak Tukang. Ku perhatikan dengan seksama.
“Eh, Dan. Baru pulang? Sekolahnya kok siang amat pulangnya?” ujar salah satu Pak Tukang. Namanya Pak Ahmad.
“Iya, Pak. Ya memang jam segini waktunya pulang. Berbeda, Pak, dengan siswa Sekolah Dasar,” ujarku sambil tertawa. Pak Tukang yang lain pun juga tertawa. Aku berkacak pinggang.
“Lha wong, kamu sudah SMA ya, Dan?” ujar salah satu Pak Tukang yang lain sambil tertawa. Namanya Pak Rojak.
“Lha nggih niku. Lare SMA kok disamakan dengan lare SD.”
Pak Tukang mulai bersemangat lagi mungkin mereka merasa ada yang menghibur. Tiba-tiba aku ingin menawari sesuatu pada mereka.
“Pak, saya putarkan musik keroncong ya. Supaya tidak jenuh. Kan jenuh sedari tadi hanya bekerja dan tak ada hiburan,” kataku pada Pak Tukang.
“Iya. Bagus kalau begitu. Pinter sampeyan, Mas. Pengertian sama Pak Tukang,” ujar Pak Ahmad. Yang lain tertawa.
Aku langsung masuk ke rumah. Mengambil tape dan mengambil kaset lagu-lagu keroncong. Aku langsung keluar rumah. Tak lupa membawa kabel rol. Kaset aku masukkan dan aku tekan tombol ‘play’. Musik keroncong terdengar. Judulnya Yen Ing Tawang.
“Wah, pas tenan iki.”
Pak Tukang terlihat semangat. Namun, ada salah satu kuli yang membuatku terkejut. Kali ini ada 7 kuli. Bukan 6 kuli seperti kemarin. Aku melihat salah seorang temanku. Menjadi kuli. Dia teman SMP-ku. Aku dekati dia.
“Lho, Dan?” ujarnya.
“Kamu, Nas? Kamu kok jadi kuli?” Anas hanya tersenyum. Ia teman SMP-ku.
“Aku bekerja di sini. Menjadi kuli di sini.”
“Lho, kamu nggak sekolah? Kok sudah bekerja?” tanyaku penasaran. Apa mungkin anak seperti kami sudah layak bekerja.
“Ya, aku tetap sekolah. Pagi aku pulang sekolah. Siang, aku langsung ke sini,” ujarnya sambil tersenyum.
“Ohh.”
“Di sini aku bersama bapakku. Pak Ahmad itu bapakku. Aku kemarin ditawari oleh bapakku. Ya, tidak apa-apa meskipun bayarannya separo, bisa untuk biaya sekolah,” ujarnya. Anas adalah murid yang pintar. Ia juara 2 sewaktu SMP di ujian akhir. Nilai IPA-nya 10. Sempurna. ”Aku sekarang sekolah di STM. Kamu sekolah di mana?”
“Aku di SMA.”
Akhirnya kami mengobrol sebentar. Menanyakan bagaimana sekolah kami. Aku di SMA dan dia di STM. Katanya dia memang ingin menjadi Arsitek. Maka dari itu ia ingin belajar menjadi Pak Tukang. Tak ku sangka. Begitu mulia hatinya. Ia tak ingin menyusahkan orang tua dengan cara bekerja sendiri. Aku jadi kagum dan iri.
Anas. Fisikanya, membuatku sangat kagum. Selalu mendapat nilai maksimal. Tak jarang angka 9 dan 10 sering menemaninya di mata pelajaran IPA di buku raport. Aku sempat belajar bersama dengannya. Namun, lama-lama sudah tidak lagi, karena saat itu, ia bekerja menjadi kuli di pasar.
Ia tak ingin menyusahkan orang tua. Bagaiamanapun, ia ingin memanfaatkan waktu dengan baik.
“Kalau kamu mau, setiap malam, datang ke rumahku. Kita belajar bersama. Aku ingin kita sama-sama menimba ilmu dan berbagi pengalaman,” ujarku padanya. Ia mengangguk. Kini, salah satu temanku telah menjadi kuli dan akan menjadi Pak Tukang.
Ambulu, 8 April 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar