Senin, 18 November 2013

Si Kaya Dolah

Pasar merupakan tempat yang tak asing lagi bagi masyarakat desa. Tempat transaksi jual beli ini memang tempat wajib berbelanja bagi kaum hawa. Meski sudah banyak berdiri supermarket dan minimarket, sepertinya ibu-ibu sudah merasa cocok dengan pasar tradisional ini. Laksana kutub utara dan kutub selatan pada magnet yang saling tarik menarik. Bahkan pasar dipelajari dalam mata pelajaran Ekonomi—memang harus dipelajari.

Bau ikan, sayur, kue dan segala macam makanan menjadi satu. Ada penjual kue tradisional, daging, sayur, pakaian poster, sembako dan lain sebagainya.

Dolah melangkahkan kaki dengan sombongnya. Ia diikuti oleh dua pengawalnya. Yang jelas bukan Pspampres. Badannya besar. Kulitnya hitam legam. Wajahnya garang seperti macan yang siap menyantap apa saja yang ada di depannya. Orang-orang bergidik melihat tingkahnya dan pengawalnya. Banyak yang sedang mencibir. Namun, ketika ketahuan, Dolah langsung memelototkan mata. Hampir saja bola mata itu lepas dari tempatnya. Dolah memandangi orang yang ada di pasar. Pasar ini begitu ramai, pikir Dolah.

Aku merasa agak merinding. Aku takut jika barang daganganku diambil olehnya. Aku hanya penjual pakaian yang belum sukses. Tak punya apapun. Tapi, ternyata Dolah tak melangkah ke arah kiosku. Ia melangkah ke arah ibu penjual jamu. Si penjual jamu duduk dengan takut. Takut jika dibentak. Takut jika dimarahi. Takut jika saja tiba-tiba botol-botol jamunya dibanting oleh Dolah. Tapi, dia berfikir, untuk apa dia takut kalau tak punya salah apa-apa pada Dolah. Ia kini mencoba tenang.

“Mbak, beli jamu donk. Ini, untuk anak buah saya,” kata Dolah sambil tersenyum pada penjual jamu dan menunjukkan jari telunjuk dan tengah. Si penjual jamu diam dan langsung melayani. Kini ia merasa tenang sudah.

“Ini, Mas,” kata si penjual jamu. Dolah menerima dua gelas berisi jamu itu. Lalu, ia berikan pada pengawalnya.

“Habiskan,” kata Dolah pada pengawalnya.

Si pengawal mengahabiskan jamu itu dengan sekali teguk. Aku ngeri mendengar tegukannya. Seperti orang kehausan karena tak menemukan mata air.

“Berapa, Mbak?” tanya Dolah pada tukang jamu.

“Dua ribu, Mas.”

Dolah mengeluarkan uang lima ribuan. Dan memberikannya pada tukang jamu. “Ini. Kembaliannya mbak ambil saja,” kata Dolah. Dolah benar-benar ramah sekarang.

Kini Dolah beranjak dari tempat tukang jamu. Ia mengajak pengawalnya pergi dari pasar. Semua pedangang pasar merasa lega. Terlihat dari wajah mereka yang tadinya terlihat cemas.

***

Aku melangkahkan kaki ke pasar. Bukan untuk berjualan, tapi untuk membeli. Kiosku di pasar aku tutup. Karena sedang ada selamatan di rumahku. Ibuku menyuruhku membeli keperluan untuk selamatan. Aku anak satu-satunya. Jadi, ibu tak punya anak perempuan. Siapa lagi yang disuruh berbelanja kalau bukan aku, anaknya.

Jarak pasar dan rumahku tidaklah jauh. Hanya sekira 500 m. Hilir mudik orang mengendarai sepeda baru saja berbelanja dari pasar. Aku memeriksa barang yang ku bawa di dalam saku celana jeans-ku. Ada dompet berisi uang untuk berbelanja dan daftar belanja. Begitu banyak yang harus dibeli. Aku cepat-cepat melangkahkan kakiku agar cepat sampai ke pasar.

Riuh, ramai, gaduh, bising. Entah kata apalagi yang dapat menggambarkan suasana pasar kali ini. Ibu-ibu yang berbelanja berdesak-desakan. Ada juga ibu-ibu yang mengajak anaknya turut berbelanja. Aku tak sampai hati melihat bocah yang begitu mungil berdesakan dengan si Tyson pasar—kuli.

Suara tangisan pun terdengar. Ada bocah yang sedang terjatuh. Orang-orang pun langsung berkumpul untuk membantu anak itu. Ada pula yang tetap acuh dan sibuk dengan belanjaannya dan tak mengindahkan bocah yang sedang terjatuh itu. Aku hanya geleng-geleng melihat pasar yang ramai. Lalu, aku mengambil daftar belanja yang ada di saku celanaku. Lima kilogram ayam potong. Banyak juga. Aku pun menuju penjual ayam potong.

Di kios penjual ayam potong tak terlalu ramai. Jadi, aku tak perlu berdesak-desakan dengan sekian orang untuk berebut membeli ayam.

“Lima kilo, Bu,” kataku.

Ibu penjual ayam mengangguk. Aku pun tersenyum. Dengan sigap ibu penjual ayam memotong ayam dengan sadis. Pisau itu benar-benar tajam. Sekali potong, ayam terbelah dua. Kalau dilihat-lihat, ibu ini sudah tua sekali. Umurnya sekitar enam puluh tahunan. Tapi, ia masih cekatan memotong ayam. Ibu itu memasukkan ayam yang sudah dipotong ke dalam kantong plastik. Aku menerima dan langsung membayarnya. Aku tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Ibu itu pun membalas senyumku dengan senyum yang tak kalah manis.

Ku lihat lagi daftar belanja. Kali ini membeli sayur-sayuran. Di pasar ini banyak sekali penjual sayur. Aku harus mencari penjual sayur yang sepi penjual tapi mempunyai sayur yang berkualitas. Aku mencari-cari penjual sayur yang sesuai. Eh, ternyata di sebelah kiri penjual daging ada penjual sayur. Aku menoleh pada penjual sayur. Ibu penjual sayur pun menoleh padaku. Ia menawari sayur.

“Sayur, Mas?” kata Ibu penjual sayur dengan aksen dan dialek jawa. Suaranya sopran. Ada tekanan saat menyebut kata ‘mas’. Seperti ada birama dalam dialeknya barusan.

“Oh, nggih, Bu,” jawabku.

Aku langsung menhampiri ibu itu, dan membacakan daftar belanja sayuran yang dibutuhkan. Ibu itu dengan sigap mengambil wortel, kentang, gubis, cabai dan lainnya. Aku membaca daftar belanja seperti pembaca teks pidato. Namun, nada yang digunakan bukan nada berpidato.

“Wonten maleh, Mas?” kata Ibu itu menanyakan mau belanja apa lagi.

“Oh, sudah, Bu. Sampun.”

Ibu itu menyebutkan nominal harga total sayur yang ku beli. Aku langsung mengambil dompet dan membayarnya.

Saatnya berburu belajaan lain. Tapi, tanpa sengaja, aku mencuri dengar ada ibu-ibu yang sedang menggosip. Ibu-ibu itu membicarakan Dolah, si kaya di kampung ini.

“Aku dengar Dolah sekarang sudah baik ya?” kata ibu berbaju kuning.

“Iya. Kemarin ia tidak marah-marah lagi seperti biasanya,” balas ibu berbaju hijau.

“Pantesan Kang Sodik kemarin merasa lega,” kata si kuning.

“Emangnya kenapa, Mbakyu?”

“Kang Sodik kan punya banyak utang sama Dolah. Kata orang-orang, sebenarnya kemarin Dolah ke sini untuk nagih hutang pada Kang Sodik. Tapi, karena kios Kang Sodik tutup, dia urungkan niatnya.”

“Oh, gitu. Padahal Dolah kan sudah kaya bener. Dia punya banyak gudang tembakau. Terus punya pabrik rokok. Apa yang kurang?”

“Jodoh kali yang kurang.”

“Ah, ngaco mbakyu ini. Kenapa nggak anak mbakyu saja dijodohin sama Dolah.”

“Hus, ngawur.”

Kedua Ibu itu tertawa. Tak berapa lama kemudian. Datanglah sosok yang dibicarakan oleh ibu-ibu tadi. Benar nyatanya. Dolah datang menghampari kios Kang Sodik. Di pasar yang ramai ini, Dolah dengan dua prajuritnya memelototkan mata pada Kang Sodik. Kang Sodik dengan ramah melayani pembeli.

“SODIK! MANA JANJIMU?!” teriak Dolah. Seisi pasar langsung menoleh pada Dolah.

Kang Sodik benar-benar terkejut mendengar auman singa pasar ini. Ia benar-benar gugup haru ngomong apa. “Eh, saya....saya....saya....”

“SAYA APA? NGGAK PUNYA UANG?” kali ini bentakan Dolah benar-benar keras. “Aku datang ke mari untuk menagih janjimu.”

“Tapi, saya tidak punya uang, Kang,” kata Kang Sodik dambil menundukkan kepala.

“Barusan kan kamu melayani pembeli. Mana kamu bilang tak punya uang? JANGAN BERDUSTA!”

“Tapi, ini uang untuk berobat anak saya,” kata Kang Sodik masih kalut.

“Aku tidak peduli. Aku menagih janji. Bukan uang.”

“Tapi...”

“Siapa suruh kamu setuju. Bunganya 25%. Kamu berjanji akan membayar hutangmu hari kemarin. Tapi, kamu malah menutup kiosmu. Apa maumu?”

“Maafkan saya, Kang.”

“Ah... Maaf lagi. Bisa bangkrut aku.” Dolah memberi isyarat pada anak buahnya. Kedua anak buahnya langsung memporak-porandakan kios Kang Sodik. Kang Sodik hanya dapat berteriak memohon untuk dihentikan. Apa daya, badan pengawal Dolah lebih besar. Dalam sekejap, kios Kang Sodik seperti kapal pecah. Kang Sodik meringis melihat dagangannya. “Ingat ya. Aku beri kamu waktu satu minggu lagi. Awas jika kau tak memanfaatkan waktu yang aku berikan.”

Dolah langsung meninggalkan pasar. Seisi pasar menghampiri Kang Sodik dan menghibur. Aku merasa iba. Lalu, mencoba berbicara padanya tentang masalah yang terjadi.

***

Hari ini, aku masih enggan untuk berjualan di pasar. Esok saja. Libur dua hari kan tidak apa. Aku duduk di ruang tamu. Lalu, membaca koran hari ini milik bapakku. Tertulis:

“Gudang tembakau habis terbakar. Isi gudang yang memang ada tembakaunya, juga ludes dilalap si jago merah. Sebanyak 30 gudang tembakau ludes di lalap si jago merah. Pemilik gudang dilarikan ke rumah sakit jiwa karena stres. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. Namun, kerugian ditaksir ratusan juta rupiah.”

Aku merasa iba pada pemilik gudang ini. Kasihan. Begitu ruginya dia. Koran aku tutup dan aku menyalakan televisi. Televisiku pun menyalakan berita. Berita tentang kebakaran gudang tembakau. Apa? Gudang tembakau? Tak salah lagi, berita ini sama dengan yang ku baca di koran.

“Pemilik gudang ini, Pak Dolah, mengalami stres berat.....”

Apa? Aku baru ingat kalau Dolah mempunyai gudang tembakau juga. Lalu, aku cek pada koran yang ku baca tadi. Benar adanya. Pemilik gudang itu ternyata Dolah.

Ambulu, 25 Mei 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar