Aku kini hanya seorang pecundang
Tak akan gusar dengan kata-katanya
Ku terima saja
Dia hanya celeng kemunafikan
Itu syair yang ditulis oleh Doni. Ia bilang belum selesai. Aku, Rendi dan Doni sedang berada di rumah Doni. Sedang berdiskusi dan belajar bersama. Aku merasa tersinggung dengan syair yang dibuat oleh Doni. Keterlaluan.
“Boy, apa ini?” tanyaku.
“Itu hanya syairku. Tak ada apa-apa. Aku hanya sedang ingin menulis syair,” ujarnya.
Sementara aku dan Doni sibuk bertengkar, Rendi sedang asyik dengan Ensiklopedia Biologi. Si Calon Dokter—ia bilang begitu—itu memang menyukai buku Biologi sejak sekolah dasar—katanya.
Sementara Doni, mulai capai bertengkar denganku. Ia mengambil novelnya dan membacanya. Aku pun hanya diam. Handphone. Ya itulah hiburanku. Bermain games di Handphone.
***
“David! Kamu sudah berulang kali tidak mengerjakan tugas. Kenapa sih kamu selalu membuat ulah. Sekarang kamu berdiri di depan tiang bendera, dan hormat pada bendera merah putih sampai jam pelajaran Ibu selesai,” ujar Ibu Rani, Guru Fisika. Wanita setengah baya itu memelototiku.
“Dasar guru tak kreatif. Hukumannya kayak di TV saja. Hukuman dari dulu hormat pada sang merah putih,” gerutuku.
“Apa kamu bilang?” bentak Ibu Rani.
“Ah, tidak Ibunda Guru. Ini, saya merasa sangat tersanjung diberi hukuman yang menambah rasa nasionalisme,” kataku pada beliau sambil menyungging senyum paksaan.
Aku pun berjalan menuju lapangan. Ku dengarkan gerutuan Ibu Rani.
“Masih kelas 10 tapi kok bandelnya minta ampun,” gerutunya.
Kembalilah aku pada kebiasaan sehari-hari. Dihukum dengan cara di jemur dan hormat pada sang merah putih. Aku sudah menjadi langganan guru dihukum seperti ini. Aku memang dicap sebagai murid yang bandel. Tapi, seolah-olah aku malah bangga dengan julukan itu. Benar-benar seperti sebuah kewajiban aku berdiri di sini. Siswa-siswa di sekolah pun tak heran melihatku dihukum. Bagi mereka ini pemandangan yang biasa terjadi. Malahan, jika mereka tak melihatku dihukum, mungkin itu menjadi hal yang aneh bagi mereka.
Bel istirahat berbunyi. Nun jauh dari ujung Ibu Rani memperhatikanku. Lalu beliau memanggil seorang murid, dan membicarakan sesuatu. Murid yang dipanggil itu menghampiriku.
“Vid, kamu ditunggu Ibu Rani di ruang guru sekarang juga,” katanya.
“Iya, terima kasih, kawan,” balasku. Ia mengangguk meninggalkanku.
Aku lekas menuju ruang guru dan menemui Ibu Rani.
Asoy amboy. Begitu aku masuk uang guru, udara sejuk AC menghilangkan panas yang ku derita.
“Duduk.” Aku segera menuruti beliau. “Apa kamu tak bosan dihukum seperti itu?”
“Ya bosan, Bu. Sekali-kali dihukum dengan dibelikan es krim atau bakso atau ke kafe juga boleh, Bu.”
“Cukup. Ini bukan ajang melawak,” kata Ibu Rani setengah membentak. Bapak dan Ibu Guru yang lain menoleh ke arah kami. “Kamu harus berubah, Nak.” Kali ini dengan nada lembut. Ibu tak ingin punya anak yang malas seperti kamu. Mulai sekarang kamu harus banyak belajar agar kamu tak tertinggal dengan teman-teman yang lain. Mengerti?”
Aku mengangguk. “Ibunda Guru, bolehkah saya keluar sekarang?”
Ibu Rani mengangguk, tanda menyetujui. Yes, teriakku dalam hati. Sesungguhnya aku masih betah di ruangan itu, namun aku tak betah berada di depan Ibu Rani dan dimarahi.
Aku berjalan menuju kelas. Kelas begitu rindang bak pohon beringin. Ku cari Rendi dan Doni. Tak ada.
“Boy, ke manakah Rendi dan Doni pergi?” tanyaku pada siswa yang sedang membaca buku di belakang kelas.
“Aku rasa, mereka pergi ke perpustakaan. Ku dengar begitu dari percakapan mereka yang ku tangkap,” jawabnya.
Aku berfikir sejenak. Perpustakaan. Ku eja. P-E-R-P-U-S-T-A-K-A-A-N. “Baiklah. Terima kasih, kawan.” Ia tersenyum.
Apakah aku benar-benar yakin akan pegi ke perpustakaan yang penuh dengan kertas berjilid yang orang bilang itu adalah sumber ilmu. Aku tak yakin. Tapi, apa salahnya mencoba. Ku langkahkan kaki dengan percaya diri pergi ke perpustakaan. Begitu sampai dan ku buka pintu, sontak banyak yang melirikku heran bak melihat copet masuk masjid. Memangnya apa salahnya jika copet masuk masjid. Aku balas pandangan mereka dengan senyuman. Tapi, senyuman manisku dibalas oleh senyum getir yang dipaksakan.
Ku cari dimana Si Calon Dokter dan Si Penyair berada. Mereka berada di tempat yang berpisah. Rendi duduk di bangku dengan membaca bukunya, dan Doni sedang menulis sesuatu di bukunya di depan meja komputer. Ku hampiri Rendi.
“Hei, tiap hari baca buku. Tak bosan kau?”
Rendi memberi tanda batas baca halaman pada bukunya dan menutup bukunya. “Nah, kau sendiri? Tak bosan dihukum terus setiap hari?” balasnya dengan pertanyaan pula.
“Ah, nggak asyik.” Aku ingin menghampiri Doni.
“Benar,” tahu-tahu Doni berada di belakangku, ”kamu harusnya berubah dan berhenti bermalas-malasan seperti ini. Untuk apa kamu malas. Belajarlah banyak dari pengalamanmu.”
Ku acuhkan mereka dan ku tinggalkan mereka. Bukannya mendapat hiburan, malah mendapat ceramah. Sok pintar.
***
Keesokan harinya, aku bangun terlambat. Dengan terburu-buru aku berlari ke dalam kelas. Alamak. Sekarang waktunya Fisika lagi.
“Anak malas, mau ke mana kau?” kata Ibu Rani begitu melihatku akan pergi lagi.
Aku langsung masuk ke dalam kelas. “Kau anggap kata-kata Ibu angin berlalu ya.?” Aku menunduk. “Kali ini tak seperti biasanya. Hukuman untukmu menulis di buku dengan tulisan SAYA DAVID SHINDUNATA BERJANJI TAK AKAN TERLAMBAT LAGI sebanyak satu buku tulis penuh tanpa ada celah. Ingat: PENUH!” Bom atom meledak di otak dan hatiku. Apa-apaan ini? “Kebetulan, bukunya sudah Ibu siapkan. Ambil itu di meja. Dan menulislah di belakang.” Alamak. Begitu tebalnya buku ini.
Sial. Ibu Rani seperti berharap agar aku terlambat datang sekolah. Kali ini ku tulis dengan setulus hati. Memang salahku aku terlambat. Tak seharusnya aku terlambat. Ku lihat teman-temanku menggerutu membicarakanku.
“Ku dengar dia nakal karena broken home.”
Aku agak kesal dengan kalimat itu. Biarkan sajalah. Itu tak penting. Yang terpenting sekarang adalah menyelesaikan novel monotone ini.
Sesekali ku curi pandang melihat Ibu Rani sedang menerangkan di depan kelas. “David. Tulis saja. Jangan melihat papan tulis. Materi ini nanti tanyakan saja pada temanmu,” katanya.
“Saya hanya ingin melihat saja,” kataku jengkel.
“Oh begitu. Tumben sekali kamu memperhatikan guru. Orang sepertimu tak akan bisa menjadi orang sukses.”
Deg. Sebuah kutukan tertempel di telingaku. Lalu masuk ke otakku. Dan terngiang-ngiang di telingaku. Tegar. Aku harus tegar.
“AKAN KU BUKTIKAN BAHWA UCAPANMU ITU SALAH!” tiba-tiba sebuah kalimat dengan volume yang keras keluar dari mulutku. Bingung dengan aksiku, akhirnya aku meninggalkan kelas sambil membawa ballpoint dan buku novel monotone.
Ibu Rani terbengong-bengong melihatku. Aku pun merasa bersalah. Tapi, jika aku tak membalas omongan Ibu Rani, itu akan membuat Ibu Rani menang. Kini yang ku bingungkan bagaimana caranya aku membuktikan kata-kataku.
***
Satu minggu berlalu sejak Ibu Rani memberi kutukan padaku. Hari ini ada ulangan Fisika. Dan aku pun dengan semangat akan mematahkan statement omong kosong itu. Ibu Rani masuk kelas.
“Ini buku yang Ibu minta,” kataku pada beliau dengan ketus.
“Bagus. Baiklah anak-anak waktunya ulangan. Saya mohon kerjakan ulangan kali ini dengan jujur. Kerjakan atas kesadaran masing-masing.”
Waktu demi waktu berlalu dan ulangan pun selesai. Keesokan harinya, Ibu Rani membagikan hasil ulangan kami. Ketika istirahat, Ibu Rani memanggilku dan memberi kertas-kertas ulangan.
Teman-temanku membagikan kertas ulangan, dan begitu aku mendapatkan kertasku, semua terkagum-kagum. Bukan spidol merah, melainkan hitam.
Nilai 78 tertempel. Aku mendapat nilai terendah di kelas ini.
“Tak apalah, kawan. Ini awal yang bagus. Tidak ada suatu keberhasilan diraih dalam waktu satu hari,” kata Rendi yang mendapat nilai 98.
Ulangan berikutnya, aku merasa lebih senang. Nilai 88 ku dapat. Aku mulai resah dengan ucapanku. Aku takut tak dapat menjadi orang sukses yang dikatakan Ibu Rani. Aku tak ucapanku tak bisa ku penuhi.
“Bagus sekali, kawan. Meningkat. Itu lebih baik daripada turun,” kata Doni yang mendapat nilai 95.
Ulangan berikutnya lagi, lebih membanggakan. Nilai 96 ada dikertasku.
“Good luck. Aku yakin kamu bisa,” ujar Rendi.
Dan sekarang adalah ulangan terakhir. Semua menunggu dengan harap-harap cemas. Karena sebentar lagi adalah ulangan akhir semester. Alangkah terkejutnya aku. Nilai 100 tertempel pada kertas ulanganku. Sulit dipercaya. Doni dan Rendi mengahampiriku.
“Wah, hebat. Begitu donk. Semangat. Buktinya bisa,” kata Doni.
“Aku jadi punya saingan nih. Aku cuma dapat 82,” kata Rendi.
“Ya, kita punya bidang masing-masing, kawan,” ujarku pada mereka.
Akhirnya aku bisa. Ini adalah awal perjuanganku.
***
“Saya bangga padamu. Saya yakin kamu bisa,” pada Ibu Rani ketika memanggilku ke ruang guru.
“Terima kasih, Bu. Ibu terlalu berlebihan.”
“Tidak berlebihan, karena dari beberapa kali ulangan kamu mendapat nilai yang bagus. Meningkat. Awalnya, Ibu mengira kamu menyontek. Tapi, ketika Ibu memberi latihan soal padamu, kamu menjawabnya dengan sempurna. Kamu pasti ikut seleksi untuk OSN di tingkat sekolah, bukan?”
“Iya, Bu.”
“Ikut Fisika, kan?”
“Iya.”
“Bagus. Banyak belajar. Karena sainganmu banyak. Ibu yakin kamu bisa.”
“Te..te..terima kasih, Bu.” Aku menyalami Ibu Rani. Beliau tersenyum.
“Iya. Ini. Novel monotone-nya saya kembalikan pada kamu.”
***
Akhirnya pesawat terbang mendarat di Tokyo. Aku telah tiba di Tokyo, Jepang. Negara impianku untuk meraih cita-cita. Aku mendapatkan beasiswa di sini atas prestasiku sebagai Juara I Olimpiade Fisika tingkat Internasional. Statement Ibu Rani telah ku patahkan. Dan syair ejekan dari Doni terbukti bukan aku yang dimaksud.
Rendi dan Doni kini kuliah di UI. Rendi di Fakultas Kedokteran. Sedangkan Doni di Fakultas Sastra. Mereka berhasil masuk lewat jalur PMDK.
Kini aku menuju penginapan. Ku jumpai penduduk setempat yang sedang berlalu lalang. Udaranya sejuk sekali. Sesekali aku tersenyum pada orang yang berjumpa denganku. Mereka semua ramah. Aku siap mengatakan, “Hajimetemashita. Watashi Davida-san desu. Indonesia-jin desu.”
Begitu sampai di penginapan, aku langsung mengluarkan novel monotone. Dan aku siap menulis surat. Aku akan menulis dua surat. Pertama untuk ayah dan ibuku dan kedua untuk Ibu Rani.
Terima kasih Ibu Rani.
Jember, 18 Juni 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar