Senin, 18 November 2013

Menjilat Ludah Sendiri

Pagi yang indah sekali. Aku keluar rumah dengan memakai sepatu olahraga, kaos dan celana pendek. Akan keluar untuk jogging pagi. Mentari bersinar cerah menampakkan wajah dan hangatnya. Sudah beberapa kali ini sang mentari enggan menampakkan hangatnya. Dan kini mentari berani lagi untuk memberi sinar pada makhluk hidup di bumi. Aku pun membalas hangatnya mentari dengan berolahraga.

Di jalan, banyak sekali orang yang sedang lari-lari dan berolahraga. Ada muda-mudi berpasangan yang jogging bersama. Ada pula kaum manula. Ada pula muda-mudi yang berkoloni. Mungkin teman kelompok atau geng. Hari minggu. Tentu waktu luang untuk olahraga. Aku sendirian di keramaian pagi. Tiba-tiba ada gadis menyapaku.

“Selamat pagi, Tuan Sena.” Aku sempat terkejut. Lalu ku lihat gadis itu. Lari-lari kecil menyampingiku. Memakai kerudung. Memakai trining dan kaos olaharaga lengan panjang. Ia begitu anggun.

“Selamat pagi, Nona Vina,” balasku. Vina adalah teman SMP-ku. Sahabatku. Sahabat karibku. Sekarang ketika aku SMA, kami beda sekolah. Sehingga aku terkejut ketika bertemu dengannya.

“Tuan Sena. Apa kabar? Lama tak jumpa,” katanya sambil tersenyum.

“Baik. Bagaimana dengan Nona Vina?” tanyaku. Aku membalas senyumnya. Ia semakin cantik dan manis. Membuatku kagum.

“Baik juga.”

“Tuan Sena ya? Aku ingat nama panggilan itu. Hanya kau yang memanggilku dengan sebutan ‘Tuan’. Aku masih lajang, Nona. Umurku 15  tahun,” kataku sambil tersenyum padanya. “Bagaimana dengan ‘Nona Vina’?

Ia tersenyum. “Iya. Aku teringat ketika kita SMP. Hanya kau pula yang memanggilku ‘Nona’. Bagaimana sekolahmu?”

Asyik juga. Punya teman bicara selama jogging. Mengobrol sana sini. Mengingat lagi masa SMP. Juga membahas sekolahku dan sekolahnya. Aku dan dia baru lulus tahun lalu. Tapi, ketika bertemu seperti sudah bertahun-tahun tak bertemu. Sebenarnya aku dengannya satu perumahan. Namun beda blok, hingga kami tak pernah jumpa.

Mentari semakin meninggikan letaknya. Hangatnya pun semakin terasa. Aku mengantar Vina pulang.

“Ayo mampir dulu, Sena. Sudah lama kamu tak mencicipi teh buatan mama.”

Akhirnya aku mampir juga di rumahnya. Memang sudah lama tak mampir ke rumahnya. Terakhir mampir ketika lebaran. Itu pun Vina tak ada di rumah.

Rumahnya asri. Banyak tumbuhan. Setiap orang yang lewat di depan rumah Vina pasti langsung beranggapan bahwa penghuni rumah ini pecinta tanaman. Memang benar. Suasananya juga sejuk. Membuatku terlena di sini. Vina memanggilkan mamanya.

“Ehh, Sena. Apa kabar? Sudah lama kamu tak mampir, Nak?” kata mama Vina menyambutku dengan ramah. Ini yang aku suka dari keluarga Vina. Semuanya ramah.

“Baik, Bu. Sedang libur jadi ya mampir jugalah. Tadi bertemu Vina sewaktu jogging,” kataku. Aku tersenyum pada mama Vina.

“Iya. Eh, sudah lama tak mencicipi teh bikinan ibu. Mau tidak?” tawar mama Vina. Begitu riangnya beliau bertemu aku.

“Wah, boleh itu, Bu. Memang sudah lama,” ujarku sambil tertawa. Vina tersenyum. Manis sekali senyumnya.

***

Aku bersepeda menuju rumah Vina dengan membawa buku biologi dan fisika. Kami sudah sepakat akan belajar bersama. Libur UNAS siswa kelas dua belas kami manfaatkan untuk belajar. Sampai, begitu segar rasanya. Udara di sini benar-benar sejuk. Terlena. Pohonnya rindang. Angin berhembus membelai rambutku yang manja.

Sesampai di sana, Vina menyambut dengan ramah dan memakai kerudung. Membuatnya terlihat semakin manis. Ternyata, Vina sudah siap dengan bukunya.

“Di sekolahku, biologi sudah sampai Animalia—dunia hewan. Kemarin juga sudah ulangan,” kataku mulai bersungguh-sungguh. Menunjuk halaman pada buku yang menjelaskan mengenai Animalia.

“Oh, di sekolah memang sudah sampai Animalia. Namun, yang dibahas masih mengenai Porifera.”

Kami belajar dan berdiskusi. Pertama, materi biologi. Aku lebih mengerti biologi dari Vina. Sehingga, Vina bertanya sana-sini tentang biologi padaku. Aku juga bertanya pada Vina apa yang masih belum ku mengerti. Sebaliknya, Vina sangat memahami fisika. Aku banyak bertanya hal yang tak ku mengerti tentang fisika.

Di UNAS SMP, kami sama-sama mendapat nilai 10 pada mata pelajaran IPA dan Matematika. Itu karena, aku dan Vina sudah belajar bersama dan mengisi ketidak-mengertian masing-masing. Sehingga, kami mendapat nilai sempurna. Dulu, sewaktu SMP kami sering belajar bersama. Ada yang berbeda Vina sekarang dan dulu. Dulu, Vina tak memakai kerudung. Sekarang ia memakai kerudung dan terlihat semakin cantik. Dan sepertinya, ia juga semakin pintar.

“Hei, Sena. Kamu kok bengong,” suara Vina mengangetkanku. Aku yang sedari tadi terbengong melihatnya. Melihat ia memakai kerudung. Juga cara menerangkannya semakin jelas. Hanya rasa kagum yang bisa ku gunakan sebagai alasan.

“Iya. Aku kagum sama kamu. Kamu semakin pintar,” ujarku terbata-bata mencari alasan. “Sepertinya kamu akan melampauiku. Aku semakin bersemangat nih.”

“Ah, bisa saja. Ayo fokus lagi. Nanti kamu tak bisa mengerti.”

Aku benar-benar bingung. Apa mungkin aku jatuh cinta padanya? Ah, ada-ada saja. Aku memang sudah kenal padanya sedari SMP. Keluarganya pun kenal padaku. Begitu juga keluargaku kenal padanya. Karena Vina juga sering belajar di rumahku. Jangan-jangan aku memang terkena virus merah jambu.

***

Ayam berkokok membangunkanku penghuni alam ini. Aku sudah bangun. Siap jogging pagi ini. Aku sudah berjanji pada Vina untuk jogging bersama. Jogging berkeliling perumahan ini. Lumayan untuk berolahraga.

Tak banyak yang berolahraga. Karena hari ini bukan hari minggu. Tapi, bagi siswa SMA, adalah hari libur. Sehingga terlihat siswa SMA jogging bersama teman atau pasangannya.

Sampai juga di depan rumah Vina. Vina sudah siap. Lalu, kami berjalan bersama. Benar-benar asri ada di dekatnya. Aku memang jatuh cinta padanya. Dasar. Virus merah jambu sudah menggerogoti tubuhku.

“Bagaimana kabarnya kawan-kawan?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Kawan-kawan tentu baik-baik saja. Kamu terlihat ceria hari ini. Ada apa?” ujar Vina. Aku mulai bingung harus menjawab apa. Mungkin dia curiga melihatku sedari tadi senyum sendiri seperti orang gila.

“Karena aku bertemu dengan kawan lamaku. Sahabatku. Tentu aku ceria donk,” jawabku beralasan.

“Oh. Kamu selama ini tidak rindu padaku? Kita ‘kan jarang bertemu.” Aku bingung harus menjawab apa lagi.

“Iya, terkadang jika aku ingat, aku rindu padamu. Rindu pada mamamu. Rindu belajar bersamamu. Rindu pada teh buatan mamamu.” Kami tertawa bersama.

Kami meneruskan obrolan hingga sampai di suatu tempat. Di bukit. Di sinilah, tempat mengingatkanku pada sesuatu.

“Vina, aku ingin kita ke bukit itu. Mengingat yang dulu-dulu,” kataku. Vina mengangguk. Lalu, ku gandeng tangannya. Aku berjalan perlahan menaiki bukit ini Banyak batuan terjal. Vina tetap tersenyum.

“Sebenarnya ada apa?” tanya Vina sesampai di bukit.

“Sejak kita bertemu kemarin, aku merasa ada yang berubah darimu. Kau terlihat semakin cantik, semakin manis dan semakin pintar. Kau sekarang juga sudah memakai kerudung,” kataku terus terang padanya. Ia tersenyum malu. “Aku mencintaimu, Vina. Maukah kau menjadi kekasihku?” Aku berlutut padanya sambil menggenggam tangannya. Vina tersenyum. Tapi, kemudian menampakkan wajah bingung.

“Aduh kamu ini kenapa? Ada ada saja.”

“Aku bersungguh-sungguh, Vina. Aku juga tak tahu kenapa. Tiba-tiba rasa ini muncul dan menyuruhku untuk menyatakannya padamu,” ujarku dengan mimik wajah meyakinkan.

Vina bingung harus menjawab apa. Ia menitikkan air mata. Kini aku ingat sesuatu setahun yang lalu. Lebih dari satu tahun. Di bukit ini pula. Saat itu aku juga jogging  bersamanya.

Dulu Vina menyatakan cintanya padaku di bukit ini pula. Aku menjawab dengan sedih namun tegas.

“Aku tak bisa Vina. Kita masih SMP. Masih banyak mimpi-mimpi yang harus ku gapai. Begitu juga denganmu. Kita masih harus mengisi hari-hari ini dengan banyak prestasi. Aku tak bisa menjadi kekasihmu. Aku hanya menganggapmu sebagai teman dan sahabat. Kaulah sahabat karibku. Mana mungkin aku menjadi kekasihmu. Maafkan aku.”

Vina menjawab sambil menangis. “Tapi, aku begitu cinta padamu, Sena. Aku ingin selalu di dekatmu. Aku ingin kamu yang melindungiku.” Vina menjawab dengan sesenggukan.

Aku menghapus air matanya. ”Takkan ku biarkan sahabatku menangis. Aku akan melindungimu dan menjagamu. Kita masih bisa bersahabat. Aku dan kau akan belajar bersama dan meraih prestasi bersama. Aku juga sayang padamu sebagai sahabat. Maafkan aku.”

Dan kini Vina juga menangis. Aku menghapus air matanya. “Takkan ku biarkan sahabatku menangis.” Vina terkejut. Mendengar kata-kata itu lagi. Ia berhenti menangis dan mengusap air matanya.

Kini ia menggenggam erat tanganku. “Sena, aku juga sayang dan cinta padamu. Namun, kata-katamu terdahulu membuatku merenung. Kamu benar. Hingga kita bisa menjadi juara di sekolah. Aku juga tak bisa menjadikanmu sebagai kekasih. Kita hanya sahabat. Tak lebih. Mungkin jika kita sudah dewasa nanti, Tuhan akan mempertemukan kita dalam ikatan akad nikah. Namun, itu masih lama. Mimpi-mimpiku masih banyak yang belum terwujud.”

Aku sadar. Vina kembali menangis. Aku memeluknya. Aku berjanji akan selalu di dekatmu dan akan melindungimu.

Ambulu, 8 April 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar