Malam ini, aku sedang berada di dalam bus yang akan membawaku pulang. Aku memang tinggal kos di kota untuk sekolah, dan baru setiap bulan aku pulang.
Suasana di dalam bus tidak cukup ramai, kendati sekarang adalah liburan sekolah. Aku duduk sendiri di bangku sebelah kanan bus yang seharusnya untuk tiga penumpang. Lewat kacamata minusku ini, aku menerawang ke luar bus. Tak ada yang spesial.
Bukan berarti aku mengharap ada kebakaran rumah di luar sana. Lalu jalanan macet sehingga aku terlambat pulang. Bukan, bukan itu. Amat dramatis sekali.
Aku menyalakan lagu dan mendengarkan beberapa lagu rock dari Avenged Sevenfold dan Muse. Tapi aku merasa bosan. Setiap hari hidupku dipenuhi rock. Aku tak tahu harus berbuat apa agar aku tidak merasa bosan. Kulirik ke beberapa penumpang, ada yang sedang terlelap. Dan kebanyakan dari mereka memilih diam. Tak ada yang menarik.
Tiba-tiba bus berhenti dan masuklah seorang gadis berambut panjang sedang mencangklong tas punggung. Tingginya kira-kira hampir mengimbangi tinggi badanku. Melihat bangku di sebelahku kosong ia langsung menghampirinya dan duduk di situ. Si kenek langsung menghampiri gadis ini untuk transaksi pembayaran. Setelah selesai, aku menoleh ke arah gadis itu sambil tersenyum.
Kulihat matanya yang hitam, indah. Wajahnya amat manis sekali. Kulit putihnya membuat semua orang tertarik untuk menolehnya, termasuk aku. Cantik sekali gadis ini. Kutaksir ia adalah keturunan indo atau paling tidak punya darah orang kulit putih. Aku ingin berkenalan dengannya tapi aku tak tahu harus bagaimana. Sambil memikirkan caranya, aku kembali memandang suasana di luar bus yang tetap membosankan.
“Hei, Mas Radit ya,” celetuk gadis manis ini. Aku terkejut ia memanggil namaku. Dari mana dia tahu.
Aku menoleh ke arahnya. “Eh, iya. Ehm siapa ya?” Aku mungkin terlihat salah tingkah di depannya.
“Wah senang sekali bisa bertemu Mas. Aku amat mengagumi Mas lho,” ujarnya sambil tertawa.
Hah? Ia mengagumiku. Aku punya pengagum.
“Mau pulang ya? Aku juga mau pulang lho. Rumah kita kan satu kecamatan,” katanya. Sembari masih bingung, aku cuma bisa tersenyum menatap gadis manis ini. Aku tak tahu harus mengatakan apa di dekat gadis semanis dan secantik dia.
“Ohya, aku punya sesuatu.” Ia mengambil tas yang tadinya ada di punggungnya. Lalu membukanya dan merogoh sesuatu di dalam tasnya itu.
Ia mengeluarkan sebuah album foto dan menyerahkannya padaku. “Ini album foto isinya dokumentasi tentang Mas Radit,” sambungnya sambil tersenyum manis sekali.
Aku membaca cover album foto ini. Ada lambang hati berwarna merah muda. Lalu ada juga namaku, Radit. Aku mencoba membukanya. Dan rasa terkejutku muncul kembali. Di halaman pertama aku melihat foto-fotoku sedang bermain gitar, baik akustik maupun elektrik. Aku tak bisa berkata-kata.
“Ehm, foto ini kuambil waktu ada Parade Band di sekolah kita,” ucapnya sambil menunjuk foto pojok kiri atas. Ya ampun. Ada enam foto di sini. Dan semua aku sedang bermain gitar. “Kalo ini waktu kamu Parade Band Islami di Masjid Jami’,” ujarnya. Ia menunjuk pada foto aku sedang bermain gitar dan memakai busana muslim. “Kalau yang ini, waktu itu kamu tampil di Surabaya. Terus yang ini waktu MOS di sekolah. Kamu mengiringi nyanyian kami dengan gitar akustik kan?” cerocosnya.
Aku cuma tertegun dan masih belum percaya dengan semua ini. Ternyata ada orang yang mengabadikan momen-momen istimewa ketika aku bermain musik.
Aku membuka halaman selanjutnya. Aku lebih terkejut lagi. Aku sedang tidur di bangku sekolah. Tapi ini pasti bukan saat aku sekolah, tapi saat ada MOS. “Kau terlihat kelelahan saat itu. Aku mengabadikannya.” Kali ini ia tersenyum lebih manis lagi. Ya ampun.
Foto yang lain lebih beragam. Ada saat aku sedang menggiring bola. Kala itu aku sedang bertanding sepak bola di liga sekolah. Ada juga saat aku sedang berlatih karate. Yang lebih membuatku heran lagi, aku melihat fotoku sedang bersalaman dengan gadis manis ini. “Kalau yang itu saat kita berkenalan di perpustakaan sekolah. Saat itu kau sedang mencari buku yang sedang kubaca. Dan lalu keberikan padamu. Sudah lupa ya?” terangnya.
“Kok, ka-kamu punya fotonya?” tanyaku terbata.
Ia cuma membalas pertanyaanku dengan senyum yang jauh lebih manis dari sebelumnya.
Aku membuka lagi halaman selanjutnya. Ketika melihatnya aku mengernyitkan dahi. Rasa terkejutku belum berhenti juga. Di halaman ini berisi beberapa tulisan.
“Ini apa?” tanyaku.
“Ini semua tulisanmu. Cerpen dan beberapa artikel yang kau tulis dan dimuat di surat kabar. Aku mengguntingnya dan menempelkannya di sini.”
Ya ampun, ini memang tulisanku. Halaman selanjutnya menampilkan beberapa puisi. Tanpa menunggu dia berkata, aku mendahuluinya. “Ini semua puisi-puisiku yang dimuat di surat kabar. Kamu menyukainya?”
“Teramat sangat, Mas. Jarang aku menemukan laki-laki macam dirimu. Multi-talent, mungkin itu gambaran dirimu.”
“Jadi sebenarnya untuk apa kau melakukan semua ini?” tanyaku.
“Kan aku sudah bilang, aku mengagumimu. I’m your secret admirer,” ucapnya sambil tertawa. Ya ampun, aku punya secret admirer, pengagum rahasia.
“Aku sering datang saat kamu sedang berlatih karate di sekolah. Aku suka melihatmu berkeringat.”
“Jadi, apa kita sudah saling kenal sebelumnya?” tanyaku lagi.
Ia cuma tersenyum. “Ada lagi yang terakhir.” Ia membuka halaman selanjutnya. Halaman ini malah berisi tulisan tangan. “Kalau ini beberapa isi status dari akun Facebook dan Twitter milikmu, Mas. Aku menyukainya, aku mencatatnya dan kutempel di sini.”
Ya ampun, gadis ini betul-betul tahu siapa aku. Aku membaca beberapa tulisanku. Aku amat terharu sekali ketika aku membaca statusku yang ditulis-ulang oleh gadis ini. Isinya macam-macam. Ada saat di mana aku sedang marah, sedih atau amat gembira.
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Aku masih belum percaya menghadapi kenyataan ini. Dia. Eh, siapa namanya ya?
“Ehm, siapa namamu?” tanyaku.
Ia malah tersenyum. Ya ampun, ini senyum termanis di dunia yang pernah aku lihat. Dan saat itu juga pipinya memerah.
Apa mungkin ia sedang malu?
Si kenek berteriak menyebut nama sebuah tempat. Bus berhenti dan gadis manis ini beranjak dari tempat duduknya. Sebelum menlangkah, ia menoleh padaku yang masih memegang album fotonya. Ia tersenyum.
“Bukalah halaman terakhir,” katanya.
Aku membuka halaman terakhir dan kutemukan sebuah nomor telepon. Kutaksir ini nomor telepon gadis manis itu. Aku tersenyum padanya.
Lantas ia turun dari bus dan pergi. “Tenang saja, gadis manis. Aku akan meneleponmu. Dan kau tak akan jadi secret admirer lagi sekarang. Karena ini bukan lagi sebuah rahasia,” ucapku dalam hati sambil tersenyum bagai orang gila.
Ambulu, 6 September 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar