Kali ini saya amat antusias sekali menonton sepakbola antara Timnas Indonesia melawan Timnas Bahrain yang akan berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Saya hanya melihatnya di TV. Selain nasionalisme, salah satu hal yang membuat saya memiliki semangat yang membuncah adalah melihat pemain sepakbola favorit saya bermain. Ia pemilik nomor punggung 20. Siapa lagi kalau bukan Bambang Pamungkas, sang kapten.
Saya tidak akan mengomentari jalannya pertandingan. Karena saya rasa banyak sekali orang yang jauh lebih mengerti sepakbola dari pada saya. Suara saya ini mungkin hanya suara yang tak berguna.
Selama jalannya pertandingan, saya merasakan perasaan campur aduk. Ada senang, kejut, kecewa, bangga, sedih, marah dsb. Di awal pertandingan seperti biasa, saya menunggu harap-harap cemas dengan apa yang akan terjadi dengan si kulit bundar. Dan dalam pandangan saya, permainan Timnas amat ciamik saat itu. Sungguh.
Tak henti-hentinya para suporter memberikan dukungan pada Timnas. Lagu ‘Garuda di Dadaku’ terus terngiang di telinga saya.
Tapi melihat permainan kasar dari lawan, emosi saya membuncah. Saya seperti melihat pertandingan antar kampung alias tarkam, bukan laga internasional. Inilah awal mulanya rasa kecewa saya yang berbuntut kesedihan.
Beberapa kali pemain andalan Timnas seperti Ahmad Bustomi dan M. Nasuha menjadi korban keganasan lawan. Secara fisik, tubuh orang Indonesia memang kalah dengan mereka. Tapi saya rasa ini tidak boleh menjadi halangan. Sebisa mungkin pelatih harus mencari cara untuk mengatasi masalah ini.
Rasa kecewa saya semakin bertambah ketika, gawang kita kebobolan di menit akhir babak pertama. Pertandingan sudah hendak memasuki waktu turun minum dan kita kebobolan. Sangat disayangkan.
Saya juga melihat bagaimana para pemain termasuk sang kapten Bepe—panggilan sapaan Bambang Pamungkas—berusaha untuk mengerjar ketinggalan. Tapi memang sangat sulit menembus dinding pertahanan lawan yang rata-rata postus tubuh jangkung mereka melebih postur tubuh pemain kita.
Sampai pada akhirnya gawang kita kebobolan lagi dan terjadi sebuah insiden yang membuat saya kecewa.
Di menit 75 terdengar bunyi petasan yang menggema stadion. Pertandingan dihentikan saat itu juga. Beberapa orang seperti wasit, presiden AFC (badan tertinggi sepak bola Asia), pelatih dan kapten Bambang Pamungkas berbincang-bincang tentang masalah yang terjadi. Hingga pada akhirnya tiba-tiba presiden AFC memutuskan untuk menghentikan pertandingan. Tapi Bepe tak henti-hentinya meminta agar pertandingan dilanjutkan dan pada akhirnya pertandingan berlanjut.
Lima belas menit tersisa dan tanpa hasil apa-apa. Semua perasaan campur aduk dan sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sungguh, saya tak tahu harus berucap apa. Satu pertanyaan yang ada di benak saya. Apakah nasionalisme hanya ditentukan oleh pertandingan 2 x 45 menit ini?
Saya merasa kecewa, tapi yang jelas para punggawa Timnas telah berusaha semaksimal mungkin. Lalu saya membuka akun Twitter dan Facebook saya. Isinya sudah saya duga. Beberapa teman saya merasa kesal dengan hasil yang ada. Tak sedikit yang mengumpat. Tapi apapun yang terjadi, inilah yang ada di hadapan kita. Dan pemain kita sudah berusaha.
Setiap hal entah itu memuaskan atau mengecewakan tentu akan menjadi pelajaran berarti untuk kita. Seperti halnya pertandingan barusan yang berujung hasil yang mengecewakan. Yang patut kita acungi jempol adalah usaha pemain kita. Proses lebih penting dari hasil. Dan satu pelajaran yang pasti kita ambil, kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Masih ada empat pertandingan lagi yang akan kita hadapi. Di situ kita harus bisa memanfaatkan sebaik-baiknya. Lebih dari itu sampai kapanpun bangsa Indonesia pasti berdoa agar garuda dapat terbang tinggi selamanya. Tak peduli itu 2 x 45 menit atau tidak.
Garuda di dadaku! Merdeka.
Ambulu, 6 September 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar