Idul Fitri adalah hari raya umat islam. Aku termasuk di dalamnya. Yeah, jadi selama tiga hari ini aku ya merayakan hari rayaku. Aku dan keluargaku berkunjung door to door. Tapi bukan salesman kali. Aku berkunjung ke rumah tetangga dan tak lupa ke rumah sanak famili. Nah, aku ingin bercerita tentang hal ini.
Ada satu hal membuatku terkesan ketika bersilaturahim, beberapa orang merasa pangling melihatku. Komentar mereka macam-macam. Mulai ngomongin fisik, sampai soal akademis. Satu yang membuatku tertawa dalam hati ketika salah seorang tetangga yang kupanggil Mbah Manan pangling dan kaget melihat postur tubuhku.
“Biuh biuh. Jan Adit douwur eram. Jan kaya walanda,” ujarnya, artinya ‘Ya ampun. Adit ternyata tinggi sekali. Mirip orang Belanda’. Aku terkejut mendengar kalimat itu. Kesannya aku seperti lama tak berjumpa dengan beliau. Tapi, memang pada kenyataanya aku jarang bertemu dengan tetangga rumah lantaran aku tinggal kos di Jember.
Yang paling banyak jelas membicarakan soal akademis. Pertanyaan pancingan yang pasti adalah: “Adit sudah kelas berapa?” Itu pertanyaan bagi mereka yang tahu bahwa aku masih sekolah. Tapi bagi yang belum tahu, maka mereka akan tanya: “Adit kuliah di mana?”
Untuk pertanyaan pertama aku pasti akan menjawab, “Masih kelas 3 SMA.” Namun, begitu juga dengan pertanyaan kedua.
Jika sudah begini, mereka pasti akan tanya, “Mau kuliah di mana? Di jurusan apa?”
Hanya beberapa sebenarnya yang tanya lebih lanjut. Ada yang menyarankan aku untuk kuliah di Fakultas Kedokteran. Hallo? Aku anak IPS kali. Ada yang menyarankan aku untuk kuliah di UI. Sampai suatu ketika, pakdheku bertanya lebih jauh soal ini. Pakdhe sendiri jeboleh Taman Siswa Jogja jurusan Pertanian.
“Mau kuliah di mana nih, Dit?” tanya beliau.
“Insya Allah ngambil jurusan Ilmu Komunikasi di UI, pakdhe. Utawa di Sastra. Saya suka menulis.”
“Nah di komunikasi itu bagus, le.”
Ketika sedang ngobrol, ayahku juga ada. Langsung saja beliau ikut nimbrung soal ini. Sebelumnya aku dan ayah memang sudah membicarakan hal ini. Tapi sepertinya perlu dikaji ulang.
“Tapi aku bingung, Yah. Aku suka sastra,” ujarku.
“Coba kamu lihat sastrawan-sastrawan itu. Kebanyakan background pendidikan mereka itu malah bukan di sastra. Tengok saja Seno Gumira Ajidharma, Sujiwo Tejo, Andrea Hirata, Kuntowijoyo, Jujur Prananto. Cuma Tante Linda dan Om Odi saja yang sastra.”
Iya ya. Aku baru menyadarinya. Untuk dua nama terakhir itu adalah kawan ayah. Aku juga sering berinteraksi dengan Om Odi lewat situ jejaring sosial soal dunia tulis-menulis.
Aku jadi semakin bingung. Jujur, aku lebih suka menulis fiksi daripada features yang biasa ada di surat kabar. Dan kupikir, aku seharusnya belajar banyak tentang menulis. Jadi, aku tak boleh membatasi apa yang ingin kupelajari. Makanya aku sekarang bergabung di RanSel Radar Jember untuk belajar menulis di bidang Jurnalistik. Tapi aku juga tetap menulis fiksi.
Ketika aku sedang memikirkan hal ini, tiba-tiba ayah nyeletuk.
“Kalau kamu mau masuk Sosiologi UI, ayah malah punya banyak kenalan,” ujarnya.
Aku tersenyum. Sebenarnya, salah satu pertimbanganku aku memilih jurusan IPS adalah karena aku ingin belajar Sosiologi, Sastra, Seni dan Sejarah. Waktu masih awal kelas dua, aku sempat berhasrat untuk masuk Sosiologi. Aku ingin belajar tentang apa yang ada di masyarakat.
Aku jadi menimbang-nimbang ulang. Tapi yang jelas, aku suka menulis. Dan untuk dapat menulis dengan lancar dibutuhkan pengetahuan yang luas. Maka sebaiknya aku tidak membatasi apa yang kupelajari, bukan?
Ambulu, 2 September 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar