Senin, 18 November 2013

Remang di Bus

Malam ini udara cukup dingin. Aku sedang naik bus yang akan membawaku ke Malang. Kulihat di dalam bus yang kunaiki ini hanya berisi beberapa orang saja, sekira lima belas orang. Remang lampu bus, membiaskan suasana yang kurang menyenangkan. Aku cuma memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu rumah yang cantik menghiasi malam yang dingin ini.

Bus berhenti di lampu merah, naiklah para pengamen dan penjaja makanan. Bus langsung ramai dengan teriakan mereka. Pandanganku tak berubah. Teriakan semakin kencang. Tapi, tak kudengar ada yang mendendangkan lagu. Ketika lampu berubah menjadi hijau, bus akan jalan. Para penjual makanan lantas turun. Tapi, tiba-tiba ada suara parau yang mengejutkanku. Ia seorang pemuda yang gagah dan tampan berdiri sedang memegang gitar. Bias remang lampu membuatku tidak bisa melihat secara jelas ke arah pengamen itu. Tapi, kutaksir ia akan mengamen, kan ia pegang gitar. Ia memakai topi, kaos oblong dan celana jeans robek di lutut. Sama dengan celanaku. Sendal jepit dengan apik menghiasi kakinya.

Ketika mulai membuka mulut, aku lebih terkejut lagi. Ia tidak bisa berbicara. Bisu. Ia pemuda bisu. Jadi pemuda tampan ini tuna wicara. Kini ia sedang menyanyikan lagu yang jelas sekali aku tak tahu itu lagu apa. Denting gitar yang ia mainkan sangat kunikmati. Permainan gitarnya halus sekali. Kulihat beberapa orang mencibir. Ada yang menutup telinga bahkan. Tapi entah kenapa aku menikmati nyanyian darinya. Kutatap mata pria itu. Matanya berkaca-kaca. Ia terlihat sangat menghayati lagu yang ia mainkan. Entah lagu apa. Dari permainan gitarnya, kutaksir lagu yang ia mainkan adalah lagu dari Slank yang berjudul ‘Seperti Para Koruptor’. Permainan gitarnya sangat enak didengar. Kulihat tangan kirinya dengan asyik menjejahi fret-fret gitar. Genjrengannya pun teratur. Amat mengasyikkan. Mungkin aku tak bisa bermain gitar sehalus dia.

Usai menyanyikan lagu yang jelas sulit ‘dimengerti’ pejabat, ia lantas melepas topinya dan menyodorkan pada para penumpang, tanda minta imbalan. Kuperhatikan satu-satu hanya beberapa yang memberi. Ketika sampai giliranku, aku menatapnya sambil tersenyum. Lalu kuperagakan aku sedang menggenjreng gitar, ia mengangguk. Dan kuberi tanda jempol padanya, ia mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu kuberi ia sejumlah uang yang kukira cukup untuk membeli makan. Ia menyalamiku. Aku memberikan dua jempol padanya. Lantas ia beranjak.

Aku merasa terenyuh atas kejadian ini. Hal ini membuatku membuka mata lebih lebar. Bahwa sebenarnya masih banyak orang yang terlahir kurang beruntung. Tapi mereka tetap semangat menjalani hidup. Mereka jauh lebih tegar daripada orang pada umumnya. Dan tidak seharusnya aku selalu mengeluh melulu. Dan aku tidak boleh serakah. Teringat pesan ayah bila aku minta ini itu.

“Masih banyak yang belum makan di samping kanan-kiri kita. Jangan jadi anak manja.”

Jember, 16 Juli 2011
Aditya Prahara
Ketika tak ada guru di dalam ruang kelasku, di Sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar