Senin, 18 November 2013

Bukan Sekadar Jancuk

Di sekolah, aku adalah murid yang bodoh. Bukan murid pintar yang bisa meraih peringkat satu paralel misalnya. Dan mungkin aku murid terbodoh di sekolahku. Tapi, aku merasa menikmati hidupku sebagai murid bodoh. Dan aku merasa memiliki pergaulan yang luas. Hampir semua siswa laki-laki seangkatanku di sekolahku kenal denganku dan begitu juga sebaliknya. Penjaga kopsis, satpam, penjual makanan di kantin sampai tukang kebun di sekolah kenal aku. Paling tidak mereka hafal wajahku yang asli jawa ini. Bila ketemu di luar sekolah, pasti saling menyapa. Sapaan itu akan menambah keakraban diantara kami.

Pergaulanku adalah bersama teman laki-laki di sekolah. Jelas saja. Tapi aku tidak membatasi pergaulanku berdasar gender. Aku juga banyak kenal dengan gadis-gadis di sekolahku. Pergaulan lintas gender ini biasanya membuatku akrab dengan mereka dan bisa saling berbagi, bercerita tentang apa saja. Mulai tentang belajar hingga asmara.

Satu hal yang membuatku terkesan jika bergaul dengan teman laki-laki. Aku merasa asyik ketika berkumpul dengan teman laki-laki. Gokil. Mungkin itu gambarannya. Dan biasanya obrolan kami adalah candaan. Tapi bukan berarti kami tak pernah membicarakan hal serius. Gokil, gila, edan. Aku suka dengan ketiga kata itu. Dalam bahasa Inggris aku menyebut keakraban kami ini crazy bukan mad.

Ketika awal masuk SMA, awalnya aku merasa bingung dengan bahasa para siswa laki-laki yang menggunakan bahasa jawa dibalik-balik ala Malang. Tapi setelah aku masuk di dalamnya, aku merasa sangat asyik sekali. Dan ketika berbicara dengan bahasa balik, aku bisa merasa akrab dengan mereka. Ini adalah pengalaman yang luar biasa yang kudapat di SMA dalam pergaulanku.

Tapi, aku merasa agak canggung dengan sebuah kata yang kurasa jorok diucapkan dengan mudah. Kata tersebut adalah jancuk. Ketika aku SD atau SMP, aku merasa sangat sensitif dengan kata itu. Aku bahkan waktu kecil berusaha untuk tidak mengatakan kata itu. Dan aku masih ingat kapan aku untuk pertama kalinya melontarkan kata itu. Saat itu aku masih kelas 6 SD. Aku terpaksa melontarkan kata itu karena aku sedang kesal. Ketika aku sadar, aku menyesal sekali telah melontarkan kata itu. Itu tidak baik, anggapanku kala itu. Tapi, lama-lama aku mendengarnya sebagai sebuah kebiasaan. Biasanya, kami memanggil teman laki-laki satu sama lain dengan suku kata terakhir dari kata itu, cuk. Terdengar sangat kasar mungkin bila tak terbiasa mendengarnya. Tapi, lambat laun aku merasa hal itu adalah hal biasa dan lazim. Dan kulihat tak pernah ada yang marah bila dipanggil dengan sebutan kata itu. Karena memang sudah terbiasa.

Suatu ketika, pagi hari, aku membuka akun twitter. Di timeline twitter, aku membaca tweet dari seorang seniman luar biasa, yakni Sujiwo Tejo. “Selamat pagi, Jancukers. Apa kabar hari ini?” Begitulah isi dari tweet pria kelahiran Jember, tempat kelahiranku ini. Aku mengerutkan dahi kala membacanya. Bagaimana tidak, Sujiwo Tejo itu seorang dalang, penulis, pelukis, penyanyi, aktor, sutradara yang sangat cerdas. Basic pendidikannya adalah sains. Tapi telah melontarkan kata seperti itu. Mungkin bila yang mengucapkan itu adalah temanku, aku tidak akan merasa risau dengan hal ini. Saat itu ayah sedang ada di rumah, langsung saja segera kuceritakan pada ayah.

“Yah, tadi pagi aku buka twitter, dan muncul tweet dari Sujiwo Tejo yang berisi: ‘Selamat pagi, Jancukers. Apa kabar hari ini?’.”

Ayah langsung menyambar untuk membalas pernyataanku. “Lha memang, kata itu nggak selamanya ngumpat. Sejatinya memang ngumpat. Tapi di situ bukan sebagai umpatan melainkan sebagai kata yang digunakan untuk menambah keakraban.”

Aku mengangguk-angguk. Bukan sebagai anak metal yang sedang mendengarkan lagu keras, tapi mengangguk-angguk mengerti.

Pantas saja, teman-teman di sekolahku tidak risau dengan kata itu. Malah biasanya bila ada yang mengucapakan kata ketika karena latah atau kaget, kami malah tertawa ngakak. Akrab. Iya, kata jancuk memang menambah keakraban diantara kami. Aku jadi mengerti sekarang.

Tapi yang jelas, ketika melontarkan kata itu, kita harus tahu dengan siapa kita bicara, kapan kita bicara, di mana kita bicara. Jangan sampai salah tempat dan waktu.

“Dan ingat, jangan pernah silau pada seseorang dan jangan pernah meremehkan seseorang. Tiap pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jika kamu kagum pada seseorang, ambil segi positifnya saja. Jangan terlalu fanatik,” pesan ayah.

Jember, 15 Juli 2011
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar