Bel di sekolah telah berbunyi. Aku
melangkahkan kaki menuju kelas dengan tergesa-gesa. Tak seperti biasanya, hari
ini aku terlambat sekolah. Yah, meskipun terlambat sepersekian detik, bagiku
atau siapa pun itu tetap saja terlambat. Kelas tak begitu ramai. Jadi, aku tak
usah merasa khawatir. Begitu sampai di kelas, aku langsung duduk di bangkuku.
Dengan santainya, seorang anak kumal,
malas nun berkulit hitam namun manis—menurut orang-orang—berjalan masuk ke
dalam kelas dengan santai. Ialah Devan. Sementara teman-teman sedang sibuk
belajar untuk ulangan Matematika, Devan dengan santai mengeluarkan laptop dan
bermain PES—Pro Evolution Soccer.
“Kau tak belajar, kawan?” tanya Gagah,
teman sebangkunya.
“Alah, ngapain belajar? Kan ada Al-Kitabun dan Suhuf. Ini harus
dimanfaatkan,” kata Devan sambil menunjuk buku dan beberapa lembaran.
Ibunda Guru pun masuk ke dalam kelas.
Ibunda Guru membagikan lembar soal dan lembar jawaban pada kami.
“Waktunya enam puluh menit. Silahkan
dikerjakan dengan teliti. Saya harap ada mendapat nilai sempurna.”
“Amin,” jawab kami sekelas.
“Oh iya satu lagi. Tolong kerjakan
dengan jujur. Tak boleh menyontek. Itu sudah merupakan peraturan tak tertulis.
HP, buku, dan lembaran lainnya, tolong dimasukkan ke dalam tas. Mengerti?”
“Mengerti, Ibunda Guru.”
“Baik, silahkan kerjakan.”
Pertarungan antar siswa berjalan
dengan sengit. Semua sibuk memelototi soal. Ketika mengerti maksud soal, tinta
hitam langsung menghantam kertas putih yang tak berdosa. Sekarang tinta putih
telah ditemani oleh tinta hitam. Dengan ganasnya para siswa menulis pada lembar
jawaban.
Devan tetap santai saja. Dengan
gampangnya ia membuka buku yang ada di laci meja. Ibunda Guru tak menjaga
dengan ketat. Jadi, ada sebuah setan yang lolos ketika ingin masuk surga.
Dengan senyum yang mengembang, Devan
menyalin jawaban dari buku. Aku hanya geleng-geleng melihat tingkah polah
temanku ini.
“Saya minta kalian benar-benar jujur!”
Suara Ibunda Guru mengagetkan kami.
Suaranya lebih mirip halilintar. Aku pun tetap tenang. Karena soal-soal dengan
mudahnya kujawab. Devan terlihat kikuk dengan tingkahnya yang mencurigakan.
“Raden Mas Devan, kenapa melihat ke
bawah? Ada uang jatuh?” suara Ibunda Guru dari belakang mengejutkan Devan.
“Eh....eh.. Tidak, Ibunda Guru. Saya
sedang berfikir untuk dapat mengerjakan soal dengan baik.”
“Oh, begitu. Tapi, saya harap, tangan
saya tidak mampu menyobek kertas ulangan itu.”
Keringat dingin membasahi wajah Devan.
Ia benar-benar panik.
“Kerjakan semampumu, Nak,” kata Ibunda
Guru.
Devan mengangguk dengan khawatir.
Kami semua menikmati soal-soal yang
ada. Bagaikan lalapan lele, soal-soal itu kami santap dengan lahap bagaikan
manusia setengah dewa yang tidak makan 7 hari 10 malam. Bukannya kenyang, kami
malah ingin tambahan soal. Devan tetap menunjukkan sikap khawatirnya.
“Gah, tolongin, donk!” bisik Devan
pada Gagah.
“Ada-ada aja. Makanya belajar, bukan
main PES,” jawab Gagah enteng.
Devan merasa semakin khawatir.
Terlebih tiba-tiba salah seorang siswa perempuan sudah mengumpulkan jawaban. Ia
menghampiri Ibunda Guru yang ada di belakang yang sedang mengamati siswa.
“Ibunda Guru! Saya sudah selesai.”
“Baiklah. Kumpulkan di depan. Dan
silahkan ke luar. Tunggu di luar,” kata Ibunda Guru sambil menyungging senyum
yang khas. Siswa tersebut ke luar kelas. Ibunda Guru melihat ke arah jam
tangan. “Nak, waktu masih berjalan tiga puluh menit. Apa kamu yakin ingin
mengumpulkannya?”
Siswa tersebut pun kembali dan
menjawab, “Saya yakin, Ibunda Guru.”
Ibunda Guru mengangguk. Devan terlihat
semakin resah. Bagaimana tidak, Ibunda Guru sedang ada di belakang dan ia tak
mungkin menyontek pada buku seenaknya. Lambat laun, satu per satu siswa
mengumpulkan jawaban. Waktu tersisa lima belas menit dan hanya Devan yang belum
mengumpulkan soal.
Ibunda Guru maju ke depan kelas dan
merapikan jawaban teman-teman. Lalu, setelah meletakkan kertas-kertas itu,
beliau melirik pada Devan.
“Belum selesai, Nak?”
“Belum.”
Ibunda Guru tersenyum.
***
Devan merupakan darah biru. Nama
lengkapnya Raden Mas Devan Wicaksono Kalijogo. Entahlah keturunana kerajaan
mana. Ada nama kalijogo di belakang namanya. Sempat aku bertanya padanya.
“Kalijogo itu nama salah satu wali
songo kan?” tanyaku.
“Iya kenapa?”
“Ehm, kamu ada darah dengan Sunan
Kalijogo?”
Devan langsung mendelik. “Ssstt,
jangan keras-keras.”
“Ada apa?”
“Tak ada.”
“Sebentar. Jawaban tak ada-mu itu
untuk pertanyaanku yang mana?”
“Hah?”
“Aku dua kali bernyata padamu.
Pertama, ‘kamu ada darah dengan Sunan Kalijogo?’. Kedua, ‘ada apa?’”
“Ehm, dua-duanya tak ada.”
“Lantas?”
Devan menoleh kiri-kanan. Entah hendak
apa dia. “Jangan keras-keras,” katanya berbisik.
“Kenapa sih?” tanyaku penasaran.
“Ehm, tidak ada,” jawabnya enteng.
“Baiklah, kawan. Sekarang ceritakan
tentang nama bangsawanmu.”
Devan menarik nafas panjang sambil
memjamkan mata. “Oke. Demi temanku.” Lalu ia menarik nafas panjang lagi tetap
dengan mata tertutup.
“Hei, teman-teman Devan mau cerita,”
teriakku pada teman-teman.
Teman langsung mengeroyoki kami.
Berkumpul. Devan membuka matanya terbelalak.
“Hei, ada apa ini?”
“Katanya kamu mau cerita?” Gagah
angkat bicara.
“Tentang namaku?” Devan memastikan.
Semua mengangguk pasti. “Baiklah. Ayahku ini bernama Raden Mas Suryo Cipto
Laksono. Kakekku bernama Raden Mas Mangkoedjiwo Pranoto.”
“Lantas?” tanya salah seorang temanku.
“Kata ayahku, kami memang keturunan
dari kerajaan. Jadi secara turun-temurun kami bergelar bangsawan Raden Mas,
untuk laki-laki. Kalau perempuan bergelar Raden Roro. Jelas?” Mulai somobong
dia.
“Oh, begitu. Dari kerajaan mana?”
celetuk salah seorang temanku.
“Ehm, aku juga tak begitu mengerti.
Yang jelas aku ini seorang bangsawan. Oh, iya satu lagi. Gelar bangsawan ini
hanya turun dari garis keturunan laki-laki. Jadi, kalau adik perempuanku
menikah dengan rakyat jelata yang tak bergelar bangsawan, maka nama anaknya tak
boleh bergelar Raden Mas atau Raden Roro. Sampai di situlah garis
kebangsawanannya.” Dia bercerita dengan angkuh. Teman-teman agak benci dengan
sikapnya ini. Tapi kami masih penasaran.
“Seperti itukah?” tanya Gagah. Devan
mengangguk.
“Lalu bagaimana dengan ibumu? Juga
seorang bangsawan?” tanyaku.
“Iya. Ibu bergelar Raden Roro. Nama
lengkapnya Raden Roro Pramito Djiwo Kirono.”
Teman-teman manggut-manggut.
***
Hasil ulangan dibagikan. Ada dua siswa
yang mendapat nilai seratus. Aku dan Gagah. Tapi Devan? Mendapat nilai terendah
di kelas dan menjadi satu-satunya murid yang harus mengulang ulangan karena
nilainya begitu rendah.
“Saya tidak bisa mengulang, Ibunda.
Saya sedang tidak enak badan.”
“Lalu, apa kamu mau mendapat nilai
rendah di rapor?”
“Tidak.”
“Lalu bagaimana?”
“Saya diberi tugas saja. Misalnya
membuat makalah. Saya akan mengerjakannya dengan baik, Ibunda.”
“Baiklah. Buatlah yang bagus. Saya
ingin makalah itu mengenai Phytagoras, Albert Einstein, Pascal, dan buatlah
soal-soal matematika berserta jawabannya. Sepuluh soal.”
“Baik, Ibunda.”
Itulah Devan. Ia memang selalu masuk
sekolah. Tapi malasnya minta ampun. Hampir pada semua guru ia meminta diberi
tugas saja ketika harus mengulang ulangan. Misalnya berpura-pura sakit. Pada
satu guru ia baik, kadang pula bertindak nakal. Perangainya banyak sekali.
Teman-temanku memanggilnya Pangeran Dasamuka. Ya, Pangeran Dasamuka berari
pangeran yang berwajah sepuluh.
Bagaimana dengan tugasnya? Berarti
banyak sekali. Ia malah menjawab dengan mudah ketika ditanya begitu.
“Kan
ada internet. Apa gunanya intenet?”
Benar-benar pemalas.
Meski malas, banyak pula gadis yang
terpikat padanya. Itu semua karena bujuk rayuan gombalnya. Playboy kelas kakap.
***
Hari saat menerima rapor pun tiba.
Kami menunggu harap-harap cemas. Karena rapor kali ini rapor kenaikan kelas.
Aku sekarang kelas sebelas dan akan naik ke kelas dua belas SMA. Tapi, beredar
kabar tidak sedap bahwa ada satu murid kelas sebelas yang tidak naik kelas.
Pasti siswa itu Devan.
Tapi itu tadi hanya gosip. Rapor pun
dibagikan. Nilaiku lumayan. Tentu saja aku naik. Tapi, ada satu siswa yang
memang tidak naik kelas. Bukan Devan.
Siswa itu adalah Romi. Romi tidak naik kelas bukan karena dia bodoh. Tapi, dia
selama dua bulan opname karena gejala kanker darah. Jadi ia tak bisa ikut
ulangan semester maupun ulangan susulan. Kasihan. Berarti Devan naik kelas.
Tapi, di sudut sekolah, di dekat pohon
beringin, aku melihat seorang anak laki-laki sedang termenung. Ia lalu membuang
rapornya. Ternyata Devan. Kenapa dia? Aku pun mendekatinya dan mengambil
rapornya. Kuberikan rapor itu padanya.
Ia malah memelukku.
“Maafkan aku. Aku memang salah.”
“Apa-apaan ini?” tanyaku.
Ia menangis sejadi-jadinya. “Aku tidak
naik kelas.”
Aku bingung harus berbuat apa. Ia
terus menangis seperti anak kecil tidak dibelikan balon. Wajahnya kini sayu. Ia
tak bisa lagi menyombongkan diri. Semua terasa sia-sia.
“Sudahlah kawan. Jangan menangis. Kita
sudah besar.”
“Terlebih lagi semua pacarku
memutuskanku.” Ia tetap menangis. Lalu melepasskan pelukannya dariku.
“Jadikan semua ini sebagai
pelajaranmu.”
“Iya. Selamat untukmu, Dani. Kau telah
menjadi juara kelas.”
Ambulu, 21 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar