Senin, 18 November 2013

Pangeran Dasamuka


Bel di sekolah telah berbunyi. Aku melangkahkan kaki menuju kelas dengan tergesa-gesa. Tak seperti biasanya, hari ini aku terlambat sekolah. Yah, meskipun terlambat sepersekian detik, bagiku atau siapa pun itu tetap saja terlambat. Kelas tak begitu ramai. Jadi, aku tak usah merasa khawatir. Begitu sampai di kelas, aku langsung duduk di bangkuku.
Dengan santainya, seorang anak kumal, malas nun berkulit hitam namun manis—menurut orang-orang—berjalan masuk ke dalam kelas dengan santai. Ialah Devan. Sementara teman-teman sedang sibuk belajar untuk ulangan Matematika, Devan dengan santai mengeluarkan laptop dan bermain PES—Pro Evolution Soccer.
“Kau tak belajar, kawan?” tanya Gagah, teman sebangkunya.
“Alah, ngapain belajar? Kan ada Al-Kitabun dan Suhuf. Ini harus dimanfaatkan,” kata Devan sambil menunjuk buku dan beberapa lembaran.
“Dasar!” cibir Gagah. Sementara Devan dengan asyik mengacuhkan Gagah.
Ibunda Guru pun masuk ke dalam kelas. Ibunda Guru membagikan lembar soal dan lembar jawaban pada kami.
“Waktunya enam puluh menit. Silahkan dikerjakan dengan teliti. Saya harap ada mendapat nilai sempurna.”
“Amin,” jawab kami sekelas.
“Oh iya satu lagi. Tolong kerjakan dengan jujur. Tak boleh menyontek. Itu sudah merupakan peraturan tak tertulis. HP, buku, dan lembaran lainnya, tolong dimasukkan ke dalam tas. Mengerti?”
“Mengerti, Ibunda Guru.”
“Baik, silahkan kerjakan.”
Pertarungan antar siswa berjalan dengan sengit. Semua sibuk memelototi soal. Ketika mengerti maksud soal, tinta hitam langsung menghantam kertas putih yang tak berdosa. Sekarang tinta putih telah ditemani oleh tinta hitam. Dengan ganasnya para siswa menulis pada lembar jawaban.
Devan tetap santai saja. Dengan gampangnya ia membuka buku yang ada di laci meja. Ibunda Guru tak menjaga dengan ketat. Jadi, ada sebuah setan yang lolos ketika ingin masuk surga.
Dengan senyum yang mengembang, Devan menyalin jawaban dari buku. Aku hanya geleng-geleng melihat tingkah polah temanku ini.
“Saya minta kalian benar-benar jujur!”
Suara Ibunda Guru mengagetkan kami. Suaranya lebih mirip halilintar. Aku pun tetap tenang. Karena soal-soal dengan mudahnya kujawab. Devan terlihat kikuk dengan tingkahnya yang mencurigakan.
“Raden Mas Devan, kenapa melihat ke bawah? Ada uang jatuh?” suara Ibunda Guru dari belakang mengejutkan Devan.
“Eh....eh.. Tidak, Ibunda Guru. Saya sedang berfikir untuk dapat mengerjakan soal dengan baik.”
“Oh, begitu. Tapi, saya harap, tangan saya tidak mampu menyobek kertas ulangan itu.”
Keringat dingin membasahi wajah Devan. Ia benar-benar panik.
“Kerjakan semampumu, Nak,” kata Ibunda Guru.
Devan mengangguk dengan khawatir.
Kami semua menikmati soal-soal yang ada. Bagaikan lalapan lele, soal-soal itu kami santap dengan lahap bagaikan manusia setengah dewa yang tidak makan 7 hari 10 malam. Bukannya kenyang, kami malah ingin tambahan soal. Devan tetap menunjukkan sikap khawatirnya.
“Gah, tolongin, donk!” bisik Devan pada Gagah.
“Ada-ada aja. Makanya belajar, bukan main PES,” jawab Gagah enteng.
Devan merasa semakin khawatir. Terlebih tiba-tiba salah seorang siswa perempuan sudah mengumpulkan jawaban. Ia menghampiri Ibunda Guru yang ada di belakang yang sedang mengamati siswa.
“Ibunda Guru! Saya sudah selesai.”
“Baiklah. Kumpulkan di depan. Dan silahkan ke luar. Tunggu di luar,” kata Ibunda Guru sambil menyungging senyum yang khas. Siswa tersebut ke luar kelas. Ibunda Guru melihat ke arah jam tangan. “Nak, waktu masih berjalan tiga puluh menit. Apa kamu yakin ingin mengumpulkannya?”
Siswa tersebut pun kembali dan menjawab, “Saya yakin, Ibunda Guru.”
Ibunda Guru mengangguk. Devan terlihat semakin resah. Bagaimana tidak, Ibunda Guru sedang ada di belakang dan ia tak mungkin menyontek pada buku seenaknya. Lambat laun, satu per satu siswa mengumpulkan jawaban. Waktu tersisa lima belas menit dan hanya Devan yang belum mengumpulkan soal.
Ibunda Guru maju ke depan kelas dan merapikan jawaban teman-teman. Lalu, setelah meletakkan kertas-kertas itu, beliau melirik pada Devan.
“Belum selesai, Nak?”
“Belum.”
Ibunda Guru tersenyum.

***

Devan merupakan darah biru. Nama lengkapnya Raden Mas Devan Wicaksono Kalijogo. Entahlah keturunana kerajaan mana. Ada nama kalijogo di belakang namanya. Sempat aku bertanya padanya.
“Kalijogo itu nama salah satu wali songo kan?” tanyaku.
“Iya kenapa?”
“Ehm, kamu ada darah dengan Sunan Kalijogo?”
Devan langsung mendelik. “Ssstt, jangan keras-keras.”
“Ada apa?”
“Tak ada.”
“Sebentar. Jawaban tak ada-mu itu untuk pertanyaanku yang mana?”
“Hah?”
“Aku dua kali bernyata padamu. Pertama, ‘kamu ada darah dengan Sunan Kalijogo?’. Kedua, ‘ada apa?’”
“Ehm, dua-duanya tak ada.”
“Lantas?”
Devan menoleh kiri-kanan. Entah hendak apa dia. “Jangan keras-keras,” katanya berbisik.
“Kenapa sih?” tanyaku penasaran.
“Ehm, tidak ada,” jawabnya enteng.
“Baiklah, kawan. Sekarang ceritakan tentang nama bangsawanmu.”
Devan menarik nafas panjang sambil memjamkan mata. “Oke. Demi temanku.” Lalu ia menarik nafas panjang lagi tetap dengan mata tertutup.
“Hei, teman-teman Devan mau cerita,” teriakku pada teman-teman.
Teman langsung mengeroyoki kami. Berkumpul. Devan membuka matanya terbelalak.
“Hei, ada apa ini?”
“Katanya kamu mau cerita?” Gagah angkat bicara.
“Tentang namaku?” Devan memastikan. Semua mengangguk pasti. “Baiklah. Ayahku ini bernama Raden Mas Suryo Cipto Laksono. Kakekku bernama Raden Mas Mangkoedjiwo Pranoto.”
“Lantas?” tanya salah seorang temanku.
“Kata ayahku, kami memang keturunan dari kerajaan. Jadi secara turun-temurun kami bergelar bangsawan Raden Mas, untuk laki-laki. Kalau perempuan bergelar Raden Roro. Jelas?” Mulai somobong dia.
“Oh, begitu. Dari kerajaan mana?” celetuk salah seorang temanku.
“Ehm, aku juga tak begitu mengerti. Yang jelas aku ini seorang bangsawan. Oh, iya satu lagi. Gelar bangsawan ini hanya turun dari garis keturunan laki-laki. Jadi, kalau adik perempuanku menikah dengan rakyat jelata yang tak bergelar bangsawan, maka nama anaknya tak boleh bergelar Raden Mas atau Raden Roro. Sampai di situlah garis kebangsawanannya.” Dia bercerita dengan angkuh. Teman-teman agak benci dengan sikapnya ini. Tapi kami masih penasaran.
“Seperti itukah?” tanya Gagah. Devan mengangguk.
“Lalu bagaimana dengan ibumu? Juga seorang bangsawan?” tanyaku.
“Iya. Ibu bergelar Raden Roro. Nama lengkapnya Raden Roro Pramito Djiwo Kirono.”
Teman-teman manggut-manggut.

***

Hasil ulangan dibagikan. Ada dua siswa yang mendapat nilai seratus. Aku dan Gagah. Tapi Devan? Mendapat nilai terendah di kelas dan menjadi satu-satunya murid yang harus mengulang ulangan karena nilainya begitu rendah.
“Saya tidak bisa mengulang, Ibunda. Saya sedang tidak enak badan.”
“Lalu, apa kamu mau mendapat nilai rendah di rapor?”
“Tidak.”
“Lalu bagaimana?”
“Saya diberi tugas saja. Misalnya membuat makalah. Saya akan mengerjakannya dengan baik, Ibunda.”
“Baiklah. Buatlah yang bagus. Saya ingin makalah itu mengenai Phytagoras, Albert Einstein, Pascal, dan buatlah soal-soal matematika berserta jawabannya. Sepuluh soal.”
“Baik, Ibunda.”
Itulah Devan. Ia memang selalu masuk sekolah. Tapi malasnya minta ampun. Hampir pada semua guru ia meminta diberi tugas saja ketika harus mengulang ulangan. Misalnya berpura-pura sakit. Pada satu guru ia baik, kadang pula bertindak nakal. Perangainya banyak sekali. Teman-temanku memanggilnya Pangeran Dasamuka. Ya, Pangeran Dasamuka berari pangeran yang berwajah sepuluh.
Bagaimana dengan tugasnya? Berarti banyak sekali. Ia malah menjawab dengan mudah ketika ditanya begitu.
Kan ada internet. Apa gunanya intenet?”
Benar-benar pemalas.
Meski malas, banyak pula gadis yang terpikat padanya. Itu semua karena bujuk rayuan gombalnya. Playboy kelas kakap.

***

Hari saat menerima rapor pun tiba. Kami menunggu harap-harap cemas. Karena rapor kali ini rapor kenaikan kelas. Aku sekarang kelas sebelas dan akan naik ke kelas dua belas SMA. Tapi, beredar kabar tidak sedap bahwa ada satu murid kelas sebelas yang tidak naik kelas. Pasti siswa itu Devan.
Tapi itu tadi hanya gosip. Rapor pun dibagikan. Nilaiku lumayan. Tentu saja aku naik. Tapi, ada satu siswa yang memang  tidak naik kelas. Bukan Devan. Siswa itu adalah Romi. Romi tidak naik kelas bukan karena dia bodoh. Tapi, dia selama dua bulan opname karena gejala kanker darah. Jadi ia tak bisa ikut ulangan semester maupun ulangan susulan. Kasihan. Berarti Devan naik kelas.
Tapi, di sudut sekolah, di dekat pohon beringin, aku melihat seorang anak laki-laki sedang termenung. Ia lalu membuang rapornya. Ternyata Devan. Kenapa dia? Aku pun mendekatinya dan mengambil rapornya. Kuberikan rapor itu padanya.
Ia malah memelukku.
“Maafkan aku. Aku memang salah.”
“Apa-apaan ini?” tanyaku.
Ia menangis sejadi-jadinya. “Aku tidak naik kelas.”
Aku bingung harus berbuat apa. Ia terus menangis seperti anak kecil tidak dibelikan balon. Wajahnya kini sayu. Ia tak bisa lagi menyombongkan diri. Semua terasa sia-sia.
“Sudahlah kawan. Jangan menangis. Kita sudah besar.”
“Terlebih lagi semua pacarku memutuskanku.” Ia tetap menangis. Lalu melepasskan pelukannya dariku.
“Jadikan semua ini sebagai pelajaranmu.”
“Iya. Selamat untukmu, Dani. Kau telah menjadi juara kelas.”


Ambulu, 21 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar