Alvin melangkah masuk ke dalam kelas.
Kini ia dibenci oleh teman-teman sekelas. Kecuali, Doni. Doni adalah pengawal
setianya. Doni mau ikut ke manapun alvin pergi. Ia seperti bodyguard. Tapi, lebih mirip anak buah. Tak jarang Doni memanggil
Alvin dengan sebutan ‘Bos’.
Alvin dibenci karena, ia suka sekali
mengejek teman-temannya. Tak jarang ia memanggil temannya dengan sebuah ejekan.
Mengganti nama orang seenaknya. Tak jarang Alvin memanggil temannya dengan nama
ayahnya. Ini sangat menjengkelkan sekali.
Dina, anak seorang buruh tani, sering
diejek karena pekerjaan orang tuanya. Tapi Dina selalu sabar dan tak menggubris
ejekan Alvin. Alvin pun pantang menyerah mengejek teman-temannya.
“Hei, teman-teman. Kenapa? Kalian
takut padaku. Aku memang seperti singa ya. Menjadi raja di rimba,” ujarnya
sombong ketika melihat reaksi teman-teman yang jijik melihat Alvin masuk kelas.
Teman-teman jengkel dengan ulahnya.
Oleh sebab itu, mereka mengabaikan Alvin. Alvin melihat Ronal masuk ke dalam
kelas. Ronal berjalan dengan terpincang-pincang. Terlihat, kaki kanan Ronal
dibalut oleh perban.
“Wah, di kelas kita ternyata ada yang
pincang,” kata Alvin sambil mendekati Ronal. Ronal mendelik. Ia menangis sekeras-kerasnya.
Alvin tesenyum menang. Teman-teman sekelas langsung merubung mereka.
“Kau itu, Vin. Dasar tak berperasaan.
Sampai kapan kau akan begini terus. Apa kau tak bosan. Hah?” ujar Dina.
Teman-teman yang lain berusaha menghibur Ronal.
“Hei, jangan marah. Lihatlah Ronal.
Sudah pincang, cengeng juga ternyata,” katanya sambil tertawa sendiri.
Dina tersenyum melihat Ronal tertawa.
“Dasar. Sombong, tak berperasaan, pemalas.” Dina pun berlalu meninggalkan
mereka. Teman-teman masih menghibur Ronal. Ronal pun akhirnya berhenti menangis.
Hari ini ada ulangan Matematika. Alvin
lupa jika hari ini ada ulangan. Maka semalaman ia tak belajar. Ia begitu gugup.
Dina memperhatikan Alvin yang merasa gugup.
Ibu Guru pun membagikan soal. Alvin
gugup menghadapi ulangan kali ini. Ia benar-benar tak belajar dan tak bisa
mengerjakan soal-soal. Ia bingung harus berbuat apa. Teman-temannya pun tak
mungkin dimintai bantuan. Seisi kelas sudah benci padanya. Hanya Doni yang
dapat membantunya.
“Don, tolongin dong.”
Doni pun tak mau membantu Alvin. “Aku
juga nggak bisa.” Nampaknya Doni
berbohong pada Alvin. Karena Doni dapat mengerjakan soal ulangan dengan lancar.
Alvin hanya dapat berdoa dan berusaha melihat jawaban temannya. Ia juga sering
dipergoki oleh Ibu Guru. Ulah Alvin nampak seperti seorang pencuri. Dina terus
memperhatikan ulah Alvin.
Akhirnya ulangan pun usai. Alvin sedih
melihat kertasnya yang masih kosong. Ia tak dapat mengerjakan soal. Dina
langsung menghampiri Alvin.
“Sepertinya anak yang mengaku raja ini
akan mendapat nilai nol, teman-teman,” katanya dengan keras pada teman-teman
sekelas. Alvin hanya menunduk. “Kalian tahu. Ternyata, Alvin mempunyai spasi
pada gigi depannya.”
Teman-teman sekelas pun tertawa. Alvin
menyadari. Ada dua gigi depannya yang terpisah, sehingga terlihat ada spasinya.
Gigi itu adalah gigi seri depan atas.
“Bohong, darimana kau tahu.”
“Nah, ternyata benar kan? Apa kalian
setuju jika Alvin ini diberi julukan Raja Gigi Spasi?” tanya Dini pada
teman-teman.
“Sebentar. Memangnya dia Raja?” tanya
Ronal. Kali ini ia merasa menang.
“Kalau begitu kita panggil saja Gigi
Spasi. Bagaimana?”
“Tunggu.” Alvin maju ke depan kelas.
“Aku minta maaf pada kalian. Aku tahu aku salah. Maka dari, tolong maafkanlah
aku.” Alvin memelas. Tapi, reaksi teman-teman tak menunjukkan kalau mereka
memaafkan Alvin.
“Aku mohon. Maafkanlah aku.”
“Baiklah, Gigi Spasi,” kata Dina dan
Ronal bersamaan. Seisi kelas tertawa. Alvin pun ikut tertawa. Gigi spasinya pun
kelihatan dengan jelas.
Jember, 28 Desember 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar