Senin, 18 November 2013

Motif

Haris Kamis. Akhirnya sampai juga di penginapan. Aku sedang berada di Malang, kotanya para Aremania. Aku sedang mengikuti kejuaraan karate di sini. Sekitar pukul delapan aku merasa kecapekan. Maklum, perjalanan dari Jember-Malang tentu menguras tenaga. Meskipun cuma ‘ngekelender’ saja.
Tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Ada pesan masuk. Dari ayahku. Ia memang sedang ada tugas dari kantornya. Aku tak tahu pasti tugasnya dimana. Yang jelas di wilayah Jawa Timur.

AYAH MAU BERANGKAT. 20 MENIT LAGI SAMPAI DI SANA.

Begitulah pesan singkatnya. Teman-temanku semua istirahat. Mengumpulkan tenaga untuk bertanding esok. Tak lama kemudian ayahku datang. Ia tak sendirian, bersama seorang teman dan kakakku (kakak sepupu). Aku langsung menyalaminya. Tak lupa bersalaman dengan temannya. Lalu bersalaman juga dengan kakakku itu. Aku terkejut ketika melihat kakaku. Ada yang berubah darinya entah apa. Hal ini menurutku wajar. Aku terakhir bertemu dengannya ketika aku kelas 3 SD dan ia kelas 9 SMP. Sedangkan sekarang, aku kelas 10 SMA dan ia sudah kuliah semester 8.


Lalu aku dan ayahku ngobrol-ngobrol. Naluri seorang ayah tentunya menanyakan bagaimana keadaan anaknya (ayahku bekerja di Jakarta dan setiap 3 bulan sekali pulang ke Jember). Tapi, obrolan itu tak sengaja menjurus pada obrolan tentang buku.

“Dot, buku-bukumu banyak yang belum dibaca ya? Pancen males banget awakmu,” kata ayahku. Setiap kali ayahku pulang, aku selalu diberi buku. Entah novel, komik, kitab ataupun apa. ‘Dot’ adalah nama panggilanku sewaktu kecil. Padahal semua orang sudah memanggilku dengan sebutan Adit. Karena yan itulah namaku. Namaku Adit bukan Didot. Namun, sangat aneh jika ayahku memanggilku dengan sebutan Adit. Mungkin karena tidak terbiasa.

“Repot, Yah. Sibuk. Banyak Tugas.”

“Buku apa, Dit?” tanya teman ayahku.

“Senopati Pamungkas. Winnetou,” jawab ayahku.

“Wah, aku udah baca itu, mas. Bagus itu. Dulu kalo nggak salah ada 16 atau 17 seri.”

“Lha, si Adit iki males moco kok. Nggak seperti adiknya. Kalo adiknya seneng banget moco,” kata Ayahku. “Harry Potter yang bahasa Inggris itu udah dibaca?”

“Belum.”

“Winnetou?”

“Sudah.”

Inilah yang aku sesalkan. Aku selalu dibanding-bandingkan dengan adikku. Selalu adikku yang diunggul. Pelajar kelas 10 SMA dibandingkan dengan pelajar kelas 4 SD. Sungguh aku tak habis pikir. Kenapa ayah selalu menganggap adikku menyukai membaca? Padahal aku jauh lebih suka membaca dari adikku. Apa karena adikku terkena miopi hingga ayahku menganggap adikku terkena miopi karena terlalu sering membaca. Kalau dilihat, adikku lebih sering melihat TV daripada membaca.

“Ada pepatah mengatakan, Kalau kita ingin menulis 100 halaman, kita harus membaca 10000 halaman dulu.” Itulah kata mutiara terakhir yang diucapkan oleh ayahku sebelum ia balik ke Jakarta.

Ketika ayahku membandingkan aku dengan adikku, aku selalu diam. Karena menurutku jika aku berbicara itu malah membuat ayahku semakin membandingkan aku.

Jember, 4 April 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar