Di tempat lain, seorang ibu setengah baya bersama anak perempuannya duduk di lantai terminal. Tangannya menengadah meminta bantuan. Ia dan anaknya belum mendapat suapan nasi sedari pagi. Sedari tadi ia hanya minum air putih. Ketika ada orang menjatuhkan koin, buru-buru ia mengambilnya. Anaknya memegang perut merasa kelaparan. Ibunya pun tak kalah lapar. Karena bingung melihat anaknya yang hanya diam, tapi sebenarnya ia tahu kalau anaknya merasa lapar. Mungkin anak itu takut dimarahi jika menanyakan tentang makanan. Si anak hanya memandangi wajah ibunya yang gelisah. Sudah seharian mereka puasa. Si anak lalu memeluk ibunya laksana ketakutan diterjang tsunami kemiskinan.
Seorang anak laki-laki berusia tahun gelisah tak bisa tidur. Di dalam toko kelontong di pasar itu, ia bersama ibunya. Ibunya melayani pembeli. Tapi, ia tak bisa tidur. Meskipun sudah larut malam, kantuk tak juga datang karena suara kuli-kuli yang bekerja itu menggangunya. Si ibu merasa kasihan. Lalu mengambilkan air minum untuk anaknya. Ia tak bisa pulang bukan karena ingin memandangi kuli-kuli yang mondar-mandir membawa sayur-sayuran, tapi ia tak tahu tempat mana yang patut disebut sebagai rumah baginya. Karena toko kelontong adalah rumah baginya. Si ibu memeluk anaknya sambil sesekali menguap.
Mereka semua tak tahu kenapa ibunya begitu rela senantiasa mau bersama mereka. Dalam tidur pun ibu selalu peduli. Ketika sembilan bulan berada di alam kandungan, ibu membawa kemana-mana, selama sembilan bulan. Ya, sembilan bulan. Begitu lahir, tentu mereka takut pada ibunya. Yang telah membesarkannya. Senantiasa menemaninya. Yang mereka tahu, Sang Ibu sangat CINTA pada mereka. KARENA CINTA sang ibu rela membanting tulang demi sang anak.
I LUV YOU, MOM!
Jember, 1 April 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar