Di
luar sana udara sedang tak menentu. Rinai hujan turun perlahan. Saya sendiri
baru sampai di tempat kos saya. Saya tidak langsung mandi melainkan membuka timeline twitter dulu dari smartphone saya. Siapa tahu ada sesuatu
yang bisa menjadi bahan tulisan.
Timeline atau
TL memberi banyak info bagi saya. Beberapa orang seperti Sujiwo Tejo dengan
akun @sudjiwotedjo berkicau dengan isi ia berharap Manchester United bisa
menang melawan Tottenham Hotspur yang akan bertanding nanti malam dalam
lanjutan EPL. Maklum dia pendukung fanatik Manchester United. Akun majalah
sepakbola berkicau bahwa Persebaya menang atas Arema. Sedang akun teman-teman
saya berkicau mengenai sesuatu yang sedang menjamur dalam dunia remaja: galau.
Bukan
semua isi akun itu yang hendak saya tumpahkan di sini. Melainkan akun dari
Gunawan Muhammad, seorang sastrawan, dengan nama akun @gm_gm berisi:
“Menghormati bendera Merah Putih itu haram, kata Ketua MUI. Bagi saya,
‘menghormat’ beda dgn ‘mempertuhankan’.” Hal ini membuat saya tertarik untuk
menulis tulisan ini.
Saya
sudah lama memikirkan hal ini. Tepatnya dua tahun silam, tatkala saya masih
berstatus CAPAS atau Calon Paskibra. Di sana saya dilatih baris-berbaris
seperti yang Anda semua tahu. Tapi ada satu hal membikin hati saya sedikit
gundah. Tak lain dan tak bukan mengenai menghormat pada bendera ini. Ketika
upacara, ada perbedaan penghormatan antara kepada pembina dan bendera. Bedanya
adalah ketika hormat kepada bendera merah putih sang pemimpin upacara yang memberi
aba-aba memanjang huruf a dalam kata hormat, sedang ketika hormat kepada
Pembina upacara tidak ada huruf yang dipanjangkan. Biasa saja. Ada satu lagi,
ketika hormat kepada bendera merah putih, beberapa peserta upacara membetul
hadap mereka dan menyesuaikan diri sebisa mungkin ketika hormat menghadap
bendera, dengan hadap serong kanan atau kiri misalnya. Namun, ketika hormat
pada pembina, semua tetap pada posisinya.
Saya
merasa kok kita jauh lebih menghormati bendera dari pada pembina. Pembina itu
manusia. Bendera itu benda. Bendera cuma benda. Kalau rusak bisa bikin lagi,
lha kalo manusia? Siapa yang mau bikin lagi.
Saya
menulis ini bukan berarti saya tidak nasionalis, tapi hal ini cukup janggal
saja. Saya juga bukan sedang tidak mengindahkan nilai penting dari bendera yang
disebut sang saka tersebut, akan tetapi, kenapa juga kita seolah begitu
meninggikan bendera. Yang dihormati di sini bukan merah putih itu sendiri,
tetapi kemerdekaan dan integrasi nasional. Itu yang terpenting.
Satu
lagi yang membuat saya begitu terkejut adalah sesuatu yang mungkin tidak
mungkin saya umbar di sini. Yang jelas sesuatu ini terasa begitu mempertuhankan
merah putih. Tak perlu diketahui oleh orang banyaklah.
Membaca
isi kicauan Gunawan Muhammad, membuat saya terkejut juga. Baca saja, dia
menggunakan huruf kapital untuk menulis merah putih. Tapi saya juga bukan
menyalahkan dia lho ya.
Gini
lho, bagi saya hormat ya hormat saja. Ditunjukkan dengan sikap yang seperti itu
juga ndak apa-apa. Bendera itu cuma
sebagai symbol saja. Nanging, kenapa hormat
kepada manusia malah tidak diperlakukan seperti itu?
Jember, 4
Maret 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar