Rabu, 20 November 2013

Hormat pada Merah Putih


Di luar sana udara sedang tak menentu. Rinai hujan turun perlahan. Saya sendiri baru sampai di tempat kos saya. Saya tidak langsung mandi melainkan membuka timeline twitter dulu dari smartphone saya. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa menjadi bahan tulisan.

Timeline atau TL memberi banyak info bagi saya. Beberapa orang seperti Sujiwo Tejo dengan akun @sudjiwotedjo berkicau dengan isi ia berharap Manchester United bisa menang melawan Tottenham Hotspur yang akan bertanding nanti malam dalam lanjutan EPL. Maklum dia pendukung fanatik Manchester United. Akun majalah sepakbola berkicau bahwa Persebaya menang atas Arema. Sedang akun teman-teman saya berkicau mengenai sesuatu yang sedang menjamur dalam dunia remaja: galau.

Bukan semua isi akun itu yang hendak saya tumpahkan di sini. Melainkan akun dari Gunawan Muhammad, seorang sastrawan, dengan nama akun @gm_gm berisi: “Menghormati bendera Merah Putih itu haram, kata Ketua MUI. Bagi saya, ‘menghormat’ beda dgn ‘mempertuhankan’.” Hal ini membuat saya tertarik untuk menulis tulisan ini.

Saya sudah lama memikirkan hal ini. Tepatnya dua tahun silam, tatkala saya masih berstatus CAPAS atau Calon Paskibra. Di sana saya dilatih baris-berbaris seperti yang Anda semua tahu. Tapi ada satu hal membikin hati saya sedikit gundah. Tak lain dan tak bukan mengenai menghormat pada bendera ini. Ketika upacara, ada perbedaan penghormatan antara kepada pembina dan bendera. Bedanya adalah ketika hormat kepada bendera merah putih sang pemimpin upacara yang memberi aba-aba memanjang huruf a dalam kata hormat, sedang ketika hormat kepada Pembina upacara tidak ada huruf yang dipanjangkan. Biasa saja. Ada satu lagi, ketika hormat kepada bendera merah putih, beberapa peserta upacara membetul hadap mereka dan menyesuaikan diri sebisa mungkin ketika hormat menghadap bendera, dengan hadap serong kanan atau kiri misalnya. Namun, ketika hormat pada pembina, semua tetap pada posisinya.

Saya merasa kok kita jauh lebih menghormati bendera dari pada pembina. Pembina itu manusia. Bendera itu benda. Bendera cuma benda. Kalau rusak bisa bikin lagi, lha kalo manusia? Siapa yang mau bikin lagi.

Saya menulis ini bukan berarti saya tidak nasionalis, tapi hal ini cukup janggal saja. Saya juga bukan sedang tidak mengindahkan nilai penting dari bendera yang disebut sang saka tersebut, akan tetapi, kenapa juga kita seolah begitu meninggikan bendera. Yang dihormati di sini bukan merah putih itu sendiri, tetapi kemerdekaan dan integrasi nasional. Itu yang terpenting.

Satu lagi yang membuat saya begitu terkejut adalah sesuatu yang mungkin tidak mungkin saya umbar di sini. Yang jelas sesuatu ini terasa begitu mempertuhankan merah putih. Tak perlu diketahui oleh orang banyaklah.

Membaca isi kicauan Gunawan Muhammad, membuat saya terkejut juga. Baca saja, dia menggunakan huruf kapital untuk menulis merah putih. Tapi saya juga bukan menyalahkan dia lho ya.

Gini lho, bagi saya hormat ya hormat saja. Ditunjukkan dengan sikap yang seperti itu juga ndak apa-apa. Bendera itu cuma sebagai symbol saja. Nanging, kenapa hormat kepada manusia malah tidak diperlakukan seperti itu?

Jember, 4 Maret 2012

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar