Akhir-akhir
ini saya merasa menjadi anak yang begitu malas. Ya malas dalam hal apa saja.
Begitu malasnya saya. Itu yang saya rasa.
Kita
rasai saja bahwa perkembangan teknologi membawa kita pada arah hedonisme.
Manusia sekarang serasa diperbudak oleh teknologi. Kemudahan akses informasi
membuat kita semakin dimanjakan. Ingin mencari sesuatu kita tinggal tanya saja
pada Mbah Google. Pokoknya semua jadi
mudah tanpa repot-repot lagi.
Ingin
menulis pun juga demikian. Sudah banyak sekali media online yang menyediakan tempat untuk menulis. Jadi para penulis
muda juga semakin dimanjakan teknologi. Sekali lagi teknologi membawa pada
kemudahan yang berdampak pada kemanjaan.
Lantas
apakah dengan begitu kemudahan yang melimpah itu kita dapat memanfaatkan dengan
sebaiknya. Saya merasa saya malah merasa semakin malas. Malas mencari
informasi. Dan sebagainya. Karena kemudahan itu kita jadi mudah meremehkan
suatu hal.
Saya
jadi berfikir, bagaimana ya seorang penulis Pramoedya Ananta Toer dapat menulis
mahakarya yang luar biasa. Apa yang dia lakukan saat itu ya, mengingat ia hidup
di jaman yang jelas berbeda dengan jaman sekarang. Bahkan beberapa karya
terbaiknya ia bikin di penjara lho.
Bagaimana ia dapat menjelaskan secara detil dalam karya-karyanya ketika
mendeskripsikan suatu hal, entah itu suasana ataupun benda. Bagaimana ia dapat
mengumpulkan kliping-kliping tulisan sejarah sehingga dapat menghasilkan novel
Arok-Dedes, novel yang bercerita tentang kudeta pertama di Nusantara. Bagaimana
ia dapat menghasilkan novel Bumi Manusia yang menceritakan kehidupan jurnalis
pertama di Indonesia—Hindia-Belanda tepatnya, RM Tirtoadhisuryo.
Bagaimana
ya ia bisa begitu gigih mengatakan bahwa, “Penjara tidak akan membuat saya
berhenti menulis.”
Ya
ampun, dia berkali-kali menjadi kandidat penerima nobel sastra lho. Berarti ia menjadi orang yang
berguna buat banyak orang kan. Ia begitu berani berbicara meski penjara
risikonya.
Saya
juga jadi berfikir, bagaimana ya RM Tirtoadhisuryo itu bisa menjadi jurnalis
pertama di tanah air. Apa yang dia lakukan? Bagaimana ia bisa mendirikan Medan Prijaji. Usaha apa yang ia
lakukan?
Dengan
memikirkan hal ini, saya jadi semakin merasa menjadi orang malas. Masak hidup
saya yang sudah jauh lebih enak dari mereka, saya tidak berbuat apa-apa. Masak
hidup saya yang sudah jauh lebih merdeka dari mereka, saya cuma diam saja.
Bagaimana
mungkin saya hanya diam saja sedangkan leluhur saya, leluhur kita adalah
orang-orang yang hebat? Saya merasa saya hanya melakukan hal yang berguna buat
diri saya sendiri. Saya belum berbuat banyak dan berguna bagi kemaslahatan
umat.
Tapi
saya merasa sedang dalam tahap menuju ke sana kok. Saya juga melihat teman-teman saya melakukannya. Jadi saya
tidak sendirian.
Mana
mungkin kita hanya bermalas-malas sedang Pram dan Tirto dapat merekam apa yang
terjadi saat itu. Jadi saya—kita tepatnya—harus melakukan sesuatu agar dapat
menjadi pelajaran sejarah bagi generasi mendatang.
Apa
saya mau sejarah nantinya berkata bahwa negeri yang kaya ini hanya berisi
koruptor? Prestasi kita dalam bidang maling. Tentu putra-putri bangsa ini akan
malu.
Setelah
saya perhatikan dengan seksama, Pram dan RM Tirtoasdhisuryo merupakan orang
yang dilahirkan dan dibesarkan di jaman Hindia-Belanda, jaman di mana Indonesia
belum merdeka. Saat itu kita masih ‘dijajah’. Dengan dijajahnya Indonesia,
bangsa Indonesia jadi malah banyak melakukan perubahan. Berjuang gigih untuk
mendapat kemerdekaan. Lantas, apa kita berharap ‘dijajah’ kembali saja agar
kita tidak malas?
Jember,
7 Maret 2012
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar