Aku hanya seorang pemulung kelas teri. Mula-mula aku ingin menjadi tukang sapu taman kota. Tapi ternyata sudah banyak yang bekerja di sana. Sebagai permulaan, tak ada salahnya bila aku memulai karir dengan menjadi pemulung. Aku hanya ingin menjaga kebersihan untuk kemaslahatan umat manusia. Lagipula, mungkin aku dapat memanfaatkan sampah yang ada untuk sesuatu yang berguna.
Pekerjaan sebagai tukang sapu taman kota sangat mulia. Membersihkan taman dari segala kotoran bukanlah hal yang remeh temeh. Tapi telah dilupakan. Bahwasanya, dalam ajaran agamaku mengatakan: kebersihan adalah sebagian dari iman. Tapi, mengapa kebersihan masih dianggap remeh oleh kebanyakan orang. Mungkin dapat kita lihat bukan dari segi agama, bahwa jika kita punya taman yang bersih dan indah sangat nyaman bukan? Karena itu aku ingin jadi tukang sapu taman kota.
Walaupun aku masih belum bisa meraih cita-citaku, aku harus tetap bersyukur pada tuhan. Tuhan telah memberikan segalanya padaku. Aku telah diberi pakaian yang layak dan aku masih bisa makan.
Dulu, aku sangat ingin menjadi presiden, tapi ketidakadilan telah memporakporandakan semunya. Ayahku, seorang penulis, telah hilang sejak tahun 1998. Entah kemana ia sekarang. Aku masih bersyukur. Masih diberi hidup. Ibuku, telah meninggal dibunuh oleh seorang yang tak kutahu siapa. Waktu itu aku masih umur 9 tahun. Lantas aku menggelandang bersama ratusan anak jalanan lain yang mungkin punya cita-cita lebih tinggi dariku.
Aku memulung barang bekas dengan senang hati. Harapanku, aku bisa makan setiap hari. Walaupun aku lebih sering puasa. Syukur, sampai usia 16 tahun, aku masih bisa makan nasi. Tidak seperti beberapa teman-temanku yang hanya makan makanan sisa dari tong sampah.
Tapi, aku mengalami ketidakadilan seperti ayah ibuku. Saat itu pukul 3 sore. Aku memulung seperti biasanya. Aku mengaisi tong sampah di dekat sebuah sekolah elit. Aku menemukan sebuah bungkusan yang lumayan besar. Aku buka bungkusan itu. Ternyata isinya uang. Ratusan ribu. Banyak sekali. Aku tak tahu harus berbuat apa. Lantas kudekap bungkusan itu dan bayangan akan makanan, baju, buku (memangnya mau apa seorang pemulung beli buku), dan barang-barang lainnya. Aku berlari menembus dingin. Tapi, tiba-tiba ada segerombolan preman datang memalakku. Mereka minta uang. Aku bilang tak punya. Ternyata mereka malah mengacam ingin membunuhku. Kulempar bungkusan itu ke atas dan jatuh mengenai seorang preman yang sedang memegang golok. Aku dikejarnya dan langsung dibantai habis-habisan. Nafasku berhenti. Itu kisah tragisku.
Sampai mayatku membusuk sekarang ini, selalu bertanya-tanya. Apa salahku? Kenapa mereka memalakku? Aku hanya ingin mendapatkan apa yang selama ini belum pernah aku dapat. Aku hanya ingin sekolah, kalau bisa. Aku hanya ingin menjadi tukang sapu taman. Menjadi pemulung saja dibunuh. Sampai detik ini, aku berharap bisa sekolah atau paling tidak aku diangkat menjadi tukang sapu taman. Tapi itu tidak mungkin.
Jember, 10 Mei 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar