Begitu sampai di rumahmu, kau
menyambutku. Senyummu itu, gadisku. Hangat sekali. Kuharap senyum termanis di
dunia itu hanya kau tujukan padaku.
Ketika aku akan masuk rumahmu, kau
mengambil tangan kananku dan kau ciumnya. Ah, aku jadi seperti suamimu saja,
gadisku. Dan kulihat kau betapa bahagianya dengan kehadiranku.
Lantas, kita ngobrol.
Berbincang-bincang. Tentang sekolah, tentang hobi kita, dan tentang hubungan
kita. Lalu, aku berujar padamu bahwa aku ingin sekolah di Belanda. Suatu saat.
Dan ternyata kau pun ingin ke Belanda juga. Wah, kita bisa pergi bersama,
gadisku. Sudikah kau?
“Aku bersedia, ksatriaku,” katamu.
Tak terasa, hari sudah larut. Suara
adzan dari surau-surau itu menyeru pada kita untuk beribadah. Dan aku ingin
berpamitan. Tapi, ketika hendak berpamitan, mamamu melarangku. Beliau minta
agar aku sholat di sini dan menjadi imam. Beliau bilang, ayahmu sedang di luar
kota. Dengan senang hati kuterima permintaanmu.
Aku sholat dengan khusyu, gadisku.
Tak terbayangkan olehku sebelumnya, kau menjadi makmumku. Benar-benar suatu
nikmat yang tak terkira.
Selesai sholat dan doa, kau
mengambilkanku kitab suci. Kau meminta agar kita membaca kitab suci bersama.
Lantas kita membaca bersama. Aku sangat menikmati membaca kitab suci Al-Qur’an
ini. Setelah selesai, kau minta agar aku menyimak bacaanmu. Benar-benar merdu,
gadisku. Bagaikan nyanyian di Swargaloka. Jangan-jangan kau salah satu bidadari
yang berasal dari sana. Sungguh beruntung aku ada di dekat bidadari Swargaloka.
Bacaan pun selesai, kau ambil
tangan kananku dan kau cium tangan kananku dengan takzim. Ya ampun, aku begitu
terkesan. Begitu sungguhkah cintamu padaku, gadisku? Aku yakin kau lakukan ini
dari lubuk hatimu yang terdalam. Pun begitu juga aku.
Ayahmu datang, dan beliau
memanggilku untuk berbicara.
“Bagaimana jika kau menikah dengan
putriku?” katanya. Aku terkejut. Ini langsung menembak hatiku. Masuk ke dalam
relung-relung hatiku yang terdalam lalu benar-benar menetap dan tinggal di
dalamnya selamanya.
Ayahmu menatap wajahku yang masih
kebingungan. Bukan aku ragu akan cinta. Bukan aku ragu padamu. Bukannya aku
ragu.
Ayahmu masuk ke dalam sembari
menunggu jawaban dariku. Dan kau yang sekarang bersamaku. Kau menatapku heran.
“Ada apa, ksatriaku?” tanyamu. “Kau
belum siap menikah denganku?”
“Jelas aku belum siap, gadisku.”
“Kau tak cinta padaku?”
“Bukan. Bukannya aku tak cinta,
gadisku,” jawabku.
“Kau ragu?”
“Bukan. Bukannya aku ragu,
gadisku.”
Kau terlihat kecewa. “Lantas
kenapa?!” Pertanyaanmu lebih mirip seperti bentakan.
“Bagaimana tidak, gadisku. Usia
kita masih 16 tahun. Bahkan kita masih belum memiliki KTP. Dan kau lupa, kita
kan masih sekolah. Kita masih seorang pelajar, gadisku.”
Dan kau pun tersenyum, gadisku.
Senyum manis yang tiada duanya di dunia bahkan di Swargaloka sekalipun.
Ambulu, 4 Juli 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar