Aku sendirian di sini. Tanpa seorang kawan. Tanpa seorang lawan. Apalah arti hidup bila tanpa kawan. Apalah arti hidup bila tanpa lawan.
Di dalam ruangan yang pengap ini, aku berusaha menikmati bunga tidurku dengan lelap. Tapi tak ada cahaya di sini, gelap. Yang kubisa hanya berharap. Keluarkanku dari sini. Ajak aku pergi berlari. Ke mana saja menurut langkah kaki. Aku ingin pergi.
Namun, di luar sana begitu mencekam. Jerit tangis suara seram. Tak bisa aku mendengarnya. Mungkin di sini tempatku. Mungkin ini takdirku. Mungkin di sini tempat yang baik bagiku. Mungkin di sini tempat yang laik bagiku.
Ya, aku ingin di sini saja. Walau aku hidup merana tanpa daya. Tanpa ada pertolongan dari kawan. Tanpa ada ancaman dari lawan. Tapi bukankah Tuhan sudah menyatatnya di zaman Azali? Mencatat waktku hidup dan mati? Ya aku ingin di sini. Ini tempatku. Ini surgaku.
Biar aku berdiri sendiri, tapi aku mulai menikmati. Walau separo hatiku enggan, tapi aku kan tetap dapat berangan. Walaupun aku sedikit sengsara, kan aku masih bisa membaca. Walapun aku berhadapan dengan manusia bengis, kan aku masih bisa menulis.
Aku beranjak dari tidurku. Kutata dudukku. Aku duduk di sudut ruangan. Kupusatkan segala pikiran. Mengusir jauh macam godaan. Dengan adanya selembar kertas dan sebuah pena ini, aku hendak menulis. Pasti aku bisa. Aku tak akan putus asa.
Di ujung sudut lain, aku melihat sepotong keju yang menggiurkan. Seharian ini aku belum makan. Aku ingin menyantapnya sendirian. Tapi aku harus fokus pada pikiranku. Aku harus kembali memusatkan pikiranku. Dan kulihat keju itu melambaikan tangan padaku. Ia terus menggodaku. Ya Tuhan, ampuni aku. Ini bagai cobaan Nabi Yusuf melihat kemolekan Zulaikha. Keju itu terus menggodaku. Ia tersenyum padaku. Tapi, bukankah Tuhan tidak melarangku untuk memakannya? Jadi aku boleh menyantapnya. Kudekati ia perlahan. Ia masih melambaikan tangan. Ah, jangan. Aku harus kembali fokus menulis. Ini bagai cobaan Adam dan Hawa yang digoda buah khuldi. Aku harus konsentrasi. Maaf, keju, aku tak ingin menyantapmu.
Aku kembali menatap kertasku. Ia tersenyum padaku. Ia masih bersih tak tercoret. Ia malah menjulurkan lidah, melet. Ia seperti meledekku. Ya, aku memang hampir tergoda, tapi kan sudah berhasil kutepis. Maka sekarang saatnya menulis.
Di ujung sudut lain, aku melihat sebotol Vodka. Sudah lama aku tak meminumnya. Mungkin seteguk saja bisa membuatku lebih baik ya. Maka apa salahnya bila kumenegaknya. Ah, tidak! Ya, ampun. Aku hampir tergoda lagi. Aku merasa ini tak dapat diampuni. Aku kan harus konsentrasi. Mana bisa aku konsentrasi bila aku menegaknya barang seteguk saja. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Aku mencoba melupakan keju dan vodka.
Aku kembali menatap kertasku. Ia masih bersih kosong. Tanpa ada coretan dan catatan. Aku belum berhasil menulis setitikpun di atasnya. Aku berusaha memusatkan pikiran kembali.
Ya ampun, di ujung sudut lain ada semangkuk bakso. Aku perlu ngaso. Ya, apa salahnya aku makan bakso. Ah, tidak! Bagaimana bila aku menulis dulu baru memakannya? Ya, memang sebaiknya aku di sini. Menuliskan sesuatu tentang hal ini, di sini, sendiri.
Jember, 7 November 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar