Selasa, 19 November 2013

Dewi Malam yang Dingin

Hujan baru saja reda. Udara malam jadi dingin. Di taman kota terlihat beberapa pasang kekasih sedang bermesraan. Sepasang kekasih terlihat berlari menuju sebuah bangku tangan sambil berpegangan tangan erat. Seolah mereka tak dapat dipisahkan atau tak mau dipisahkan. Sesampainya di bangku taman, mereka berhenti sejenak sebelum menduduki bangku tersebut.

Aditya dan Wulan. Aditya yang bertubuh tinggi tegap, tangan kanannya membersihkan bangku taman yang kotor dan basah. Sementara tangan kirinya masih berpegangan erat dengan tangan kanan Wulan. Wulan tersenyum melihat Aditya.

“Silahkan duduk, gadisku,” ujar Aditya.

“Terima kasih, satriaku,” balas Wulan sambil tersenyum manis.


Selang beberapa menit, mereka tidak saling bicara. Angin berhembus agak perlahan tapi pasti. Demikian juga dengan cinta yang merasuki tubuh mereka. Apa mungkin udara dingin telah mengunci mulut mereka? Atau sukma Dewi Cinta telah membutakan pancaindra mereka sehingga mereka jadi tak berdaya? Entahlah. Aditya hendak bicara pada Wulan. Tapi ia terlihat kikuk. Wulan membalas kekikukan Aditya dengan sebuah senyuman.

“Senyummu indah, gadisku.”

“Terima kasih.”

Dan mereka saling diam kembali. Udara semakin dingin. Tapi taman kota semakin ramai.

Aditya terlihat kebingungan. Bingung untuk mencari topik pembicaraan yang pas untuk malam yang akan menjadi saksi bisu kisah cintanya. Hembusan angin perlahan semakin keras. Daun-daunan berjatuhan. Sebentar kemudian normal kembali. Tapi udara dingin tak dapat diusir.

“Kau merasa dingin, gadisku?”

“Tidak,” jawab Wulan.

“Jangan berdusta. Kau terlihat menggigil begitu.”

Aditya melepas jaket hitamnya dan memakaikannya ke pada Wulan. Jarak diantara keduanya semakin dekat. Mereka saling pandang. Mata mereka bertemu sebentar kemudian, bibir mereka bertautan. Jantung Aditya berdebar sangat cepat. Wulan merasa menikmati adegan ini dengan memejamkan mata. Setelah beberapa detik mereka baru sadar bahwa mereka ada di tempat umum, Aditya kembali ke posisi semula. Memberi sedikit jarak di antara mereka.

Wulan mendekat. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Aditya. Aditya membelai rambut hitam nan panjangnya.

“Ayahku bilang, fungsi bahu laki-laki itu sebagai tempat sandaran kepala perempuan. Ternyata benar,” kata Aditya.

Wulan tertawa terbahak-bahak.

“Kenapa tertawa? Ada yang salah.”

“Ternyata kamu romantis,” ucap Wulan. Aditya tertawa nyengir.

Angin berhembus sedikit lebih kencang dan rinai hujan pun membasahi mereka. Mereka pun berlari untuk mencari tempat yang teduh. Aditya menggandeng tangan Wulan. Mereka berlari ke sebuah pohon. Tak ada orang di sana. Sesampainya di pohon itu, Wulan memeluk Aditya. Ia menggigil kedinginan. Sebuah jaket tak cukup membuatnya hangat rupanya. Aditya membalas pelukan erat Wulan sambil memejamkan mata dan tersenyum. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang pernah ia rasakan di bibirnya. Wulan kembali menciumnya. Aditya tidak siap. Ia tersedak.

“Maaf.” Sebuah kata terlontar dari mulut Wulan.

Aditya melepas pelukannya. Air mukanya berubah. Wulan khawatir bila Aditya marah. Hujan reda kembali. Wulan menarik tangan Aditya.

“Ke bangku itu lagi yuk,” ajak Wulan.

Aditya menurut. Kali ini Wulan yang membersihkan bangku taman itu. Bahkan ia menggunakan jaket Aditya untuk mengelapnya. Aditya hanya terdiam. Keduanya duduk lagi di bangku. Wajah Aditya masih belum berubah. Tangan mereka masih berpegangan.

“Maaf, satriaku,” kata Wulan.

“Tidak apa-apa,” jawab Aditya sambil tersenyum.

Keduanya saling diam. Tangan mereka juga masih berpegangan. Aditya mencoba untuk berbicara.

“Kau tahu tidak, Aditya itu dalam Bahasa Sansekerta berarti Matahari.” Wulan terdiam mencoba menjadi pendengar setia Aditya. “Aditya juga nama lain dari Adipati Karna, yakni Adityahredaya. Adipati Karna itu satria yang luar biasa. Ia anak Dewi Kunti dan Dewa Surya, Dewa Matahari. Tapi karena Adipati Karna lahir lewat karna atau telinga dan juga Dewi Kunti memiliki anak sebelum menikah, Dewi Kunti membuangnya ke Sungai Aswa.”

“Wow, berarti orang beragama Shinto menyambah ayahmu ya?”

Mereka berdua tertawa.

“Kalau Wulan, dalam Bahasa Jawa berarti Bulan. Itu bulan yang seperti di atas,” kata Aditya menunjuk Sang Dewi Malam.

“Apakah Wulan bisa menjadi istri Aditya?” tanya Wulan menggoda.

“Mungkin saja. Tapi nama istri Adipati Karna adalah Surtikanti,” jawab Aditya sambil nyengir.

“Oh, kalau begitu aku akan mengganti namaku menjadi Surtikanti saja,” balas Wulan sambil tersenyum.

Mereka berdua kembali tertawa.

“Gadisku.”

“Iya.”

“Lihatlah, Dewi Malam itu. Cantik bukan?”

“Iya.”

“Cahayanya membuat orang jadi menyukai indahnya malam.”

“Iya.”

“Sama cantiknya dengan dirimu, gadisku,” puji Aditya. Wulan tersenyum malu.

“Dewi Malam memang cantik, gadisku. Semua orang memuja dan memujinya. Semua orang menjadikan Dewi Malam sebagai saksi bisu kisah cintanya. Semua orang memuji indah cahayanya. Tapi mereka lupa. Indah cahayanya itu berasal dari matahari. Bulan tidak memancarkan cahaya, tapi mataharilah yang memancarkan cahaya. Bulan hanya memantulkan cahaya yang berasal dari matahari. Tapi, matahari tidak pernah cemburu kok. Hebat ya?”

Wulan mengernyutkan dahi. “Maksudmu apa?”

“Lho, sudah jelas kan apa yang kubilang. Bukannya kau memperlajari astronomi?”

“Iya. Apa ini ada kaitannya dengan nama kita?”

Aditya tersenyum. “Aku matahari dan kau bulan. Nanti kalau kita punya anak, kita namai saja Lintang yang artinya bintang.”

Wulan tak bisa menahan ketawa. Aditya nyengir. “Apa kau tidak cemburu? Bintang kan juga memantulkan cahaya matahari. Cahaya bintang berasal dari matahari. Dan semua orang juga memuji keelokannya.”

Aditya tersenyum mendengar perkataan Wulan. “Kan sudah kubilang. Matahari tidak pernah cemburu. Yudhistira saja yang tahu bahwa Drupadi, istrinya, lebih mencintai Arjuna, adiknya, saja tidak cemburu. Ya, walaupun yang dilakukan Drupadi adalah selingkuh batin.”

Kali ini Wulan tidak tertawa. Ia mencoba mencerna maksud semua perkataan Aditya tadi. Ia hanya terdiam.
Aditya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Ia mengeluarkan beberapa amplop surat.

“Aku sudah membaca semua surat cinta yang kau tujukan pada Srengenge. Dia sendiri yang memberikan ini padaku,” kata Aditya sambil menyerahkan surat-surat itu.

Wulan menitihkan airmata. Ia bingung. Galau. “Maafkan aku, Dit.”

“Dan kini kau pun tak memanggilku satria lagi ketika melihat surat ini. Jangan kau dustakan hatimu. Bila kau cintai dia, cintailah ia, dan jangan sakiti dia. Dia sahabatku.”

Wulan kini menangis tersedu.

“Dan kini kau menangis. Untuk apa kau menangis? Aku rela bila kau mencintainya. Tapi buat apa kita memadu kasih bila tanpa ada cinta? Ambillah jaket yang kaukenakan itu. Itu pemberian dari Srengenge.”

“Kenapa tak kau baca dulu surat ini?” tanya Wulan sambil sesenggukan.

“Sudah kubaca semua. Dan semua itu sudah jelas,” balas Aditya.

“Bacalah dulu kapan kubuat surat ini.”

Aditya terkejut, ia mengambil surat-surat itu. Dan semua tanggal di surat-surat itu menunjukkan telah dibuat 1 tahun yang lalu, sepuluh bulan sebelum Aditya dan Wulan resmi jadian.

“Maaf.”

“Dan kini kau hanya bilang ‘maaf’?” tanya Wulan.

Aditya terlihat bingung. Tak lama kemudian pecahlah tawa Wulan.

“Ah, kau hanya akting ternyata.” Aditya tertawa nyengir.

“Kupikir kau akan merelakanku seperti Drupadi yang ditiduri oleh Pandawa Lima.”

“Ya, kupikir tadinya kurelakan saja kau pada Srengenge. Dalam Bahasa Jawa srengenge berarti matahari juga. Paling tidak ia dapat menggantikan peranku.”

Jember, 4 Desember 2011
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar