Selasa, 29 April 2014

Ingin Terlahir Kembali


Dalam waktu dua hari berturut-turut, saya mengalami sebuah peristiwa yang cukup menyodok hati saya. Peristiwa yang menampar keras pipi saya sehingga saya kembali berusaha menegakkan kepala untuk selalu fokus apa yang saya hadapi.

Sudah dua bulan ini, setiap akhir pekan saya pulang ke Jember untuk menengok anak istri saya. Dan kuliah saya di Surabaya memang tak bisa ditinggalkan. Setiap naik kereta ataupun bus, saya selalu berharap berjumpa dengan orang yang bisa saya ajak diskusi. Tapi, orang menembak burung, terkadang mendapat ranting yang patah. Beberapa orang yang berjumpa dengan saya di kereta selalu saya coba ajak bicara. Ada yang menyahut ada yang tidak. Rata-rata yang tidak menyahut lebih asik dengan gadgetnya.

Beberapa orang yang menyahut dan tertarik untuk berbincang-bincang ada dari berbagai macam kalangan. Ada hakim, dosen, mahasiswa, karyawan BUMN, PNS, pengusaha, bahkan sampai pula kuli bangunan. Banyak yang bisa di dapat dari mereka ketika bertukar pikiran, meski tak jarang ada pula yang malah curhat bagaimana beratnya hidup di zaman ini. Ada pula mahasiswa sok, yang bercerita dan menjelaskan segala macam hal seolah ia paling tahu dan paling pinter dan memiliki IP 5.9. Ada yang tersenyum senang bisa berbincang, ada yang cemberut karena sinyal jelek. Macam-macam.

Pagi itu, hari Senin, saya naik kereta api dari Surabaya menuju Jember. Pagi itu saya naik kereta bersama bapak dan ibu mertua yang duduk di depan saya. Mereka hendak ke Pasuruan. Di sebelah saya, duduklah seorang ibu berjilbab yang saya taksir berusia 35 tahun. Selama perjalanan dari Jember ke Pasuruan, saya lebih banyak berbincang dengan bapak mertua saya, dan si ibu tadi tidur. Setelah sampai Pasuruan, bapak dan ibu mertua saya pun turun, dan saya mencoba untuk mencari teman bicara. Dan nampaknya si ibu sebelah saya itu tertarik untuk berbincang.

“Kuliah ya, Dek?” tanyanya.


“Iya,” jawab saya singkat.

“Kuliah di mana?” tanyanya lagi.

“Di Unair, Mbak. Sosiologi.”

“Sama dong.”

Lantas? Kenapa kalau sama? Tapi masak sih dia kakak kelas saya. Saya tidak pernah melihatnya. Lagipula, wajahnya terlalu tua untuk mahasiswa S1.

“Saya S3 Ilmu Sosial. Sama FISIPnya kan.”

Saya pun tertarik untuk berbincang dengannya. Ia pun mulai mengajak saya untuk berdiskusi banyak hal, terutama Sosiologi. Sampai akhirnya ia bilang bahwa ia juga sedang mengajar di IAIN Jember. Tapi saya agak kecele, mata kuliah yang diampunya. Tadinya saya kira dia juga mengajar Sosiologi atau kuliah S1 dan S2 Sosiologi. Ternyata dia mengajar jurnalistik. Langsung saja saya pun mengajak dia untuk berbicara soal jurnalistik.

“Saya dulu pernah jadi wartawan di Denpasar. Tapi ya memang sangat menguras tenaga. Akhirnya jadi dosen sajalah,” paparnya. “Kalau kamu sepertinya tertarik pada jurnalistik ya? Daritadi ngajak ngobrol soal itu.”

“Saya sekarang lagi nyambi juga, mbak, jadi wartawan,” jawab saya.

“Oh iya?” Dia agak terkejut.

“Iya, saya jadi kontributor di Surabaya untuk media online Jember.”

Dan akhirnya pembicaraan pun berlanjut ke jurnalistik dan tetek bengeknya sampai di Surabaya.

Saya pun jadi semakin bersemangat untuk belajar lagi jurnalistik. Perbincangan dengannya, paling tidak menampar satu pipi saya.

Tadi pagi, saya pergi ke kampus. Dan saya lupa, bahwa hari ini tidak ada ujian. Tapi paling tidak saya ingin berjumpa dengan kawan-kawan saya. Entah kawan-kawan di Sosiologi maupun kawan-kawan di FIB.

Awalnya saya ke kampus FISIP, saya menemui beberapa kawan Sosiologi yang asyik bermain kartu dan main PES. Ada juga yang sedang mengerjakan tugas. Saya pun mencoba mengobrol dengan mereka, tapi sepertinya memang harus ada yang saya lakukan secepatnya. Di tengah obrolan itu, perut saya berteriak minta diisi. Saya pun langsung menuju kantin FIB untuk makan sekaligus berharap bertemu dengan kawan-kawan saya.

Tapi mungkin mereka memang belum bangun tidur. Saya tak menemui seorang kawan pun. Akhirnya karena saya sangat lapar, saya pun langsung memesan makanan. Kantin agak sepi. Ada seorang pria berusia sekitar 27 tahun memesan makanan pula. Ia mendekati saya dan duduk di kursi di depan saya.

“Kok ijenan, Mas?” tanyanya. Saya lebih bertanya, siapa Dia? Tiba-tiba mengajak saya berbicara.

“Iya, teman-teman pada nggak ada ujian kayaknya,” jawab saya.

Saya pun mencoba menerka siapa dia. Ia memakai celana kain berwarna hitam. Atasannya adalah kemeja batik, dan memakai sepatu pantofel berwarna hitam. Kalau petugas kebersihan, tidak mungkin pakai batik dan seharusnya memakai seragam. Dalam dugaan saya, ia pasti dosen atau mahasiswa S2. Tapi kalau dilihat dari cara dia menyapa, ia lebih mirip mahasiswa.

Makanan kami pun datang, ia dengan sotonya. Dan saya dengan sego sambel.

Selesai makan, ia menyalakan rokok dan mencoba mengajak saya berbincang. Perbincangan kami sebenernya menggunakan Bahasa Jawa Suroboyoan.

“Jurusan apa?”

“Sosiologi. Anak luar sih sebetulnya. FISIP,” balasku sambil tertawa ringan.

“Aku belum punya banyak kenalan. Dan bingung juga dengan kantin ini.”

Aku pun langsung tahu siapa dia. “S2 Kajian Budaya dan Sastra, Mas?”

“Iya. Kok tahu?” tanyanya.

Aku pun hanya tersenyum. Dan kami pun larut pada perbincangan tentang Sastra. Tentang bagaimana saya SMA dulu. Tentang bagaimana dia SMA dulu. Ada satu kesamaan kami; sama-sama dianggap gila ketika SMA. Dan saya merasa sangat senang bisa berbincang dengannya, karena saya memang merasa sangat nyambung, apalagi untuk bicara Sastra.

Perbincangan berakhir, ketika ia mengangkat telpon, dan saya harus kembali ke FISIP untuk mengerjakan tugas.

Satu pipi saya yang lain telah telah tertampar.

Saya ingin terlahir kembali.

Surabaya, 29 April 2014
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar