Selasa, 03 Desember 2013

Macamnya Macam-Macam


Aku memetik gitar yang ada di pangkuanku ini perlahan-lahan. Aku mainkan lagu ‘Si Gembala Sapi’. Entah mengapa, aku amat menikmati nada-nada dari setiap petikan gitarku ini. Aku amat menghayati setiap dentingan suaranya, pun jua liriknya yang aduhai.

Gembala Sapi perlahan membiusku. Aku berandai, tentu amat sangat senang sekali bila aku bisa menjadi seorang penggembala sapi.

Tiba-tiba ada yang menggebrak pintu kamarku hingga terbuka.

“Nah, lihatlah dirimu, Nak. Setiap hari kerjamu hari bermain gitar yang usianya sudah jauh lebih tua dari kakekmu itu. Selesaikanlah skripsimu itu. Jangan hanya duduk bermuram durja seolah usai putus cinta. Tapi pikirkan muram durjamu itu lantaran kau tak jua memberi Ibumu sepesermu uang,” semprot Ibu.

“Ibu mau apa?” tanyaku.

“Dasar anak kurang ajar. Mengapa kau angkat alis tipismu itu?! Mau melawanku?!” bentak Ibu keras minta ampun.

“Ah, Ibu selalu begitu padaku. Mengapa Ibu selalu saja memarahiku.”

“Bagaimana mungkin Ibumu ini tak marah. Sampai kapan kau menjadi mahasiswa yang tak kunjung lulus begini?!” bentak Ibu lebih keras lagi.

“Sampai waktunya aku berhasrat menulis lah, Bu,” balasku.

“Nah, itu dia. Hendak jadi apa kau bila tak lulus begini?”

“Aku ingin jadi penggembala sapi sajalah. Bolehlah berkhayal barang sebentar menjadi seorang juragan sapi sambil menjadi penggembala sekaligus.”

“Tak elok kau rasanya hidup bersama sapi. Kau seharusnya di sana, di gedung yang aduhai megahya bak tempurung kura-kura kembar itu. Jadilah pegawai di sana. Pakai baju safari. Dan dapatkan pensiun. Kan begitu enak. Jangan macam-macamlah.”

“Juragan sapi lebih menjanjikan, Bu. Bayangkan...”

“Sudah!” potong Ibu. “Setiap hari bila tak bermain gitar, hanya sapi saja yang kau bicarakan.” Ibu berbalik badan dan melangkah menjauhiku. “Dasar anak tak tahu bersyukur. Sudah 25 tahun masih berfikir bagai anak kecil. Gembala sapilah.” Perlahan suara Ibu mengecil seiring semakin jauhnya Ibu. Tapi, Ibu tetap saja mengomel.

Memang apa salahnya menjadi seorang gembala sapi? Halal kan? Daripada aku ada di gedung yang dimaksud Ibu tapi menyakiti rakyat, lebih baik aku menggembala sapi sehingga bisa berjumpa dengan orang banyak.

Tak ada salahnya kan? Iya memang tak ada. Kupikir, dengan menjadi gembala sapi, aku kan bisa menjual susu hasil perahanku. Bila masyarakat sekitarku mau minum susu dari sapiku, kan mereka jadi pintar. Aku senang bila mereka pintar dan tak mudah tertipu oleh rentenir atau makelar bila berdagang.

Ngomong-ngomong soal sapi, jangan kau tanya aku tahu apa soalnya. Aku tak tahu banyak, karena aku kuliah di jurusan Psikologi. Hmm, mungkin sebaiknya aku mempelajari psikologi seekor sapi ya. Kan sapi jelas bisa saja merasa stres atau bahagia atau apapun itu. Sebenarnya ini profesi yang menarik, tapi aku tak ingin lebih jauh berada di dalamnya. Aku hanya ingin orang-orang di sekitarku pintar. Ya, itu saja. Tidak macam-macam.

Soal sapi, aku memang tak tahu banyak. Yang kutahu sapi hanya hewan berkaki empat, bertanduk, makan rumput. Sudah. Tak jangan kau sepelekan aku. Aku masih mafhum barang sedikit saja bila kau tanya mengenai macam-macam sapi. Sederhana saja, yang kutahu sapi itu terbagi menjadi tiga macam. Sapi potong, sapi pekerja, dan sapi perah. Tak perlulah kujelaskan definisi ketiganya. Aku yakin kau sudah mafhum dengan membaca gabung tiap dua kata itu. Bila tidak, aku tidak akan berfikir kau bebal.

Bila kau tanya harga sapi, mana kutahu. Aku kan bukan pedangang. Pergi saja ke pasar hewan barang sebentar, kau tanya harganya, dapatkan nominalnya. Masalah hendak beli atau tidak kan urusanmu. Bukan urusanku.

***

Aku lelah setiap hari Ibu memarahiku. Maka, satu-satunya cara adalah dengan membahagiakannya. Ya, aku akan memenuhi cita-citaku menjadi seorang gembala sapi. Mungkin dengan Ibu melihatku berpenghasilan, Ibu jadi lebih senang melihat anaknya. Setidaknya, marah Ibu tak sedahsyat biasanya.

Pagi ini, tetanggaku, Pak Kasan memintaku untuk menjadi penggembala sapi di ternaknya.

“Nah ini hari pertamamu. Kerjamu memberi makan sapi-sapi ini. Semuanya ada 4 ekor. Jangan lupa kau mandikan pula mereka. Mereka butuh badan wangi,” kata Pak Kasan.

“Baik, Pak,” balasku.

“Pakan sapi sudah siap. Air untuk mandi bisa kau ambil dari kran itu. Nah, itu kan ada selangnya,” kata Pak Kasan sambil menunjuk.

“Baik, Pak,” balasku.

“Bagus. Laksankan perintahku dengan baik. Dan jangan berbuat macam-macam,” ujar Pak Kasan. Kemudian ia meninggalkanku.

Aku terdiam. Mengapa Pak Kasan layaknya Ibuku yang melarangku berbuat macam-macam. Rasanya tak enak mendengarnya. Aku merasa kerjaku tidak akan tenang bila begini. Kan aku jadi terngiang apa yang dikatakan oleh Ibu.

***

“Nah, bagus jua yang kau perbuat. Tidak kau selesaikan skripsimu, tapi kau malah bekerja menjadi penggembala sapi,” semprot Ibu ketika aku pulang.

“Lebih baik aku menggembala, Bu, daripada aku menganggur di rumah. Kan dapur Ibu jadi lebih tebal asapnya,” godaku.

“Ibu tak berharap demikian, Nak. Kan kupinta kau untuk menjadi pegawai. Luluslah dari kuliahmu. Bukan bekerja ketika sedang kuliah.”

“Ah, Ibu. Aku bahagia begini, Bu. Mengapa Ibu selalu melarangku?” aku mulai melawan.

“Tak tahukah dirimu, Pak Kasan itu bisnisnya tidak hanya sapi?” tanya Ibu pelan.

“Memang mengapa? Bagus kan? Justru membantu banyak orang,” belaku.

“Kupinta kau berhenti. Ibu tak ingin terjadi apa-apa padamu.” Kali ini Ibu berbicara pelan.

“Ah, Ibu ini ada-ada saja. Menyuruhku melakukan sesuatu tanpa alasan.”

“Aku sedang malas berdebat denganmu,” balas Ibu.

***

“Nah, ini makanan untukmu,” kata Pak Kasan sembari membawa sebuah rantang.

“Ah, bapak. Saya jadi merepotkan ini.”

“Tidak apa-apa. Itung-itung supaya kau kerasan disini.”

Aku pun membuka rantang. Nasi, lauk-pauk tahu tempe, dan sayur sop melengkapi. Tak lupa air putih dalam sebuah gelas plastik. Namun, ada sebatang rokok dIbungkus plastik kecil yang biasa dipakai untuk membungkus es lilin. Wah, Pak Kasan memang baik.

Kuhabiskan semua makanan. Dan selesai itu aku meminum air, lalu aku mulai merokok. Kurasakan, ada yang berbeda dengan rokok ini. Entah apa. Aku berfikir ini rokok yang cukup enak dari yang biasa kurasakan. Kusedot terus, dan makin lama makin nikmat. Terus-menerus dan terus nikmat yang kutemui.

***

“Nah, kan sudah kubilang padamu, berhentilah bekerja pada, Pak Kasan,” kata Ibu.

Aku membuka mata perlahan. Aku berada di sebuah ranjang. Ibu berada di sebelah kiriku sambil memegang tangan kiriku teramat erat.

“Kemarin kau pulang sambil tertawa bagai orang sakit jiwa. Lantas kau mengomel pada Ibu, dan tiba-tiba kau jatuh, dan baru saja bangun sekarang,” kata Ibu.

“Aku tak bertanya apa yang terjadi padaku,” balasku.

“Ibu khawatir padamu,” balas Ibu dengan wajah memang betul terlihat khawatir.

Aku terdiam.

Tiba-tiba ada yang menggedor pintu depan rumahku dengan keras. Aku dan Ibu saling menoleh. Ibu beranjak dan kutaksir membukakan pintu untuk tamu yang kurang ajar itu.

Ibu pun datang masuk kamarku bersama dua orang polisi.

Seorang berkata padaku, “Saudara kami tangkap. Saudara diduga mengonsumsi narkoba menurut laporan dari Pak Kasan.”

Aku dan Ibu terperangah. “Hah! Bagaimana mungkin?!” tanyaku sedikit membentak.

“Pak Kasan sudah kami tangkap. Dan segala macam narkoba yang ada di rumahnya sudah kami sita. Menurut Pak Kasan, saudara adalah pelangannya,” ujar si polisi lagi.

“Tapi, Pak. Saya kan...”

“Saudara bisa jelaskan di kantor polisi.”

Dengan masih terbaring di ranjang, aku terdiam.

“Narkoba macam apa yang kau konsumsi. Mengapa bisa demikian?” tanya Ibu sambil menangis.

“Aku tak tahu, Bu. Aku merasa tak melakukan apa-apa,” jawabku.

“Kan sudah kubilang. Berhentilah bekerja pada Pak Kasan. Dia tak beres. Selesaikan skripsimu. Masih belum lulus, saja kok sudah macam-macam,” ujar Ibu sesenggukan.

“Memang kalau sudah lulus aku boleh macam-macam, Bu?” tanyaku.

“Kau jangan buat Ibumu sedih lagi. Kan sudah kubilang jangan macam-macam,” kata Ibu lagi.

“Aku heran dengan Ibu. Sebenarnya, macamnya macam-macam Ibu ada berapa?”


Surabaya, 3 Desember 2013

Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar