Aku memetik
gitar yang ada di pangkuanku ini perlahan-lahan. Aku mainkan lagu ‘Si Gembala
Sapi’. Entah mengapa, aku amat menikmati nada-nada dari setiap petikan gitarku
ini. Aku amat menghayati setiap dentingan suaranya, pun jua liriknya yang
aduhai.
Gembala
Sapi perlahan membiusku. Aku berandai, tentu amat sangat senang sekali bila aku
bisa menjadi seorang penggembala sapi.
Tiba-tiba
ada yang menggebrak pintu kamarku hingga terbuka.
“Nah,
lihatlah dirimu, Nak. Setiap hari kerjamu hari bermain gitar yang usianya sudah
jauh lebih tua dari kakekmu itu. Selesaikanlah skripsimu itu. Jangan hanya
duduk bermuram durja seolah usai putus cinta. Tapi pikirkan muram durjamu itu
lantaran kau tak jua memberi Ibumu sepesermu uang,” semprot Ibu.
“Ibu mau
apa?” tanyaku.
“Dasar anak
kurang ajar. Mengapa kau angkat alis tipismu itu?! Mau melawanku?!” bentak Ibu
keras minta ampun.
“Ah, Ibu
selalu begitu padaku. Mengapa Ibu selalu saja memarahiku.”
“Bagaimana
mungkin Ibumu ini tak marah. Sampai kapan kau menjadi mahasiswa yang tak
kunjung lulus begini?!” bentak Ibu lebih keras lagi.
“Sampai
waktunya aku berhasrat menulis lah, Bu,” balasku.
“Nah, itu
dia. Hendak jadi apa kau bila tak lulus begini?”
“Aku ingin
jadi penggembala sapi sajalah. Bolehlah berkhayal barang sebentar menjadi
seorang juragan sapi sambil menjadi penggembala sekaligus.”
“Tak elok
kau rasanya hidup bersama sapi. Kau seharusnya di sana, di gedung yang aduhai
megahya bak tempurung kura-kura kembar itu. Jadilah pegawai di sana. Pakai baju
safari. Dan dapatkan pensiun. Kan begitu enak. Jangan macam-macamlah.”
“Sudah!”
potong Ibu. “Setiap hari bila tak bermain gitar, hanya sapi saja yang kau
bicarakan.” Ibu berbalik badan dan melangkah menjauhiku. “Dasar anak tak tahu
bersyukur. Sudah 25 tahun masih berfikir bagai anak kecil. Gembala sapilah.”
Perlahan suara Ibu mengecil seiring semakin jauhnya Ibu. Tapi, Ibu tetap saja
mengomel.
Memang apa
salahnya menjadi seorang gembala sapi? Halal kan? Daripada aku ada di gedung
yang dimaksud Ibu tapi menyakiti rakyat, lebih baik aku menggembala sapi
sehingga bisa berjumpa dengan orang banyak.
Tak ada
salahnya kan? Iya memang tak ada. Kupikir, dengan menjadi gembala sapi, aku kan
bisa menjual susu hasil perahanku. Bila masyarakat sekitarku mau minum susu
dari sapiku, kan mereka jadi pintar. Aku senang bila mereka pintar dan tak
mudah tertipu oleh rentenir atau makelar bila berdagang.
Ngomong-ngomong
soal sapi, jangan kau tanya aku tahu apa soalnya. Aku tak tahu banyak, karena
aku kuliah di jurusan Psikologi. Hmm, mungkin sebaiknya aku mempelajari
psikologi seekor sapi ya. Kan sapi jelas bisa saja merasa stres atau bahagia
atau apapun itu. Sebenarnya ini profesi yang menarik, tapi aku tak ingin lebih
jauh berada di dalamnya. Aku hanya ingin orang-orang di sekitarku pintar. Ya,
itu saja. Tidak macam-macam.
Soal sapi,
aku memang tak tahu banyak. Yang kutahu sapi hanya hewan berkaki empat,
bertanduk, makan rumput. Sudah. Tak jangan kau sepelekan aku. Aku masih mafhum
barang sedikit saja bila kau tanya mengenai macam-macam sapi. Sederhana saja,
yang kutahu sapi itu terbagi menjadi tiga macam. Sapi potong, sapi pekerja, dan
sapi perah. Tak perlulah kujelaskan definisi ketiganya. Aku yakin kau sudah
mafhum dengan membaca gabung tiap dua kata itu. Bila tidak, aku tidak akan
berfikir kau bebal.
Bila kau
tanya harga sapi, mana kutahu. Aku kan bukan pedangang. Pergi saja ke pasar
hewan barang sebentar, kau tanya harganya, dapatkan nominalnya. Masalah hendak
beli atau tidak kan urusanmu. Bukan urusanku.
***
Aku lelah
setiap hari Ibu memarahiku. Maka, satu-satunya cara adalah dengan
membahagiakannya. Ya, aku akan memenuhi cita-citaku menjadi seorang gembala
sapi. Mungkin dengan Ibu melihatku berpenghasilan, Ibu jadi lebih senang
melihat anaknya. Setidaknya, marah Ibu tak sedahsyat biasanya.
Pagi ini,
tetanggaku, Pak Kasan memintaku untuk menjadi penggembala sapi di ternaknya.
“Nah ini
hari pertamamu. Kerjamu memberi makan sapi-sapi ini. Semuanya ada 4 ekor.
Jangan lupa kau mandikan pula mereka. Mereka butuh badan wangi,” kata Pak
Kasan.
“Baik,
Pak,” balasku.
“Pakan sapi
sudah siap. Air untuk mandi bisa kau ambil dari kran itu. Nah, itu kan ada
selangnya,” kata Pak Kasan sambil menunjuk.
“Baik,
Pak,” balasku.
“Bagus.
Laksankan perintahku dengan baik. Dan jangan berbuat macam-macam,” ujar Pak
Kasan. Kemudian ia meninggalkanku.
Aku
terdiam. Mengapa Pak Kasan layaknya Ibuku yang melarangku berbuat macam-macam.
Rasanya tak enak mendengarnya. Aku merasa kerjaku tidak akan tenang bila
begini. Kan aku jadi terngiang apa yang dikatakan oleh Ibu.
***
“Nah, bagus
jua yang kau perbuat. Tidak kau selesaikan skripsimu, tapi kau malah bekerja
menjadi penggembala sapi,” semprot Ibu ketika aku pulang.
“Lebih baik
aku menggembala, Bu, daripada aku menganggur di rumah. Kan dapur Ibu jadi lebih
tebal asapnya,” godaku.
“Ibu tak
berharap demikian, Nak. Kan kupinta kau untuk menjadi pegawai. Luluslah dari
kuliahmu. Bukan bekerja ketika sedang kuliah.”
“Ah, Ibu.
Aku bahagia begini, Bu. Mengapa Ibu selalu melarangku?” aku mulai melawan.
“Tak
tahukah dirimu, Pak Kasan itu bisnisnya tidak hanya sapi?” tanya Ibu pelan.
“Memang
mengapa? Bagus kan? Justru membantu banyak orang,” belaku.
“Kupinta kau
berhenti. Ibu tak ingin terjadi apa-apa padamu.” Kali ini Ibu berbicara pelan.
“Ah, Ibu
ini ada-ada saja. Menyuruhku melakukan sesuatu tanpa alasan.”
“Aku sedang
malas berdebat denganmu,” balas Ibu.
***
“Nah, ini
makanan untukmu,” kata Pak Kasan sembari membawa sebuah rantang.
“Ah, bapak.
Saya jadi merepotkan ini.”
“Tidak
apa-apa. Itung-itung supaya kau kerasan disini.”
Aku pun
membuka rantang. Nasi, lauk-pauk tahu tempe, dan sayur sop melengkapi. Tak lupa
air putih dalam sebuah gelas plastik. Namun, ada sebatang rokok dIbungkus
plastik kecil yang biasa dipakai untuk membungkus es lilin. Wah, Pak Kasan
memang baik.
Kuhabiskan
semua makanan. Dan selesai itu aku meminum air, lalu aku mulai merokok.
Kurasakan, ada yang berbeda dengan rokok ini. Entah apa. Aku berfikir ini rokok
yang cukup enak dari yang biasa kurasakan. Kusedot terus, dan makin lama makin
nikmat. Terus-menerus dan terus nikmat yang kutemui.
***
“Nah, kan
sudah kubilang padamu, berhentilah bekerja pada, Pak Kasan,” kata Ibu.
Aku membuka
mata perlahan. Aku berada di sebuah ranjang. Ibu berada di sebelah kiriku
sambil memegang tangan kiriku teramat erat.
“Kemarin
kau pulang sambil tertawa bagai orang sakit jiwa. Lantas kau mengomel pada Ibu,
dan tiba-tiba kau jatuh, dan baru saja bangun sekarang,” kata Ibu.
“Aku tak
bertanya apa yang terjadi padaku,” balasku.
“Ibu
khawatir padamu,” balas Ibu dengan wajah memang betul terlihat khawatir.
Aku
terdiam.
Tiba-tiba
ada yang menggedor pintu depan rumahku dengan keras. Aku dan Ibu saling
menoleh. Ibu beranjak dan kutaksir membukakan pintu untuk tamu yang kurang ajar
itu.
Ibu pun
datang masuk kamarku bersama dua orang polisi.
Seorang
berkata padaku, “Saudara kami tangkap. Saudara diduga mengonsumsi narkoba
menurut laporan dari Pak Kasan.”
Aku dan Ibu
terperangah. “Hah! Bagaimana mungkin?!” tanyaku sedikit membentak.
“Pak Kasan
sudah kami tangkap. Dan segala macam narkoba yang ada di rumahnya sudah kami
sita. Menurut Pak Kasan, saudara adalah pelangannya,” ujar si polisi lagi.
“Tapi, Pak.
Saya kan...”
“Saudara
bisa jelaskan di kantor polisi.”
Dengan
masih terbaring di ranjang, aku terdiam.
“Narkoba
macam apa yang kau konsumsi. Mengapa bisa demikian?” tanya Ibu sambil menangis.
“Aku tak
tahu, Bu. Aku merasa tak melakukan apa-apa,” jawabku.
“Kan sudah
kubilang. Berhentilah bekerja pada Pak Kasan. Dia tak beres. Selesaikan
skripsimu. Masih belum lulus, saja kok sudah macam-macam,” ujar Ibu
sesenggukan.
“Memang
kalau sudah lulus aku boleh macam-macam, Bu?” tanyaku.
“Kau jangan
buat Ibumu sedih lagi. Kan sudah kubilang jangan macam-macam,” kata Ibu lagi.
“Aku heran
dengan Ibu. Sebenarnya, macamnya macam-macam Ibu ada berapa?”
Surabaya, 3
Desember 2013
Aditya
Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar