Jumat, 20 Desember 2013

Ia Selalu Bersama Saya


Ia adalah orang yang sangat luar biasa. Saya rasa tak ada yang berlebihan bila saya mengatakan begitu, karena memang begitu adanya. Dan saya rasa, memang setiap orang punya pahlawan dalam setiap hidupnya. Dan ia adalah pahlawan dalam hidup saya.

Sudah 19 tahun saya hidup di planet urutan ketiga terdekat dengan Matahari setelah Merkurius dan Venus ini—bebegitulah kata para ahli. Dan ia memang selalu ada di samping saya. Ketika saya membaca buku, ia ada di samping saya. Ketika saya sedang berdoa, ia ada ada di samping saya. Tak terkecuali ketika sekadar buang hajat, ia terngiang di otak saya.

Mula-mula, ia yang mengajari saya membaca. Sekadar melafalkan A, B, C dan seterusnya, ia mengajarkan kepada saya untuk mencintai buku. Ia membelikan saya banyak buku atau majalah atau apapun agar saya bisa membaca. Ia pula yang mengajari saya agar dapat membaca huruf hijaiyah sehingga saya bisa membaca kitab suci agama saya. Ia juga mengajari saya berhitung. Ia mengajari saya beberapa Bahasa Inggris dengan kosakata benda-benda yang ada di sekitar saya. Semua itu ia ajarkan kepada saya ketika saya masih belum sekolah sampai saya masuk SD.

Kamis, 05 Desember 2013

Bidikan PKL

Minggu lalu saya mengikuti PKL untuk salah satu mata kuliah saya semester ini, Sosiologi Pedesaan. Saya kebagian meneliti di Desa Sebanen untuk tema "Kesejahteraan Petani Tembakau". Karena kemarin sempat ada masalah, maka PKL saya dihentikan. Ini adalah beberapa hasil bidikan saya. Ya, memang kurang menyeluruh untuk mewakili gambaran kehidupan petani.


Selasa, 03 Desember 2013

Macamnya Macam-Macam


Aku memetik gitar yang ada di pangkuanku ini perlahan-lahan. Aku mainkan lagu ‘Si Gembala Sapi’. Entah mengapa, aku amat menikmati nada-nada dari setiap petikan gitarku ini. Aku amat menghayati setiap dentingan suaranya, pun jua liriknya yang aduhai.

Gembala Sapi perlahan membiusku. Aku berandai, tentu amat sangat senang sekali bila aku bisa menjadi seorang penggembala sapi.

Tiba-tiba ada yang menggebrak pintu kamarku hingga terbuka.

“Nah, lihatlah dirimu, Nak. Setiap hari kerjamu hari bermain gitar yang usianya sudah jauh lebih tua dari kakekmu itu. Selesaikanlah skripsimu itu. Jangan hanya duduk bermuram durja seolah usai putus cinta. Tapi pikirkan muram durjamu itu lantaran kau tak jua memberi Ibumu sepesermu uang,” semprot Ibu.

“Ibu mau apa?” tanyaku.

“Dasar anak kurang ajar. Mengapa kau angkat alis tipismu itu?! Mau melawanku?!” bentak Ibu keras minta ampun.

“Ah, Ibu selalu begitu padaku. Mengapa Ibu selalu saja memarahiku.”

“Bagaimana mungkin Ibumu ini tak marah. Sampai kapan kau menjadi mahasiswa yang tak kunjung lulus begini?!” bentak Ibu lebih keras lagi.

“Sampai waktunya aku berhasrat menulis lah, Bu,” balasku.

“Nah, itu dia. Hendak jadi apa kau bila tak lulus begini?”

“Aku ingin jadi penggembala sapi sajalah. Bolehlah berkhayal barang sebentar menjadi seorang juragan sapi sambil menjadi penggembala sekaligus.”

“Tak elok kau rasanya hidup bersama sapi. Kau seharusnya di sana, di gedung yang aduhai megahya bak tempurung kura-kura kembar itu. Jadilah pegawai di sana. Pakai baju safari. Dan dapatkan pensiun. Kan begitu enak. Jangan macam-macamlah.”

“Juragan sapi lebih menjanjikan, Bu. Bayangkan...”