"Untuk anakku,
Tiada yang lebih bangga selain bisa bertemu denganmu, anakku. Sama seperti Adam bertemu Hawa, pada dasarnya Hawa adalah anak Adam. Sama halnya seperti Rahwana dan Dewi Shinta, pada dasarnya Dewi Shinta adalah anak Rahwana. Tapi sang bapak jatuh cinta pada anaknya. Anaknya. Apa aku salah bila aku jatuh cinta pada anakku?
Tapi apa aku akan menjadi Rahwana atau Adam? Itu kehendak Tuhan, anakku. Dan itu tergantung hatimu.
Relakah kau aku seperti Rahwana? Menculikmu, dan kau tak mencintaiku?
Atau relakah kau aku seperti Adam? Melanggar titah Tuhan dan menyeretmu menuju kehidupan yang tak lebih baik dari kehidupan sebelumnya?
Zaman sudah berubah, anakku. Kau sudah dewasa sekarang. Aku pun masih bugar. Janur kuning siap melengkung bila ada restu darimu. Semua tergantung padamu. Aku tak peduli bila ibumu perempuan sundal. Aku tak peduli bila ibumu perempuan jalang. Tapi kau tidak. Kau perempuan baik-baik.
Aku paling-paling cuma bisa menjaga perasaanku. Kubuang jauh-jauh perasaanku pada ibumu.
Aku tak begitu paham pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada anakku sendiri?
Apa?!
Jangan kau bawa-bawa lagi masalah ibumu. Jangan kau sebut-sebut lagi nama sundal itu. Dia jalang. Dia sundal. Dia pantas pergi. Tuhan tak akan memberkati wanita macam ia di swargaloka.
Aku berdiri di sini, di depan pintu. Menulis surat ini sambil menatapmu memakai kopiah dan sarung hitam melangkahkan kaki ke Masjid.
Bapakmu"
Jember, 2 Desember 2011
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar