Hari ini cuaca tak begitu bersahabat.
Karena langit menampakkan wajah muramnya. Mendung mewarnai indahnya langit
hingga terlihat ada yang sedang sakit di antariksa sana.
Begitu pula dengan kelas ini. Tampak seorang
anak laki-laki berbadan kecil datang dengan terburu-buru masuk ke dalam kelas.
Sayangnya, cuaca yang tak bersahabat itu membuat goyah konsentrasinya hingga ia
menabrak pintu kelas. Kontan saja, seluruh seisi kelas mendadak gaduh penuh
dengan tawa. Si kecil tadi berusaha berdiri. Namun ia tak bisa. Suara ledakan
bom tawa kelas semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba ada tangan malaikat menawarkan
bantuan. Si kecil tadi berdiri atas bantuan malaikat itu. Si malaikat melangkah
ke dalam kelas. Seisi kelas diam tanpa kata. Si kecil turut terbengong, lalu
melangkahkan kaki menuju kelas dan duduk sebangku dengan si malaikat.
“Namamu siapa?” tanya si kecil pada
malaikat sambil mengulurkan tangan.
“Aku Saifuloh. Panggil saja Sapul,”
jawab Sapul sembari membalas tangan si kecil dengan jabatan tangan.
***
Jam istirahat pun tiba. Para jamaah
yang akan pergi ke kantin berbondong-bondong menuju ‘Laboratorium Ekonomi’ itu.
Patut disebut jama’ah karena hampir 75% dari warga sekolah berkumpul di sini
pada jam istirahat. Bagi para siswa, mereka melepas penat yang ada. Hingga
mereka kehilangan penat dan siap lagi bertempur dengan Guru dan buku.
Di tempat lain, perpustakaan, terlihat
Sapul dan Samsul sedang berbincang-bincang. Bukan mengenai hal sembarang, tapi
mengenai seni. Sesekali Samsul mengagguk tanda mengerti mendengar penuturan
Sapul.
“Kamu tau? Dalam bukunya, Andrea
Hirata menulis sebuah kalimat yang agung,” kata Sapul.
“Apa itu, kawan?”
“Belajarlah dimana sains, sastra dan
seni diolah untuk mengubah peradaban.”
Samsul tersenyum. “Ngomong-ngomong,
kamu belum cerita asal-usulmu. Dari mana kamu berasal? Kamu kan siswa baru di sini.”
“Ehm, aku dari Solo. Aku pindah ke
sini, lantaran ayahku dipindah bekerja. Ya, aku ikut keluargaku saja.”
“Begitu ya? Bagaimana dengan sekolahmu
di sana? Ramaikah perpustakaannya?”
“Tentu saja. Aku tadi sempat terkejut
melihat kantin yang menjadi pusat pertemuan antar warga sekolah. Tak terkecuali
guru. Di sekolahku yang lama, kami diajarkan untuk mencintai buku.”
“Oh, iya? Solo itu Kota Pendidikan?”
tanya Samsul.
“Bukan, kawan. Kata orang sih, Kota
Pendidikan itu Yogyakarta. Tapi, menurutku semua itu tergantung pada kualitas
otak masing-masing individu.”
***
Bel pulang telah berbunyi. Samsul
pulang dengan angkutan umum. Berbeda dengan Sapul yang dijemput dengan mobil.
Samsul melihat Sapul masuk mobil, dan terpikirkan satu fakta: ternyata Sapul
anak orang kaya.
Samsul membayangkan jika dirinya
menjadi kaya raya. Ia bisa membeli apa saja apa yang diinginkannya. Di dalam
angkot itu, terciptalah sebuah imajinasi yang membuat Samsul terbuai. Samsul
menjadi seorang presiden. Iya sangat ditakuti oleh warganya. Wibawa, bijaksana,
dihormati, tidak sombong dan rajin menabung. Itulah dirinya saat ini.
Ternyata enak juga jadi orang kaya,
kata Samsul dalam hati. Semua serba ada. Rumah yang besar, mobil, apartemen dan
sebagainya. Seperti yang di Televisi itu. Tapi aku tak ingin menadi koruptor.
Bukan.
Samsul berhenti dari lamunannya. Ia
diteriaki oleh sopir angkot. Sudah sampai ternyata.
“Hei! Kamu mau turun tidak?”
“Eh, iya, Pak. Ini,” kata Samsul
sambil memberikan uang seribuan.
Samsul lalu keluar dari angkot. Ia
berjalan. Dalam perjalanan, ia berhenti sejenak di bawah pohon mangga di
pinggir jalan. Ia membuka tasnya, dan mengambil sebuah buku catatan. Ia catat,
hari ini ia bertemu dengan anak orang kaya dan ingin menjadi orang kaya. Banyak
sekali manfaat jadi orang kaya. Bisa ini bisa itu. Terlebih lagi, bisa
menyantuni orang miskin. Jadi bisa beramal sebanyak-banyaknya. Tapi, apa benar
jika aku kaya, aku akan beramal? Tanya Samsul pada dirinya sendiri. Tidak mudah
puas adalah tabiat manusia. Serakah. Jangan-jangan nanti aku serakah? Astaghfirullah hal adzim.
Lelah. Kini Samsul merasa lelah. Ia
lalu beristirahat di bawah pohon mangga itu. Tiba-tiba sebuah benda jatuh dari
langit menimpa Samsul. Sebuah lampu. Iya, lampu. Lampu ajaib mirip milik
Aladin. Kenapa ada di sini?
Tiba-tiba muncul asap lalu keluarlah
makhluk berbadan besar, tinggi, hitam, mata merah menyala. Persis dalam film
Aladin.
“Huahahahahaha....”
Samsul malah nyengir.
“Hei anak muda. Aku beri kamu satu
permintaan.”
Hah? Ini mimpi atau nyata. Samsul pun
menampar pipinya sendiri.
“Aduh.” Ternyata sakit. Berarti ini
nyata.
“Bodoh kamu. Nampar muka sendiri.”
“Eh, Oom Jin. Oom Jin mau jadi temanku
tidak?” tanya Samsul.
“Hah, ya nggak mungkin dong. Aku
ini jin. Kamu tahu sendiri dalam pelajaran agama kan sudah diajarkan, bahwa aku adalah makhluk ghaib.”
“Lho, ghaib tapi kok bisa dilihat?”
Jin itu malah celingak-celinguk. “Iya
juga ya. Jangan-jangan aku ini manusia.”
Jin itu lalu melihat ke bawah. “Tapi,
kakiku kok tidak menyentuh tanah.
Padahal kan kalau yang di Televisi,
jin, setan, hantu dan segala macem itu tidak menyentuh tanah.”
“Hah? Teori dari mana itu?”
Jin itu malah tampak bodoh di depan
Samsul. “Ah, sudahlah. Kamu masih SMA ya?”
“Lho kok tahu?”
“Kan
kamu pakai seragam abu-abu.”
“Oh iya.”
“Ayo cepetan. Kamu saya beri, satu
permintaan.”
***
Sampai di sekolah. Samsul bertemu
dengan Sapul lagi. Samsul berjalan mendekat ke Sapul. Tapi, Sapul malah
mempercepat langkahnya. Seolah-olah Sapul tahu bahwa ia sedang diikuti.
Sapul mendekat pada Sinta. Gadis yang
cantik. Ia gadis pujaan Samsul. Tapi, sebuah tragedi menimpa pada Samsul. Ia
melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Sapul memberikan sebuah bunga
mawar pada Sinta. Kampungan, kata Samsul dalam hati. Sinta tersenyum menerima
bunga itu. Sialan.
Remuk sudah hatinya. Teman barunya
telah mengahancurkan jiwa dan raganya. Hidup sudah tak ada artinya. Sekolah
apalagi. Baginya mati adalah sebuah sifat ksatria saat ini. Lebih baik bunuh
diri saja. Benar-benar nestapa hidupnya.
Tapi, Samsul ingat satu hal. Oom Jin.
Ia katanya ingin memberikan satu permintaan. Samsul membuka tasnya dan
mengambil lampu itu. Lalu, ia menggosok-gosokkan lampu itu. Keluarlah Jin itu.
“Huahahahahahah. Ada yang bisa
dibantu?”
“Aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?”
“Buatlah hati Sinta menjadi benci pada
Sapul dan buat hati Sinta mencintaiku.”
“Itu dua permintaan. Bukan satu.
Lagipula, kalau soal cinta saya tidak mau ikut-ikut.”
Jin itu menghilang. Lampu ajaibnya pun
ikut menghilang.
Samsul benar-benar sial hari ini. Ia
lalu menangis dan berkata:
“Ya Tuhan, semoga Si Sapul celaka
dalam apapun.” Sebuah kalimat sebagai doa keluar dari mulut Samsul.
***
Esoknya Samsul bangun siang. Padahal
sekarang ada ulangan Sejarah. Belum belajar pula. Tapi, tenang saja semua bisa
diatur asalkan ada Sapul. Sapul sangat jago hafalan.
Tapi beredar kabar tidak sedap. Sapul
mengalami kecelakaan lalu lintas. Astaga, jangan-jangan ini karena doaku.
“Ya Tuhan aku telah salah. Cepat
sembuhkan Sapul dan ampuni segala dosaku.”
Ambulu, 21 November 2010
Aditya Prahara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar