Senin, 18 November 2013

Sebuah Doa


Hari ini cuaca tak begitu bersahabat. Karena langit menampakkan wajah muramnya. Mendung mewarnai indahnya langit hingga terlihat ada yang sedang sakit di antariksa sana.
Begitu pula dengan kelas ini. Tampak seorang anak laki-laki berbadan kecil datang dengan terburu-buru masuk ke dalam kelas. Sayangnya, cuaca yang tak bersahabat itu membuat goyah konsentrasinya hingga ia menabrak pintu kelas. Kontan saja, seluruh seisi kelas mendadak gaduh penuh dengan tawa. Si kecil tadi berusaha berdiri. Namun ia tak bisa. Suara ledakan bom tawa kelas semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba ada tangan malaikat menawarkan bantuan. Si kecil tadi berdiri atas bantuan malaikat itu. Si malaikat melangkah ke dalam kelas. Seisi kelas diam tanpa kata. Si kecil turut terbengong, lalu melangkahkan kaki menuju kelas dan duduk sebangku dengan si malaikat.
“Namamu siapa?” tanya si kecil pada malaikat sambil mengulurkan tangan.
“Aku Saifuloh. Panggil saja Sapul,” jawab Sapul sembari membalas tangan si kecil dengan jabatan tangan.
“Aku Samsul,” kata si kecil sambil tersenyum. Sapul membalas dengan senyum getir.

***

Jam istirahat pun tiba. Para jamaah yang akan pergi ke kantin berbondong-bondong menuju ‘Laboratorium Ekonomi’ itu. Patut disebut jama’ah karena hampir 75% dari warga sekolah berkumpul di sini pada jam istirahat. Bagi para siswa, mereka melepas penat yang ada. Hingga mereka kehilangan penat dan siap lagi bertempur dengan Guru dan buku.
Di tempat lain, perpustakaan, terlihat Sapul dan Samsul sedang berbincang-bincang. Bukan mengenai hal sembarang, tapi mengenai seni. Sesekali Samsul mengagguk tanda mengerti mendengar penuturan Sapul.
“Kamu tau? Dalam bukunya, Andrea Hirata menulis sebuah kalimat yang agung,” kata Sapul.
“Apa itu, kawan?”
“Belajarlah dimana sains, sastra dan seni diolah untuk mengubah peradaban.”
Samsul tersenyum. “Ngomong-ngomong, kamu belum cerita asal-usulmu. Dari mana kamu berasal? Kamu kan siswa baru di sini.”
“Ehm, aku dari Solo. Aku pindah ke sini, lantaran ayahku dipindah bekerja. Ya, aku ikut keluargaku saja.”
“Begitu ya? Bagaimana dengan sekolahmu di sana? Ramaikah perpustakaannya?”
“Tentu saja. Aku tadi sempat terkejut melihat kantin yang menjadi pusat pertemuan antar warga sekolah. Tak terkecuali guru. Di sekolahku yang lama, kami diajarkan untuk mencintai buku.”
“Oh, iya? Solo itu Kota Pendidikan?” tanya Samsul.
“Bukan, kawan. Kata orang sih, Kota Pendidikan itu Yogyakarta. Tapi, menurutku semua itu tergantung pada kualitas otak masing-masing individu.”

***

Bel pulang telah berbunyi. Samsul pulang dengan angkutan umum. Berbeda dengan Sapul yang dijemput dengan mobil. Samsul melihat Sapul masuk mobil, dan terpikirkan satu fakta: ternyata Sapul anak orang kaya.
Samsul membayangkan jika dirinya menjadi kaya raya. Ia bisa membeli apa saja apa yang diinginkannya. Di dalam angkot itu, terciptalah sebuah imajinasi yang membuat Samsul terbuai. Samsul menjadi seorang presiden. Iya sangat ditakuti oleh warganya. Wibawa, bijaksana, dihormati, tidak sombong dan rajin menabung. Itulah dirinya saat ini.
Ternyata enak juga jadi orang kaya, kata Samsul dalam hati. Semua serba ada. Rumah yang besar, mobil, apartemen dan sebagainya. Seperti yang di Televisi itu. Tapi aku tak ingin menadi koruptor. Bukan.
Samsul berhenti dari lamunannya. Ia diteriaki oleh sopir angkot. Sudah sampai ternyata.
“Hei! Kamu mau turun tidak?”
“Eh, iya, Pak. Ini,” kata Samsul sambil memberikan uang seribuan.
Samsul lalu keluar dari angkot. Ia berjalan. Dalam perjalanan, ia berhenti sejenak di bawah pohon mangga di pinggir jalan. Ia membuka tasnya, dan mengambil sebuah buku catatan. Ia catat, hari ini ia bertemu dengan anak orang kaya dan ingin menjadi orang kaya. Banyak sekali manfaat jadi orang kaya. Bisa ini bisa itu. Terlebih lagi, bisa menyantuni orang miskin. Jadi bisa beramal sebanyak-banyaknya. Tapi, apa benar jika aku kaya, aku akan beramal? Tanya Samsul pada dirinya sendiri. Tidak mudah puas adalah tabiat manusia. Serakah. Jangan-jangan nanti aku serakah? Astaghfirullah hal adzim.
Lelah. Kini Samsul merasa lelah. Ia lalu beristirahat di bawah pohon mangga itu. Tiba-tiba sebuah benda jatuh dari langit menimpa Samsul. Sebuah lampu. Iya, lampu. Lampu ajaib mirip milik Aladin. Kenapa ada di sini?
Tiba-tiba muncul asap lalu keluarlah makhluk berbadan besar, tinggi, hitam, mata merah menyala. Persis dalam film Aladin.
“Huahahahahaha....”
Samsul malah nyengir.
“Hei anak muda. Aku beri kamu satu permintaan.”
Hah? Ini mimpi atau nyata. Samsul pun menampar pipinya sendiri.
“Aduh.” Ternyata sakit. Berarti ini nyata.
“Bodoh kamu. Nampar muka sendiri.”
“Eh, Oom Jin. Oom Jin mau jadi temanku tidak?” tanya Samsul.
“Hah, ya nggak mungkin dong. Aku ini jin. Kamu tahu sendiri dalam pelajaran agama kan sudah diajarkan, bahwa aku adalah makhluk ghaib.”
“Lho, ghaib tapi kok bisa dilihat?”
Jin itu malah celingak-celinguk. “Iya juga ya. Jangan-jangan aku ini manusia.”
Jin itu lalu melihat ke bawah. “Tapi, kakiku kok tidak menyentuh tanah. Padahal kan kalau yang di Televisi, jin, setan, hantu dan segala macem itu tidak menyentuh tanah.”
“Hah? Teori dari mana itu?”
Jin itu malah tampak bodoh di depan Samsul. “Ah, sudahlah. Kamu masih SMA ya?”
“Lho kok tahu?”
Kan kamu pakai seragam abu-abu.”
“Oh iya.”
“Ayo cepetan. Kamu saya beri, satu permintaan.”

***

Sampai di sekolah. Samsul bertemu dengan Sapul lagi. Samsul berjalan mendekat ke Sapul. Tapi, Sapul malah mempercepat langkahnya. Seolah-olah Sapul tahu bahwa ia sedang diikuti.
Sapul mendekat pada Sinta. Gadis yang cantik. Ia gadis pujaan Samsul. Tapi, sebuah tragedi menimpa pada Samsul. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa Sapul memberikan sebuah bunga mawar pada Sinta. Kampungan, kata Samsul dalam hati. Sinta tersenyum menerima bunga itu. Sialan.
Remuk sudah hatinya. Teman barunya telah mengahancurkan jiwa dan raganya. Hidup sudah tak ada artinya. Sekolah apalagi. Baginya mati adalah sebuah sifat ksatria saat ini. Lebih baik bunuh diri saja. Benar-benar nestapa hidupnya.
Tapi, Samsul ingat satu hal. Oom Jin. Ia katanya ingin memberikan satu permintaan. Samsul membuka tasnya dan mengambil lampu itu. Lalu, ia menggosok-gosokkan lampu itu. Keluarlah Jin itu.
“Huahahahahahah. Ada yang bisa dibantu?”
“Aku punya satu permintaan.”
“Apa itu?”
“Buatlah hati Sinta menjadi benci pada Sapul dan buat hati Sinta mencintaiku.”
“Itu dua permintaan. Bukan satu. Lagipula, kalau soal cinta saya tidak mau ikut-ikut.”
Jin itu menghilang. Lampu ajaibnya pun ikut menghilang.
Samsul benar-benar sial hari ini. Ia lalu menangis dan berkata:
“Ya Tuhan, semoga Si Sapul celaka dalam apapun.” Sebuah kalimat sebagai doa keluar dari mulut Samsul.

***

Esoknya Samsul bangun siang. Padahal sekarang ada ulangan Sejarah. Belum belajar pula. Tapi, tenang saja semua bisa diatur asalkan ada Sapul. Sapul sangat jago hafalan.
Tapi beredar kabar tidak sedap. Sapul mengalami kecelakaan lalu lintas. Astaga, jangan-jangan ini karena doaku.
“Ya Tuhan aku telah salah. Cepat sembuhkan Sapul dan ampuni segala dosaku.”

Ambulu, 21 November 2010
Aditya Prahara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar